Pagi yang indah. Waktu menunjukkan pukul 06.45 WIB. Perempuan berpiama motif Winnie the Poh sedang sibuk mengoleskan selai strawberry ke atas roti bakar. Dia belum mandi tetapi sudah mencuci muka, menyingkirkan belek dan tidak lupa menggosok gigi. Rambutnya diikat dua, persis anak TK, padahal sudah dewasa. Bahkan, baru bertunangan tadi malam.
Gadis itu menghela napas menatap cincin bekas pernikahan orang tuanya. Namanya Mana, bukan di mana-mana hatiku senang, Mana Santoso Komala. Anak tunggal. Mamanya sudah lama tiada. Tipe perempuan mandiri yang pandai mencari uang sendiri. Padahal, tanpa berusaha sekalipun, dia sudah bisa hidup nyaman dengan kekayaan yang tidak akan luntur karena perkembangan zaman.
Mana meletakkan sepiring roti bakar dan segelas s**u di nampan. Setelahnya, dia membawanya ke ruang keluarga. Seorang lelaki paruh baya dengan celana pendek kedodoran dan baju dalam tertidur dengan nyenyak di sofa. Stik, headphone dan berbagai macam alat untuk gaming berserakan di sana-sini. Layar televisi tampak buram, tetapi masih menyala. Mana bergegas mematikan, tanpa berniat membersihkan kekacauan yang papanya timbulkan.
Mana memiliki pembantu. Dua di antaranya sedang cuti, sedangkan yang lain bertugas di area yang sudah ditentukan. Bukan menginginkan privasi atau lainnya, Mana hanya berpikir untuk menyelamatkan reputasi Komala di mata para pembantu. Selain Mbah Har, pembantu yang tercatat sudah hampir 20 tahun bekerja di keluarga Mana, tidak ada yang diizinkan masuk ke lantai dua yang merupakan rumah utama. Sayangnya untuk dua minggu ini Mbah Har tidak bekerja. Dia sedang pulang kampung karena anak bungsunya melahirkan.
Mana memilih meninggalkan Komala dalam mimpi indahnya. Hari Minggu, waktunya libur. Walau lelaki paruh baya itu jarang pergi bekerja. Tipe pengusaha yang menyerahkan semua urusan ke pekerjanya. Jika suatu saat mereka bangkrut dan membuat Komala terpaksa bekerja, Mana yakin kalau papanya itu akan dipecat di hari pertama. Mungkin itu sebabnya, Komala memaksa Mana untuk menikahi Ribut, mencegah kemiskinan.
Mana merinding. Apa yang baru saja dipikirkan olehnya membuatnya meringis. Mana bisa bertunangan dengan Ribut tetapi terlalu ogah menikah dengannya. Bagaimanapun tidak ada rasa suka terhadap makhluk dari keturunan Chrysophyceae itu.
Mana masuk ke kamar mandi tetapi segera keluar ketika mendengar Komala berteriak memanggil namanya.
"Mana! Mana! Ma...na!"
"Kenapa, Pa?" tanya Mana panik sehingga handuk mandi masih terlilit di leher.
Komala masih berbaring di sofa hanya menoleh ke arah tangannya yang terjulur. Jemarinya bergerak-gerak seolah dipaksa untuk memanjang untuk meraih gelas s**u yang jaraknya hanya satu jengkal dari jemarinya.
Mana memasang wajah datar. Rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang perlahan menegang.
"Ambilin dong, Na. Nggak nyampe."
Mana mengepalkan tinjunya. Wajah Komala yang memelas membuat emosi Mana seperti gunung Erupsi. Mungkin bagi Komala, lelaki itu berpikir kalau dia tampak imut tetapi bagi Mana amit-amit.
"Tinggal geser badannya dikit, Pa," ujar Mana masih sabar.
Komala memanyunkan bibirnya. "Papa lapar."
"Makan," sahut Mana sedikit judes. "Itu sudah Mana siapkan ro.."
"Papa pengen bubur ayam depan komplek," potong Komala cepat membuat urat kening Mana membesar. "Andai Mama masih hidup, dia pasti mau menuruti keinginan Papa yang malang ini." Komala memasang wajah sedih membuat kepalan tangan Mana melonggar.
"Ya udah, Mana minta Kang Asep buat beliin bubur ayam," kata Mana mengalah.
"Nggak mau," sahut Komala cepat.
"Hah?" Mana terkesiap, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Papa mau Mana yang beli." Komala menatap Mana sembari mengedipkan matanya beberapa kali, sudah mirip anak anjing yang memohon untuk dipungut.
Urat syaraf Mana seakan konslet. Bulu kuduknya meremang lagi. Dia memang sudah sering melihat sikap alay Komala, tetapi tetap saja tidak terbiasa dengan itu.
"Please," mohon Komala lagi dengan ekspresi sok imut yang membuat perut Mana semakin mual.
"Oke, oke. Mana mandi dulu." Mana menyerah.
"No, right now, daughter!" tegas Komala.
Mana menggigit kuat bibirnya, nyaris kehilangan kesabaran dan mensmack down ayah kandungnya sendiri. Namun, niat itu berhasil tertahan. Mana tidak ingin menjadi anak durhaka yang diusir di hari Minggu dan masuk berita ter-hot para tetangga. Dia masih memiliki kewarasan untuk mengontrol dirinya yang terkadang suka memikirkan hal-hal yang membuatnya semakin dekat dengan kegilaan.
Mana mengempaskan handuk yang melilit di lehernya lalu beranjak turun ke lantai satu. Setelahnya, dia mulai ditanyai para pembantu yang menanyakan tujuannya pergi. Beberapa di antara mereka juga menawarkan diri sebagai pengganti tetapi Mana menolak dengan setengah hati. Komala adalah seorang lelaki setengah botak yang tidak suka pemberontak. Jika dia tidak menurut, lelaki itu pasti akan membuat Mana berjalan kaki ke mana-mana. Peristiwa itu pernah terjadi sekali saat mereka berebut remote TV dan Mana menjadi pemenangnya.
Mana berjalan santai menuju ke penjual bubur ayam langganan Komala. Saat tukang bubur melihatnya, lelaki yang sudah memiliki lima anak itu tersenyum tipis.
"Beli dua bubur, Non?" tanyanya ramah.
Mana mengangguk membuat para pengantre melihat dirinya dengan tidak suka.
"Santai aja, Pak. Yang lain aja duluan, Mana belakangan," ujar Mana mengerti dengan jelas maksud tatapan dari para pengantre.
"Nggak apa, Non. Saya buatkan duluan. Non 'kan langganan," kata tukang bubur tidak peka.
Mana hanya mengulas senyum kaku. "Jangan, Pak. Saya.."
"Ini, Non. Dua puluh lima ribu semua," ujar tukang bubur sambil menyerahkan kantong plastik putih berisi dua porsi bubur ayam.
Mana terpaksa mengambilnya. Tidak tega dengan ekspresi lugu tukang bubur. "Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Mana menyerahkan uang bubur lalu buru-buru kabur. Dia tidak ingin menjadi sasaran mata laser para pembeli lain.
Sampai di rumah, Mana mengerutkan kening, sebuah mobil mewah terparkir di depan rumahnya. Memang, Koleksi mobil Komala banyak, tetapi Mana belum pernah melihat mobil tersebut.
"Bi, ada tamu?" tanya Mana penasaran.
Bibi Jia yang tidak sengaja ditemui Mana sedang membersihkan ruang tamu mengangguk mengiyakan.
"Siapa?"
Bi Jia tidak menjawab hanya mengulas senyuman kecil.
"Tuan sudah menunggu, Non," katanya.
Mana memanyunkan bibirnya, kecewa tetapi enggan bersikap egois. Mana memilih untuk pergi ke lantai dua, menemui Komala sekaligus melihat siapa tamu yang datang di hari Minggu.
"Hai," sapaan tidak ikhlas dengan penuh firasat buruk itu membuat Mana mencengkram kuat ujung plastik digenggamannya.
"Bubur, bubur." Komala meloncat girang lalu meraih kantong plastik yang Mana bawa. "Lepasin, Na. Papa mau makan!"
Mana tidak mau mengalah. Matanya memelotot.
"Jangan gitu, serem," protes Komala.
"Kok dia di sini, Pa?" tanya Mana meminta penjelasan.
"Kenapa? Dia 'kan tunanganmu?" Komala balik bertanya.
"Hah?"
"Tenang aja, Ribut ke sini buat Papa, bukan Mana," kata Komala santai.
"Heh?"
"Udah, lepas!" Komala mencoba menarik paksa bubur ayam kesukaannya.
Mana terpaksa mengalah membuat lelaki yang harusnya sudah bisa berpikir sesuai usianya yang sudah tua itu berjingkrak kegirangan. Setelahnya, dia mendekati Ribut dan mengajak menantunya itu makan bersama.
Ribut sempat menoleh ke arah Mana dan menyunggingkan senyuman mengejek. Mana emosi tetapi tidak ingin berkelahi. Gadis itu berbalik, hendak mendinginkan diri dengan mandi.
Mana berencana untuk hibernasi seharian, sepertinya rencana itu tidak akan bisa terjadi. Komala pasti akan membuatnya sibuk hari ini. Terlebih, dia harus bertemu Ribut di hari Minggu. Tentu, itu kenyataan yang tidak diinginkannya. But, life is not always the same as we planned. Isn't it?
"Mana, ambilin piring dan sendok, dong." Komala berteriak lagi, Mana bahkan belum masuk kamar mandi.
Mana menghela napas panjang lalu melangkah menuju dapur. Hari liburnya telah berubah menjadi mengerikan.