LITTLE BLACK DRESS - 04

2085 Words
Telinga terpasang dengan sempurna, hanya saja Dion merasa kecewa karena kedatangannya ke Bandung hanya sebagai alasan untuk Mahendra bisa memberi waktu kepada seorang pria. Orang tersebut berasal dari keluarga terpandang, bisa dikatakan masih ada keturunan ningrat. Meski sudah beberapa kali Dion dipertemukan, dia tetap saja enggan mengenal lebih dekat pria bernama Keenan. Ya, walau dari cara bicara dan berpenampilan Keenan memang terkesan profesional. Tetapi, sekali lagi Dion menganggap itu hanya dari luar saja. "Dion, kamu denger Papa ngomong?" tanya Mahendra menegur, dia mengamati putrinya terus melamun. "Ya, Pa. Aku denger kok." jawab Dion, sambil kedua siku bertumpu pada paha. Posisi badannya setengah membungkuk. Pengacara yang datang, hanya membicarakan mengenai saham lain sudah resmi menjadi hak milik Dion. Namun, untuk mengembangkan bisnis tersebut dia masih mengandalkan orang lain untuk mengatasi semua. Itu bukan salah satu cita-cita Dion, meski dulu dia menginginkan profesi sebagai dokter spesialis. "Ini … Pembicaraan kita udah selesai, Pa?" tanya Dion menimbulkan cara Keenan menatap ke arah Mahendra. Keadaan sempat sepi, jujur saja Mahendra begitu malu atas kelakuan Dion. Kemudian dia meminta supaya putrinya berlaku sopan, meski Keenan sudah tahu akan sikap Dion yang terkesan seperti preman, tetap saja itu terasa kurang adil. "Emangnya kamu mau ke mana? Buru-buru gitu?" tanya Mahendra memberi rasa curiga pada Dion. "Aku … Mau pulang, karena udah janji sama Yoda hari ini enggak akan bermalam di mana pun!" ucap Dion terpaksa berbohong. "Mau aku antar?" tiba saja Keenan menyahut, dengan menawarkan sesuatu yang istimewa untuk Dion. Tawaran itu bukan sekadar sebuah uji coba, jujur saja Dion kurang suka akan usaha apa pun meski sebenarnya Keenan adalah pria yang baik. "Aku bawa motor, jadi enggak perlu! Bandung kan deket." Melihat penolakan itu, Mahendra melirik ke arah pengacara. "Dion, kamu akan pulang besok! Soalnya Papa belum selesai ngomong!" Tanpa menghiraukan perkataan Mahendra, kini Dion sudah mengenakan jaket dan sarung tangan. "Maaf, Pa. Soalnya Yoda di rumah sendirian, kasian dia besok juga udah mulai berangkat sekolah!" "Apa?" "Iya," Dion dengan santai nya sudah mulai mengikat habis rambut ke belakang. "Berangkat ke sekolah, kan hari ini terakhir libur panjang!" Walau tidak menerima alasan apa pun Dion, rasanya kurang pantas saja jika Mahendra memaksakan keadaan. Dia hanya diam, sambil menatap ke arah lain di mana semua dilakukan karena rasa kesal. Mahendra jelas masih ingin berlama-lama bersama Dion, dia rindu. Namun, rasa itu rupanya terbatas. Dion pun usai, dia sudah siap untuk segera pergi. "Pa, aku pulang dulu ya! Kapan-kapan aku ke sini lagi!" "Tanpa kamu juga Papa bisa hidup, Dion!" celetuk Mahendra menuang rasa kesal yang dalam. Mendengar kata itu, Dion merasa tidak layak menjadi seorang anak. Dia telah mengabaikan Ayahnya selama beberapa bulan. Setelah perceraian kedua orang tua, Dion merasa sudah sia-sia dalam menjalani hidup. "Aku tau, Pa. Tapi … Aku harus kejar cita-cita dan hidup mandiri. Papa kan tau, aku … Enggak suka hidup yang kurang sesuai di aku. Tolong, jangan apa-apa soal ini. Aku udah enggak mau berantem sama Papa lagi, cukup!" Mahendra seketika menatap Dion. "Hiduplah yang berguna bagi orang-orang yang menyayangi kamu, Dion! Kalau kamu enggak bisa, ya udah coba untuk bertahan sebagai orang yang sama sekali enggak berguna!" Kata-kata itu, sempat diucapkan oleh Ibunya sebagai wujud rasa kecewa atas terjadinya perceraian. Dion pun lemah dalam melangkah ketika mendengar itu, dia tetap berjalan sebagaimana wanita kuat. Namun, tetap saja berat ketika akan meninggalkan rumah Mahendra. [...] Rasa itu tertanam begitu dalam meski Dion hanya bisa memandang dari jarak jauh. Dia berada di tepi jendela Dojo, sedang pria bermata sipit dengan alis tebal di sana sedang berdiri sambil berbicara dengan seseorang. Meski ingin, Dion tidak kuasa ketika sesi latihan kali ini belumlah selesai. Dia menoleh ke arah lapangan, dosen yang memberikan Dion pelatihan masih berada di sana. Ya, tentu saja itu membatasi ruang gerak Dion untuk keluar. Namun, tetap saja Dion memiliki banyak cara untuk semua itu. Dia meminta ijin untuk memberikan baju Devi, dan memang kebetulan wanita itu sedang berada di tempat parkir dan hendak pergi. "Iya, enggak apa-apa Dion. Kamu bisa pergi sekarang, udah selesai kok!" Betapa Dion senang mendengar semua itu, dia bergegas melepas obi kemudian pakaiannya. Kini Dion hanya mengenakan kaos dan celana pendek, dia berlari kecil ke arah Devi. Dan secara kebetulan Frey baru saja keluar dari tempat gym, Dion yang awalnya tidak mempedulikan masalah penampilan justru kini dia khawatir jika tatanan rambut kurang rapi, badan bau, juga wajah nya tidak karuan. Dia sempat berhenti, walau Devi sudah melihat dan melambaikan tangan ke arahnya. "Aduh, kenapa aku enggak pake make up dulu? Lipstik deh paling enggak, dasar aku bego!" Dion memaki diri. Masih saja Dion enggan untuk melangkah lebih dekat dengan teman-teman. Bukan, dia hanya kurang percaya diri di depan Frey. Ya, karena sadar jika wajahnya baru saja berkeringat. Tetapi, Devi memaksa dari jauh melambaikan tangan. Setuju atau tidak, Dion pun melangkah pelan sambil memeluk baju milik Devi yang sudah dicuci. Kemudian dia memerhatikan dirinya dari pantulan kaca saat melintas di tempat gym, Dion benar-benar mendapati keadaannya yang kusam. "Ok, aku harus menjadi diri sendiri! Lagian kan, emang Frey bukan siapa-siapa aku!" "Setuju!" ucap Rasti yang seketika itu timbul dari benak Dion. Langkah Dion terasa ringan saat dia meyakinkan hati, bahwa menjadi diri sendiri itu sangat diperlukan. Walau pun sebenarnya peduli akan penampilan adalah hal terpenting, itu semua karena Dion adalah publik figure satu kota. "Hai, ini dia … Jagoan VEOSTRA!" seru Frey tiba-tiba membawa dojo terbesar di Jakarta. Dion mendadak gagal konsentrasi, dia kembali canggung saat melihat bahwa dirinya hanya mengenakan kaos biasa dan celana kebesaran karena dia baru saja berlatih. "Eh, itu … Ah kamu, bisa aja." Frey mengamati Dion dari ujung kepala hingga kaki. "Keren kok, kamu makin tangguh!" Keren? Benarkah? Dion terharu. Tetapi, dia pandai dalam mengatur sikap sehingga mampu mencapai tempat Devi. Kemudian segera memberikan baju berwarna hijau tua. "Dev, ini bajumu. Udah dicuci bersih." "Oh," Devi menerima baju tanpa dibungkus apa pun dari tangan Dion. "Makasih ya sayang, kamu baik deh." "Ah, enggak juga kok." ucap Dion sebenarnya masih tersipu akan pujian Frey. "Eh, aku juga mau dong! Dion," salah satu teman laki-laki Devi melepas pakaiannya. "Aku mau dong, dicuciin!" "Heh," Devi memukul wajah temannya dengan kain. "Dia itu pinjem bajuku, bukan minta dicuciin lah!" "Oh," pria itu tertawa sambil mengusap pipi bekas pukulan baju. "Kirain, tapi Dion emang wanita luar biasa ya. g****k banget itu laki-laki, kalau sampai ceraikan Dion!" Cerai? Rupanya candaan itu berbeda konteks. Dion merenung, memang tidak seharusnya dia memiliki kehidupan saat ini. Dan tidak jarang, Dion berandai-andai untuk bisa merasakan kesenangan di usia nya saat ini. Tetapi, semua harapan itu tinggal lah rasa yang percuma. "Dion, kamu kenapa diem?" tegur Devi merangkul Dion. "Eh, enggak kok." perasaan Dion seketika runtuh, dia harus menerima nyata bahwa kini Frey tahu akan status nya. "Oh ya Dion, aku mau bicara. Sini sama kamu!" salah satu teman Devi, tiba-tiba membawa Dion ke tempat sepi. Tidak ada yang bisa membuat Dion merenung. Ya, tidak ada. Dion selalu berpikir dengan logis setelah beberapa tahun berpisah dengan kekasihnya. Kini, Dion hanya diam tanpa memberi reaksi ketika diajak bicara. "Kamu denger 'kan?" tanya teman Devi, bernama Ganish. "Aku …," Dion mulai menyadarkan diri. "Iya, iya aku … Denger kok." "Apa coba? Kamu denger apa?" tanya Ganish. Lamunan Dion terangkat, saat dia telah melihat Frey berjalan ke arah parkiran kemudian naik mobil berwarna putih pucat. "Aku enggak denger sepenuhnya sih, cuma … Kamu kan yang mau pinjemin aku gaun?" Ganish tertawa kecil. "Iya, bener. Gimana? Kamu mau? Acara Frey kurang seminggu lagi loh, kamu harus ikutan!" "Kalau aku enggak bisa gimana?" tanya Dion penuh sesal, padahal ingin sekali ikut andil dalam pesta Frey. "Ih, jangan dong! Kamu harus ikutan!" Ganish membujuk. "Mau kok, tenang aja!" mendadak Dion kembali ceria. Mendengar jawaban pasti dari Dion, kini Ganish bisa tertawa lantang. "Ok Dion, akhirnya … Ada juga yang mau beli, walau sebenarnya itu aku kasih ke kamu sih!" "Jadi … Itu harganya berapa?" tanya Dion masih sesekali melihat mobil Frey yang mulai menghilang. "Hei, enggak! Aku … Tetep dateng kok, kamu … Ke rumahku aja ya! Soalnya aku udah pesen make up artis buat ke rumah, keponakan sendiri sih." jawab Ganish malu-malu. Dion sama sekali tidak terhibur, dia menatap Ganish tanpa ekspresi. "Iya, aku ke rumahmu!" "Ok, deh. Beres!" pekik Ganish, meninggalkan Dion begitu saja. Lalu kembali ke kerumunan teman-temannya. Sedang Dion, dengan pelan kembali ke dojo sambil membenahi hatinya yang hancur karena Frey tahu akan statusnya saat ini. Ya, selama ini Dion bersembunyi dari status wanita tak lagi sendiri melainkan sudah memiliki anak. [...] Dalam melawan keadaan hari itu, rasanya sulit dipercaya hingga dua hari berlalu. Menjelang pesta besar ulang tahunnya, Frey sudah menyebar undangan ke banyak rekan dan kolega. Bukan semata acara biasa, ini dilakukan karena keluarga besar Saskara menginginkan acara pertunangan segera dilakukan. Ruangan yang menjadi pilihan, luas dan megah sudah ditata rapi hingga 70% tak seketika membuat Frey senang. Dia hanya duduk, bersandar di meja makan yang sedang dihias, lalu melihat sekeliling. Namun, perasaannya bermasalah. Ada apa? Setelah menundukkan kepala, dia ingat akan kabar duka bahwa Dion sudah memiliki seorang anak. Sial. "Pak Frey, ini mau ditaruh di mana ya?" Suara penata dekorasi mengejutkan Frey. "Eh, iya. Di mana aja deh. Bagus kok." "Ok deh, Pak. Tadi saya tanya, Pak Frey bilang di dekat panggung. Tapi … Ya kalau menurut saya agak ke tengah gitu, soalnya kan ini kolam hias." ucap sang penata dekorasi. Frey mengangguk pelan. "Ya … Udah, taruh aja! Aku suka semua kok." "Iya, ya. Calon pengantin, hatinya sih bahagia terus!" goda salah satu rekan, yang merupakan pengurus utama pesta. Pengantin? Frey menyisihkan bibirnya, tanpa beranjak dari sana dia pun melirik sekilas. "Sana urus dulu pekerjaanmu!" "Iya, iya. Pak bos." Lalu Frey kembali tenang, dia menatap hiasan di langit ruangan. Terdapat lampu besar, hiasan berupa ornamen awan dan petir. Bagus. Dia membatin, hanya saja ketika melihat ke arah kaca Frey termenung. "Jadi bener ya aku bakal nikahin Metha? Kita kan baru pacaran setahun, secepat itu?" Pandangan Frey ke lantai, dia ingat akan wajah cantik memesona seorang Dion. Jujur saja, sejak pertama melihat Dion usai bertanding dan memenangkan juara 3 di televisi, Frey sudah merasa lain. Apalagi saat bertemu secara langsung. Meski sebenarnya tidak ada apa-apanya dengan Metha yang anggun dan manja, Dion gadis tangguh dan apa adanya dalam segi penampilan. "Stop, Frey! Dia punya orang lain! Dia … Udah punya anak, ok!" gumam Frey, memaki diri. Terpana dengan dua mata, membara di d**a ketika Frey menyadari saat itu dia sedang berlatih dengan Dion. Wanita pertama menjadi kebanggaan VEOSTRA Group. Saat di mana Frey melihat Dion mampu melakukan push up sebanyak 50 kali dalam satu waktu, dengan tempo yang sempurna, bahkan dia saja masih mempelajari hal itu hingga saat ini. Ya, meski banyak orang yang lebih ahli. Tetapi, bagi Frey wanita itu luar biasa. Lagi, Frey mengingat di mana Dion mampu membenahi ruangan gym yang berantakan. Sungguh, momen yang sebenarnya itu adalah hal biasa. Namun, Frey hanya pria bodoh yang seketika jatuh cinta dengan Dion. Tetapi, kini dia berjuang untuk menyembunyikan perasaan itu. Semua dilakukan demi keluarga, juga martabat sebagai pria dari keluarga terpandang. "Ya, mungkin emang aku harusnya cuma temenan sama Dion. Dia … Cukup jadi temen, bukan siapa-siapa!" pekik Frey terlalu kejam akan perasaannya. Usai membentengi diri, Frey pun segera pergi. Tetapi, dia tidak sengaja menemukan Ayah dari Metha. Meski malas, Frey terpaksa mendekat. "Selamat pagi, Tuan Ken. Apa kabar?" "Eh, hai Frey. Baik. Kamu gimana? Kok jarang ke rumah? Metha kan kangen!" ucap Ken di telinga Frey, bermaksud menggoda. Tanpa adanya perasaan yang bangga, Frey memalsukan senyuman manis nya. "Iya, Om. Aku sibuk, jadi … Emang belum sempet ke rumah, aku juga udah bilang sama Metha. Kita ketemu seminggu sekali aja!" "Kirain kalian lagi ribut, orang mau nikah kan banyak godaan nya." ucap Ken menohok hati Frey. Benarkah? Frey pun murung. "Iya, ya Om. Bener." "Iya, dulu Om sama Mama nya Metha juga gitu. Mau nikah, eh pakai digoda sama wanita lain. Om hampir hanyut, cuma … Masih ada perasaan setia. Jadi, sampai deh ke jenjang pernikahan." ucap Ken dengan bangga, dia menatap Frey intens. Frey mencerna dengan baik, hanya saja dia membantah. Dion tidak pernah menggoda, bahkan gadis itu selalu saja menjauh. "Semoga kita sama-sama diberi kekuatan, apa pun kendala nya." "Iya, bener banget!" Ken setuju akan cara berpikir Frey. Pembicaraan berlanjut, mengenai pesta dan acara pernikahan yang akan digelar 3 bulan lagi. Frey benar-benar kurang bersemangat, entah wajah cantik Dion dipenuhi akan keringat saat berolahraga membuatnya mampu tersenyum kecil. Ya, Frey rutin memerhatikan Dion dari jauh saat berada di dojo. Berlatih karate, sedang Frey di tempat lain di satu kawasan yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD