''Patah hati banget deh gue Mai, ternyata sepupu suami Lo sudah beristri,'' ucap Raya yang tak ku hiraukan.
Aku masih tidak menemukan apapun disini, barang apa yang di maksud Maxcel sih. Aku masih penasaran dengan pesan Maxcel tadi yang tidak boleh menyentuh apapun barang pribadinya.
Tak berselang lama ada seseorang mengetuk pintu, Raya segera membuka dan ternyata yang datang seseorang membawa makanan.
''Maaf kami tidak pesan makanan,'' ucap Raya dan aku segera mendekat.
''Maaf Bu kalau menganggu kenyamanan Anda, tadi ada seorang laki-laki menelpon kami untuk mengantarkan makanan kesini,'' ucap seseorang yang membawa beberapa makanan itu.
''Jadi semua berapa?'' ucapku namun Raya sedari tadi menyenggol lenganku.
''Semua sudah di bayar Bu!.''
''Ya sudah bawa masuk ya, simpan di meja sana,'' ucapku sambil melirik Raya.
Setelah tiga orang itu pergi Raya menatapku penuh tanda tanya.
''Udah makan saja, kalau gratis berati sudah ada yang bayar.''
''Saat Lo tanya harga berapa, jantungku berhenti berdetak Mai. Makanan sebanyak ini, dan menu mahal semua.''
''Ya udah ayo kita makan, Maxcel sudah ngirim pesan tadi. Selama kita disini tidak usah memikirkan makan.''
''Suami Lo perhatian kenapa beda dengan cerita Lo sih Mai.''
''Dia perhatian soal kehidupanku Ray, tapi tidak dengan hati dan perasaanku. Dia tau tanggung jawabnya, tapi tidak dengan ...''
''Udah-udah, ada makanan enak ini jangan kamu cerita sedih terus. Yang ada entar malah tidak mood makan.''
Aku tersenyum dan segera menikmati serapan sekaligus makan siang.
Karena makanan ini terlalu banyak untuk kita habiskan berdua, sisanya pun kami simpan untuk makan nanti malam.
Tak terasa waktu begitu cepat, baru saja kita membaringkan tubuh jam sudah menunjukkan pukul 9 lebih. Raya yang sudah selesai mandi pun sekarang giliran ku. Kami tidak menepati tempat tidur Maxcel, kami berdua memilih kamar di sampingnya. Walau Raya memaksa ku untuk tidur disana, namun aku lebih memilih tidur berdua dengannya.
Setelah selesai siap-siap kami pun akan turun kebawah untuk menuju tempat dimana kami pelatihan.
''Mai, Lo tau caranya turun?''
''Tau Ray, tadi aku memperhatikan security saat naik di lift,'' ucapku nyengir pada Raya.
Terlihat dari raut wajah raya meragukan ku, padahal aku sendiri juga ragu untuk bisa turun dari lantai 150 ini.
''Udah ayo masuk,'' ajak ku pada Raya.
Aku menekan tombol arah panah ke bawah dan menekan lantai utama. Raya sempat kaget saat lift ini bergerak, entah ini turun atau naik yang jelas lift sempat berhenti dan ada satu pria tua yang masuk.
''Bapak mau turun atau kemana?'' tanya Raya yang sangat di sayangkan dan membuatku kesal.
''Iya mau turun, kenapa?''
''Oh iya pak, kita juga mau turun. Temanku ini memang jiwa kepo nya tinggi, maklum anak kampung pak,'' jawabku sambil melirik ke arah Raya.
Bapak itu hanya manggut-manggut dan tidak mempedulikan kita lagi, aku pun menarik lengan Raya keluar dari dalam lift.
''Lihat kan, kita sudah menginjak bumi beneran,'' ucapku mengejek Raya sambil ketawa.
''Iya-iya Bu Maxcel,'' ucap Raya yang cengar-cengir.
Kami pun segera masuk ke dalam mobil yang sudah kami pesan tadi untuk menuju ke rumah sakit.
Saat sudah sampai kami pun segera mencari aula dimana tempat kami pelatihan nanti. Sudah ada beberapa teman dari berbagai kota yang hadir dalam pelatihan ini. Kami pun saling berkenalan dan saling bercerita, ini benar-benar sangat menyenangkan dibanding hanya berdua dirumah dengan kulkas freezer.
....
Sedangkan dirumah dinas Maxcel tampak bangun pagi-pagi untuk menyapu dan mengepel rumahnya. Ia juga memasukan baju-baju kotornya di dalam mesin cuci kemudian menyalakannya, lalu ia tinggal untuk membersihkan rumah.
''Kasihan juga Maira setiap hari berat tugas yang ia lakukan,'' ucapnya lirih sambil mengelap keringat di dahinya.
Setelah selesai mengepel lantai kemudian ia ke arah wastafel untuk mencuci piring bekas tadi malam ia makan. Tadi malam ia tidak masak melainkan pesan makanan jadi. Itupun sudah banyak cucian kotor menumpuk di wastafel.
''Apa selama ini aku keterlaluan ya sama Maira,'' gumamnya dalam hati.
Maxcel pun duduk di meja makan hanya serapan dengan Indomie dan telur. Padahal biasanya kalau ada Maira ia selalu menyiapkan menu-menu yang sehat di meja makan.
''Hanya karena aku tidak beruntung soal cinta, aku mengabaikan seseorang yang sudah mengabdi pada hidupku,'' lirihnya sambil memandangi Indomie telur di depannya.
Ia pun bergegas menghabiskan makanannya dan segera siap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia tak mau memandangi makanan itu terus menerus hanya karena memikirkan hal yang tidak penting, namun lebih penting harus dirubah.
Saat akan berdiri ponsel Maxcel yang di depannya berdering.
''Iya hallo Ar,''
''Maaf Mac mengganggu pagi-pagi,'' ucap Ardham di sebrang.
''Iya santai bro, ada apa?''
''Sebelum Maira masuk ke apartemen lo, gue sama Raffelin masuk dan membawa semua barang Lo yang berhubungan dengan Vanilla, maaf bro gue nggak ijin dulu.''
Maxcel menarik nafas lega, sehingga ia tidak perlu mencemaskan apa yang ada disana. Apartemen itu menjadi tempat semua ia menyimpan kenangan bersama Vanilla.
''Gue makasih bro, gue juga kepikiran sedari tadi. Walau gue sudah peringatkan Maira, tapi gue yakin dia tidak akan diam begitu saja.''
''Lo harus move on bro, ada istri yang harus Lo jaga hatinya.''
''Iya gue akan berusaha Ar, btw dimana Lo simpan semua?''
''Aman dirumah gue, tersimpan rapi. Ya udah gue matiin ya, gue mau serapan nih.''
Wah... Saya ucapkan banyak terimakasih buat kakak yang sudah sampai sini