LITTLE BLACK DRESS - 02

2792 Words
Masih belum meyakini apakah Dion akan memberikan jawaban 'ya', kini dia sudah dipaksa untuk melihat Dress hitam terbuat dari kain sutra. Tak terlalu unik, hanya salah mengesankan sejak pertama kali Dion memandang. Bentuk gaun itu indah, terdapat bagian terbuka di area pundak dan memperlihatkan punggung atas Dion yang sedikit berbentuk. "Gila … Itu, sih bagus. Tapi … Aku enggak punya bentuk bahu tegap dan punggung yang kokoh. Kayaknya enggak pantes di aku sih, ih kesel!" ujar salah satu teman jauh Dion, yang duduk sebelahan dengan Devi. "Coba liat, Tan!" seorang laki-laki yang sedang memegang jus mangga, tiba-tiba tertarik dan bangkit. Seketika wanita itu menjauhkan ponsel nya. "Apa? Tan? Tante maksudnya? Sialan deh, minggir sana! Aku mau ubah Dion ke acara ulang tahun nya Frey." Seketika jantung Dion berhenti bergetar, dan justru mengeluarkan degup kian kuat. Tak ada yang bisa diberikan oleh Dion, sekali dia bergerak maka sudah dipastikan akan salah dalam bertingkah. Dion pun berdehem, lalu menoleh ke arah tempat parkir. Di mana Frey masih mengobrol dengan teman nya, pria itu tampak mengesankan saat mengenakan kaos oblong putih, celana pendek sebatas lutut, tas pinggang ditenteng di pundak dan mengenakan alas berupa sandal jepit. Entah, Dion mengagumi ciri sederhana di setiap kesempatan yang Frey berikan. "Dion!" Kali ini Dion benar-benar salah dalam berbuat, dia telah menumpahkan minuman Devi, juga membasahi baju itu. "Eh, ada apa? Kenapa? Ya, ampun Devi. Maaf, maaf." "Ih, Dion. Kamu kenapa sih? Pecicilan," Devi naik darah. "Liat nih, tumpah! Aku enggak bawa baju ganti." Tampilan wajah yang kurang mengenakan, membawa Dion pada merasa bersalah dan dia segera mengambil kotak tisu yang ada di meja sebelah. Dia menarik beberapa helai, kemudian mengelap bagian baju olahraga Devi yang basah. "Maaf, ya maaf. Mau pakai baju ganti punyaku?" Devi mendongakkan kepala demi menemui tatapan pada wajah Dion. "Emang kamu bawa ya, Dion? Sini, enggak usah nunggu lama. Terus, ini bajuku kamu yang cuci ya!" "Iya, iya. Aku yang cuci, kamu tenang aja!" ucap Dion batal mengelap baju Devi, karena dia berpikir percuma. Kemudian Dion melangkah sedikit menepi karena terhalang oleh beberapa kursi, dia segera berlari kecil ke dojo. Segera Dion mengambil baju yang ada di loker, dia harus cepat karena jangan sampai membuat Devi marah. Batinnya, kalau sampai kehilangan momen pertemanan dengan Devi maka Dion juga akan gagal dalam mendekati, Frey. Ya, pria itu perlu dicari tahu lebih banyak lagi dan bukan hanya tentang hobi atau kebiasaan dia di tempat olahraga. Setelah mengambil pakaian bersih, Dion segera kembali ke restoran. Dia memberikan baju warna biru kepada Devi. "Ini, kamu ganti aja sana! Kayaknya di badan kamu pas deh!" Devi mengernyitkan wajah. "Eh, kamu menghina aku ya? Iya, badanku lebih gembrot dari pada kamu!" "Enggak," Dion malas jika harus memperbaiki suasana selama dia tidak melakukan kesalahan. "Kan cuma mengira-ngira aja, di kamu pas atau enggak. Gitu!" Tiba saja Devi tertawa. "Iya, Dion iya. Bercanda, kamu itu mukanya terlalu seriusan deh. Ya udah, aku mau ganti dulu." "Jangan lupa ya, yang kotor biar Dion yang cuci!" sahut salah satu teman Devi, yang sedang asyik merokok. Semua orang tertawa kecil, kecuali wanita yang sedang berdiri sambil memegang ponsel. Dia kembali pada Dion, menunjukkan foto gaun yang dibeli di dalam lemari kaca. "Gimana? Kamu pakai yang ini aja ya!" Dion pun bingung, dia paham akan merasa aneh jika mengenakan pakaian feminim. "Kamu … Yang bantu pakaikan, 'kan?" "Iya, nanti aku bantu make up in juga. Tenang aja!" ucap wanita berambut ikal sebahu. Mendengar bahwa wajahnya akan diubah, jujur itu membuat Dion merasa sangat tersiksa. Dulu, saat wisuda di sekolah. Dion hampir menjadi bahan candaan semua orang, pasalnya dia berlebihan dalam memakai make up. Tetapi, entah sejak itu Dion memang menganggap wajahnya terlalu mengerikan untuk dipoles beberapa alat make up. "Tapi biasa aja, 'kan?" Dion khawatir. "Biasa aja gimana maksud kamu? Make up nya?" tanya teman Devi. Dion mengangguk polos. "Iya, make up nya lah. Aku enggak suka kalau … Terlalu menor atau nge-jreng!" "Enggak, enggak. Tenang aja!" Walau sudah diyakinkan, Dion tetap saja merasa khawatir. Dia kembali duduk, gelisah membayangkan antara nanti dan juga kemunculan Devi. Di mana gadis itu? Kemudian Dion melihat Devi sedang bercermin di luar area kamar mandi, sedikit lega karena baju yang berukuran M pas di badan Devi. Wanita yang juga sudah beranak itu, berjalan menuju ke tempat Dion. Dengan cara berjalan yang genit, Devi memberikan baju kotor itu kepada Dion. "Nih, kamu cuci yang bersih!" Dengan malas, Dion menerima baju dari Devi. "Iya, iya. Nanti aku cuciin!" Gaya yang tegas, dan terlihat Dion bukan wanita manja. Segera tangannya melempar baju kotor Devi ke kantong yang kebetulan sedang terbuka, itu hanya berisi makanan ringan yang dibeli untuk dibawa ke rumah. "Besok, aku usahakan udah kering ya. Berangkat gym, 'kan?" Devi masih terperangah menatap cara Dion memasukkan baju ke dalam kantong plastik. "Itu, gimana caranya? Kamu … Main lempar gitu aja, tapi masuk sih?" "Udah deh, Dev! Ilmu kamu itu belum sebanyak Dion," teman Devi menyambar minuman yang ada di meja. "Jangan malu-maluin diri sendiri, dengan merasa heran apa yang orang lakukan! Walau itu hebat, iya 'kan Dion?" Sekilas Dion melirik ke arah baju yang baru saja dilempar. "Eh, iya. Biasa aja deh, sana lanjut makan! Aku … Mau pulang!" "Eh, kenapa buru-buru sih?" tanya teman Devi yang lain. Sambil berkemas, memasukkan gadget ke dalam tas Dion pun menjawab, "Iya, ada yang udah nunggu di rumah." "Wah, siapa nih?" tanya teman Devi, dengan raut mencari tahu. "Ah enggak, cuma …," "Anaknya, dia kan kudu kasih materi buat si kecil nya besok ujian!" sahut Devi ikut campur. Napas Dion sukar, entah dia merasa kurang suka jika ada orang luar yang mengetahui fakta nyata bahwa dia sudah memiliki anak. Terutama Frey, berhari-hari Dion kurang fokus dalam menjalani aktivitas setelah pria yang didamba nya itu mengetahui status Dion saat ini. Janda. Ya, walau masih muda dan banyak yang menduga bahwa Dion berusia muda. "Ya udah, aku cabut dulu ya!" ucap Dion dengan suara lemah. "Eh," teman Devi, yang menawarkan gaun seketika mencekal lengan Dion. "Besok kamu ke rumahku aja, gimana?" "Rumah kamu? Emang di mana?" tanya Dion cemas jika harus berkunjung ke tempat asing, dia jarang menyukai suasana baru. "Nanti aku kirim alamat nya lewat chat aja ya! Sana, kalau kamu mau pulang! Salam buat si ganteng ya!" sahut lagi teman Devi. "Iya, nanti gampang dibahas lewat chat aja ya!" ujar Dion menganggap enteng. Melihat jam di tangan, rupanya Dion sudah terlambat sekitar 15 menit. Usai mengemas semua barang, Dion bergegas menuju ke parkiran. Di sana, dia masih menemukan Frey mengobrol dengan rekan. Sempat pria itu menatap. Tetapi, hanya sekilas dan itu membuat Dion merasa muak. Frey terlalu pendiam, bahkan seolah tidak bisa melirik Dion barang sebentar saja. Itu mungkin karena Frey memang berasal dari keluarga ningrat, dan bisa saja sudah menjadi kebiasaan para bangsawan jika bertemu dengan orang lain. [...] Sebagai seorang Ibu, Dion bukan lagi memikirkan kesenangan pribadi melainkan dia juga harus membagi waktu bersama si kecil. Bukan, Dion memandang Yoda adalah calon pria tangguh yang selama ini didamba, pria yang akan menggantikan sosok Ayah Dion yang dulu mantan seorang tentara. Sedang asyik pada rencana di hari ke depan, Dion dikejutkan oleh kehadiran Yoda secara tiba-tiba. Dia pun menyadarkan diri, lalu menghampiri putranya yang teetunduk lesu. "Loh, kenapa ini anak Mami? Kok … Cemberut?" "Mi, aku … Dimarahin sama Bu guru di sekolah," Yoda memberikan amplop kepada Dion. "Ini, bukti panggilan kalau Mami harus dateng ke sekolahan. Besok!" Tanda tanya besar muncul dari dalam kepala. Namun, Dion perlu terlihat tenang dan tidak membuat Yoda tertekan dengan langsung menghakimi. Pelan, Dion membuka isi dari amplop tersebut dan membaca bait demi bait dari kalimat surat panggilan untuknya. Terdapat kata di mana sempat membuat Dion tersenyum kecil. "Mi, kok senyum-senyum sih? Ada apa?" tanya Yoda meneliti. Barulah Dion tersadar, dia telah melakukan kesalahan kecil. "Kenapa anak Mami ini sampai berantem? Ada masalah apa sama temen nya?" "Mi, aku tuh enggak salah! Dia yang mulai duluan, bilang kalau misalnya Yoda itu enggak ada Papi. Sejak kecil, katanya Yoda udah hidup sendirian aja sama Mami," Yoda pun tertunduk lemah. "Mi, bener enggak sih kalau Yoda itu berbeda?" "Iya, sayang. Kamu beda, sangatlah beda dari yang lain!" ucap Dion sengaja tidak melanjutkan kata-katanya. Lalu Yoda pun mengangkat kepalanya. "Jadi … Beneran ya kalau Yoda itu berbeda dan …," "Tuhan, itu menciptakan kita berbeda sayang! Untuk mencari perbedaan itu, makanya kita harus tetep belajar supaya mengetahui banyak hal dan … Berbeda bukan berarti kita tidak bisa berkembang 'kan? Kamu … Dan anak-anak semua diciptakan memang berbeda dari yang lain!" ucap Dion memperjelas, dia juga menyempatkan tangannya untuk mengikis keringat dari pelipis Yoda. "Tapi … Kenapa aku enggak pernah ketemu Papi? Kenapa beda nya aku harus enggak punya Papi?" ucap Yoda setengah meninggikan nada suaranya. Dion pun menarik napas panjang, mengembuskan sambil menutup mata. "Emang nya kalau Yoda hidup cuma sama Mami, kenapa sih? Enggak boleh ya? Salah? Dan … Itu bakal jadi perbedaan dari teman-teman Yoda, iya?" "Aku kan cuma mau ketemu Papi, Mi!" suara Yoda pun akhirnya semakin lemah, dan tidak kembali menatap Dion. Tangis selalu dilontarkan oleh Dion tanpa mengeluarkan air mata, batinnya meminta hak dan kesanggupan mengenai hidup ini. Tetapi, berharap untuk menemui laki-laki yang sudah meninggalkan nya selama 3 tahun itu sangat mustahil. Dion telah menemukan kabar bahwa kekasihnya sudah menikah dan juga memiliki dua anak. Akhir dari percakapan ini, Dion harus melihat kekecewaan Yoda untuk kesekian kali. Hampir saja Dion menekuk kedua lutut, memegang pipi Yoda lalu memeluk bocah kurus itu seperti biasa. Namun, kali ini gagal. Dion pun hanya bisa terpaku, tanpa ingin menyusul Yoda kei kamar. Kemudian dia duduk di depan televisi, beralaskan karpet bulu abu-abu. "Maafin Mami sayang," Dion mengeluarkan medali perunggu dari ransel, hampir saja dia memamerkan kepada Yoda. "Kamu masih kecil, belum tau apa yang Mami rasain sekarang. Tapi, Mami janji bakal bikin kamu bahagia. Walau tanpa seorang Ayah." Akhirnya Dion menangis, menutupi suaranya dengan bantal kecil yang biasa digunakan Yoda untuk alas tidur ketika menonton televisi. Berharap, semua berakhir dengan cepat. Kemudian bisa melihat harapan nya itu terwujud. Semakin keras, bahkan nada nya hilang karena membendung perasaan teramat berat. Ingin rasanya membawa tahta dalam hidup. Tetapi, Dion terlalu lelah dan selalu kandas dalam membangun rasa percaya untuk anaknya. "Ya Tuhan, kuatkan aku! Jangan jadikan aku wanita lemah, aku …," Dion menjerit di bawah kuasa bantal. "Aku sanggup, tapi dengan tanpa cinta untuk pria itu!" Lagi, untuk kesekian kalinya Dion harus meratap akan perasaan begitu dalam dan terus berusaha menenggelamkan diri pada khayalan. Tangis itu pun terus tertuang, sampai Dion merasakan sebuah dekapan erat. Dia mengangkat wajahnya, dilihat Yoda sedang menatap sayu. "Maafin Yoda, Mi! Janji enggak akan bikin Mami nangis lagi," Yoda menghapus sebagian wajah Dion yang basah oleh air mata. "Maaf ya, Mami jangan nangis lagi!" "Mami enggak nangis kok," suara Dion semakin berat. "Mami cuma … Bahagia, karena berhasil mendapatkan medali ini. Maaf, Mami lupa nunjukin ini ke kamu. Medali ini, udah hampir seminggu di tas." Sontak Yoda merenggut penghargaan yang didapat oleh Dion. "Wah, jadi Mami menang? Ini juara ke berapa Mi?" Dion pun menunjukkan tulisan angka yang tertera di medali. "Juara ketiga, sayang. Enggak apa-apa ya? Mami belum memberikan yang terbaik buat kamu." "Bukan yang terbaik, tapi ini luar biasa." jawab Yoda tiba-tiba membuat Dion bangga. Tangis itu pun hilang. Namun, sesak di d**a Dion masih saja membekuk diri. Dia langsung memeluk Yoda, membelai kepala anak itu. "Sayang, jangan bosan untuk memberikan dukungan buat Mami ya! Dan … Yoda juga harus terus semangat untuk belajar, Mami bakal dukung kamu jadi dokter." "Terima kasih, Mi. Yoda sayang Mami." ucap suara itu seolah menahan beban di tenggorokan. "Sama-sama, kamu juga luar biasa. Terus di samping Mami ya sayang! Inget pesan Mami apa?" "Rajin belajar, jangan malas!" pekik Yoda rupanya mengingat semua dengan baik pesan ibunya tersebut. "Iya sayang, pinter nya anak Mami." ucap Dion mendukung, dia pun memberi kode kepada Yoda dengan matanya ke arah lemari pendingin. Memahami apa yang dikatakan Ibunya, Yoda pun segera bangun dan berlari ke lemari pendingin yang terletak di pojokan, dekat dengan lemari peralatan rumah tangga. "Mami, kita mau masak apa?" "Kamu maunya apa?" tanya Dion sembari mendekat. "Bentar," Yoda segera membuka lemari pendingin, dia melihat isi dalamnya. "Ada beberapa nih, sayur ada, telur ada, sama … Ayam. Ayam aja ya, Mi?" "Ok," Baru saja Dion akan mengawali masak malam ini, dia sudah mendengar suara bel pintu. Dion dan Yoda saling menatap, kemudian tangan mungil itu mengambil centong nasi. Tetapi, Dion mencegah langkah Yoda saat akan keluar. "Hei, buat apa centong itu?" "Kan dulu Mami pernah gunain ini pas ada orang ketuk pintu, terus ternyata itu maling." jawab Yoda merasa apa yang akan dilakukan adalah benar, dan itu sesuai dengan Ibunya. Dion pun menahan tawa, dia menggelengkan kepala sambil berkata, "Jangan deh! Yoda tunggu di sini aja ya! Biar Mami yang bukain pintunya!" Menurut Yoda, mengangguk dan tetap diam di dapur adalah tindakan paling benar. Lalu dia bersembunyi di bawah meja makan. Hal itu pun membuat Dion menggeleng, dia merasa lucu akan tindakan anak bujangnya. "Hm, itu pasti kebanyakan nonton film horor di rumah si Om." Dion menduga jika pamannya telah mendoktrin pikiran Yoda. Baiklah, saatnya Dion keluar lalu menuju ke arah pintu. Namun, benar saja dia juga merasa ragu ketika telah melihat siapa orang yang bertamu malam ini. Pemilik rumah yang Dion sewa. "Ya ampun, kan aku udah bayar buat 2 bulan ke depan? Masa dia … Mau ngutang lagi? Dengan alasan, yang sama? Ih, sumpah ngeselin deh bapak-bapak satu itu!" Bukan menyimpan dendam, atau Dion benci akan si pemilik rumah sewa yang cukup luas dan memiliki 3 kamar. Tetapi, Dion malas karena pria tak lagi muda itu seolah sedang mengincarnya. Lalu, Dion pun terpaksa membukakan pintu. Ini semua demi, agar Dion bisa menetap di rumah tersebut. Pintu terbuka, Dion pun dapat menemukan senyum manis dari pria yang memiliki tanda di bawa mata. "Pak, Jul. Ada apa?" "Kamu ini, tanyanya kok begitu sih?" tanya pria bernama Julion Ferdinan. Dion menarik napas, dia sedikit panik. "Bu…kan begitu sih Pak, jadi … Cuma kaget aja, kok Bapak datang, kan aku …," "Tenang! Aku ke sini bukan mau pinjem duit kok. Kan rumah ini jadi punya kamu selama 2 bulan, tenang ya! Jadi … Aku ke sini itu, ya karena mau ngomong soal … Si ganteng dan gagah." dalam akhir kalimat, Julion berkata lirih. Di mana itu membuat Dion semakin berat dalam menarik napas. "Oh, Musa. Memangnya …," sesekali Dion melirik ke arah dapur. "Ada apa, sama Musa?" "Kamu lupa ya? Sama pertanyaan Bapak kemaren?" tanya Julion berusaha mengulang apa yang dikatakan waktu itu. "Pertanyaan? Um … Yang mana ya, Pak?" Dion pun lupa dalam segalanya, dia terlalu sibuk memikirkan waktu. Julion pun merasa sia-sia, dia melengos ketika mendapati sebuah jawaban Dion yang demikian. "Ya udah, enggak usah dibahas dulu deh, Neng! Percuma juga, soalnya aku ke sini itu ya … Mau tanya soal Musa juga. Dia ada di sini, enggak?" Baru mengatakan soal Musa, barulah Dion memahami apa yang dimaksud oleh Julion. Ya, dia ingat akan malam itu. "Dia enggak ada di sini, Pak. Kalau tadi pagi itu, kebetulan lewat aja. Dan … Karena aku bikin kue itu banyak, akhirnya aku suruh Musa bawa sedikit. Tapi kue nya enak 'kan, Pak?" "Kue nya enak," Julion melirik ke arah Yoda. "Tapi sayang, aku itu kurang suka keju. Padahal kue kamu cuma dikit sih pakai keju nya, tapi di lidah ini aneh." Dion bersungut. Dalam batin, dia menganggap jika Julion sedang mematahkan resep kue miliknya. "Enggak banyak kok, kalau kata Musa juga enak. Cuma Bapak aja yang bilang, kata anak saya juga … Rasanya enak." "Kan itu kata Musa sama Yoda, orang yang …," Julion tidak melanjutkan kata-katanya. Membuat Dion merasa canggung, kemudian dia mempersilakan kembali Julion masuk. Semua dilakukan supaya Dion tidak dianggap meremehkan orang tua, padahal baginya sendiri malas berbuat sok baik kepada orang. Jujur saja, Dion sudah malas menerima tamu dikala lelah. Ini saatnya istirahat. Pekik Dion di dalam hati. "Enggak usah deh, Nak. Aku cuma bentar aja kok," Julion kembali melihat ke arah Yoda yang sedang berdiri di dekat lemari sekat ruangan. "Asal, kamu jangan pernah lupa sama rencanaku ini ya! Soalnya, aku enggak pernah main-main sama sesuatu!" Lambat laun, senyuman Dion memudar ketika melihat Julion mulai meninggalkan teras rumah. Dia melirik tak tentu arah, bertujuan supaya bisa melampiaskan pandangan untuk menenangkan diri. Apa yang dikatakan Julion waktu itu, sebenarnya tak membekas dan membuat Dion berpikir secara serius. Tetapi, ini bisa membuat sebuah tekanan yang menjadi. Tentang tujuan Julion saat itu, selayaknya syarat. Dion bisa menempati rumah dengan segala peralatan rumah tangga dengan harga sangat murah, asalkan Musa anak satu-satunya bisa menikah dengannya dalam waktu dekat. Benar-benar membuat Dion bingung, dia tidak siap lantaran masih ingin mengejar cita-cita. Lagi, Dion juga menganggap Musa adalah teman satu kelas yang baik saat SMP. Kisah Dion, hanya ingin tercipta atas cinta dalam diam seorang Frey.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD