4.

1326 Words
Gio bertopang dagu. Tatapannya terarah lurus kepada wajah gadis di depannya, mengamati serius seolah objek di depannya adalah pajangan museum seni yang perlu dilihat di mana letak seninya. Cantik? Iya. Wajah Ravenina perpaduan pas antara manis dan cantik, jatuhnya tidak membosankan. Meskipun kata manis dan Ravenina sulit disatukan dalam satu padanan kalimat. Karena Ravenina judes bukan kepalang. Kalau kalian belum kenal, pasti akan berpikir jika Ravenina orangnya ketus dan judes. Jika sudah kenal, bukan hanya ketus dan judes, tetapi Ravenina juga galak! Oleh sebab itu Gio selalu memanggil Ravenina dengan panggilan Nina. Katanya biar menimbulkan kesan gadis manis dan lemah lembut. Meskipun percuma saja. "Yo," Panggil Nina karena sejak tadi Gio diam saja. Aneh rasanya ketika Gio yang cerewet mendadak diam. Kalau sudah kelamaan diam, Nina langsung menegur Gio, takut cowok itu kesambet, katanya. "Apa?" jawab Gio dengan wajah penuh senyum. Nina menggeleng. "Enggak, kok lo diem sih?" tanya Nina lagi. Gio semakin lebar tersenyum. Dalam hubungan mereka, Nina bisa dikatakan pasif. Jarang nanya, jarang ajak ngobrol duluan dan cuek parah! Biasanya cowok yang bersikap seperti itu tetapi sekarang justru terbalik, Nina lah yang bersikap begitu sedangkan Gio yang jadi peramai. Cukup adil. Setidaknya saling melengkapi. Oleh sebab itu, jika Nina bertanya duluan atau terlihat khawatir dengan Gio yang mana sangat jarang, Gio pasti senang luar biasa. "Nggak, seneng aja lihatin lo, cantik." Buagh! Sebuah tendangan mendarat di tungkai kaki Gio di bawah meja. Tidak perlu ditanya, hanya ada kaki Nina di depan kaki Gio saat ini, jadi jelas kan pelakunya siapa? Gio meringis memegangi kakinya yang nyeri. Tenaga Nina ini kuat banget. Nggak heran sih, Nina ini 'kan anaknya seorang atlet karateka terkenal. Wajar Nina juga ahli soal bela diri dan melakukan tindak kekerasan pada Gio. Huh! "Kok gue ditendang?" tanya Gio sambil meringis. Ya sakit lah ya, ditendang pas banget tulang kering. "Omongan lo abisnya geliin banget." Nina berkata cuek sambil menusuk siomay di piringnya dan lanjut makan. Gio mendengus. Nina bukan cuma cuek, judes dan galak. Dia juga nggak suka sama hal-hal manis dan gombalan. Kalau digombalin Gio, yang ada Nina marah-marah. Kalau Gio melakukan hal romantis, seperti tiba-tiba kasih coklat atau bunga ke rumah, Nina malah ngamuk dan ngambek. Aneh? Iya! Dan lebih anehnya lagi Gio malah suka. Semakin ke sini, sosok Nina benar-benar jauh dari Tara. Benar-benar nggak ada mirip-miripnya. Judesnya pun beda. Kalau Tara, judes-judes baik, kalau Nina? Judes-judes galak bin gahar. Jadi Gio yakin kalau dia memang sudah sepenuhnya move on dari Tara dan mencintai Nina apa adanya. Dimas muncul bersama Savira dan duduk di meja yang sama dengan Gio dan Nina. Dimas di sebelah Gio dan Savira di sebelah Nina. "Hai Gio, hai Nina," sapa Savira sambil tersenyum manis. Gio balas tersenyum sedangkan Nina hanya berdehem cuek. Dimas sudah siap menuang saus dari botol yang tersedia di atas meja ke mangkuk baksonya sebelum tangan Savira menahannya. "Dimas, kamu 'kan nggak boleh makan saus sama tante Arinda!" omel Savira sambil menarik botol saus itu menjauh dari hadapan Dimas. Dimas cemberut. Dia nggak bisa makan apapun tanpa saus. Dan karena kebiasaannya itu dia terkena diare seminggu yang lalu. Gio terkekeh pelan melihat drama yang terjadi di depannya kini. Dimas selalu tidak bisa membantah apa kata Savira, nurut senurut-nurutnya. Kadang Gio iri juga sih dengan sifat yang dimiliki Savira, maksudnya, kadang Gio ingin sesekali Nina bersikap seperti Savira. Perhatian, manis dan lemah lembut. "Gio kok kamu nggak makan?" tanya Savira sambil menatap Gio yang justru bengong memandanginya. Gio terkekeh malu sendiri karena kegaps sedang memperhatikan gadis itu. Jangan salah paham, Gio sama sekali nggak ada rasa spesial kok dengan Savira. Dan kenapa Savira ber aku-kamu dengan Gio? Jawabannya adalah karena memang Savira selembut itu. Jangan harap untuk mendengar Savira berbicara kasar. Tidak pernah. "Nggak apa-apa Vir, abis lo sama Dimas lucu. Kenapa sih kalian nggak jadian aja?" tanya Gio usil. Sebenarnya Gio sudah tau kenapa sampai saat ini Dimas dan Savira belum juga jadian. Hal itu dia katakan hanya untuk memancing reaksi Savira saja. "Urusin urusan lo sendiri deh, Yo, jangan ngurusin orang." Nina berkata sambil menyantap siomaynya tanpa memandang ke arah Gio sama sekali. Setiap Dimas dan Savira bergabung untuk makan bersama mereka, Nina jadi berubah lebih dingin dan aneh. Sampai saat ini Gio belum tau dimana letak kesalahannya. Nina tidak punya masalah dengan Savira atau pun Dimas. Tapi...aneh. Kehadiran mereka berdua seolah membuat Nina kurang nyaman. Awalnya Gio tidak sadar. Tetapi karena kejadiannya sering terjadi, lama-lama Gio pun mulai engeh bahwa ada sesuatu. Tapi Gio tidak tau pasti apa itu. "Mampus lo, Yo, emang enak!" seru Dimas sambil tertawa puas. Nina menyantap habis siomaynya, setelah selesai gadis itu menyeruput es tehnya dan bangkit berdiri. "Duluan," ucapnya dingin dan berlalu begitu saja bahkan tanpa menunggu Gio, Dimas atau pun Savira menjawab. "Makin judes aja itu cewek," ucap Dimas selepas kepergian Nina. "Dimas nggak boleh ngomongin orang," tegur Savira membuat Dimas hanya cengar-cengir sok polos. Sedangkan Gio, cowok itu hanya bisa diam sambil mencoba mencerna semuanya. Dia kenapa sih? *** Seperti biasa, Gio mengantar Nina pulang ke rumah. Awalnya Nina tidak setuju saat Gio memutuskan untuk mengantar jemput Nina sekolah, akhirnya kesepakatan pun dibuat dan Nina setuju untuk diantar pulang dan itu pun tidak setiap hari. Nina melepas helm yang digunakannya dan memberikannya kepada Gio. "Makasih," ucapnya datar lalu gadis itu berbalik untuk masuk ke rumah. Gio menarik tangan Nina, menahan gadis itu untuk bicara dengannya. Nina menatap Gio dengan sebelah alis terangkat. "Apa?" tanyanya. Gio mematikan mesin motornya dan menurunkan standar motor, cowok itu tidak melepaskan helm full facenya dan hanya menaikkan kacanya saja. Nina tau jika sudah begitu Gio akan mengajaknya bicara lebih lama daripada basa-basi atau bergombal seperti biasanya. Wajah Gio kelihatan lebih serius. "Gue mau ngomong serius, Na." Gio turun dari motornya, dia berdiri berhadapan dengan Nina. Meskipun Nina tinggi tetapi Gio tetap lebih tinggi beberapa senti dari Nina. Mata Nina sejajar dengan hidung Gio. "Ngomong aja." Nina memang bicara dengan nada dan wajah datar, namun sebenarnya jantung gadis itu tengah bertalu-talu gugup. Nina gugup dengan apa yang akan dikatakan Gio. Dan Nina khawatir kalau Gio memang curiga Nina menyimpan sesuatu. Semoga bukan. "Lo ada masalah sama Dimas atau Savira?" tanya Gio serius. Benar-benar tidak ada ekspresi bercanda saat ini di wajahnya seperti biasa. Nina menelan ludah, dia langsung mengalihkan tatapannya ke lain arah, menolah menatap Gio. "Enggak." Gio menghela nafas. "Masa? Terus kenapa kok lo aneh tiap mereka gabung sama kita?" tanya Gio lagi. Nina mengulum bibirnya sendiri, mencoba mencari jawaban yang tepat namun gagal. Gio akhirnya mendengus jengah. Gio mengulurkan tangannya menyentuh dagu Nina dan memutar wajah gadis itu untuk menghadap ke wajahnya. "Lihat gue," ucap Gio saat melihat mata Nina masih berusaha berpaling dari tatapannya. "Na, lihat gue," ucap Gio sekali lagi dan mau tidak mau membuat Nina menatapnya. "E-enggak, Yo...gue nggak apa-apa sama mereka," ucap Nina gugup. Pipinya bersemu membuat Gio tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi Nina. Sefierce apa pun Ravenina, dia tetaplah seorang anak gadis yang bisa malu-malu di depan anak laki-laki. Dan Gio bersyukur dia bisa menjadi penyebab gadis itu memiliki rona merah muda di pipinya. "Good, kalau ada apa-apa, lo cerita ya sama gue? Kita 'kan pacaran, apa gunanya kita pacaran kalau ada masalah atau apa pun tapi nggak berbagi?" Gio masih menahan dagu Nina agar gadis itu masih melihat ke arahnya sampai gadis itu menjawab. "Oke?" tanya Gio sekali lagi membuat Nina akhirnya mendengus keras. Lupa kalau beberapa menit yang lalu dia habis bertingkah malu-malu. "Iya, iya! Udah sana pulang lo!" ucap Nina sambil menepis kasar tangan Gio dari dagunya. Gio tertawa gemas. "Oke, gue balik. Jangan kangen ya, yang!" ucapnya menggoda membuat Nina bergaya seperti orang mau muntah. "Najis," ucapnya sinis yang justru membuat tawa Gio semakin keras. "Bye!" ucap Gio sambil menyalakan mesin motornya sedangkan Nina hanya bisa menatapnya dengan wajah judes khasnya. "Hati-hati," ucap Nina sebelum gadis itu berbalik masuk ke rumah meninggalkan Gio dengan cengiran lebarnya. Ya Allah, cewek gue gemesin abis. Dan cowok itu pun melajukan motornya meninggalkan kediaman Ravenina, pacarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD