15. Keberuntungan atau Takdir yang Belum Menggariskan

1080 Words
Jeva menatap gedung pencakar langit di hadapannya. Ia menatap ujung gedung tersebut. Tempat di mana ruangan pemimpin perusahaan ini berada. Sebenarnya ia tidak ada masalah apapun dengan Prasta, hanya saja wajahnya yang mirip dengan Daska selalu membuatnya teringat dengan kenangan masa lalu yang ingin ia kubur. Hal itu membuat Jeva sangat tidak nyaman dan entah karena alasan apa, hatinya terasa perih saat melihat pria itu. Namun ia tetap harus bekerja dan bersikap secara profesional. Jeva sudah bekerja di bidang ini selama llebih dari 7 tahun, ia tentu saja bisa membedakan mana masalah pribadi dan mana masalah kantor. Ia harus mengesampingkan urusan pribadinya terlebih dahulu. Lagipula, ia tak setiap jam bertemu dengan Prasta. “Huft.” Jeva menghembuskan nafasnya dengan kasar. Walaupun hatinya berusaha untuk mengatakan jika semuanya akan baik baik saja, tetap saja ada segelintir ragu yang mencekat perasaan perempuan itu. Ketakutannya bertemu dengan pria yang memiliki wajah sama dengan pria masa lalunya. “Kenapa?” tanya Ervan yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Jeva. Pria itu mengenakan setelan kemeja putih dan jas hitam, ia membawa ransel di punggungnya seperti biasa. Menatap rekan kerjanya, lalu ke arah gedung secara bergantian. “Astaga!” seru Jeva karena terkejut. Fikirannya terlalu kacau hingga tidak menyadari kehadiran rekan kerjanya itu. “Sejak kapan kau ada di sini? Mengejutkan orang saja!” omelnya mencak mencak. Ervan menoleh heran. “Sejak tadi kau menatap gedung ini dengan tatapan sedih, aku sudah ada di sini. Kenapa? Kau tidak menyangka telah menjadi karyawan tetap di gedung sebesar ini? Kau merasa terharu karena sudah bisa menjadi bagian dari perusahaan terkemuka seperti DoubleU, menjadi bagian dari Tim Keuangan dan bisa menjadi rekan kerjaku? Hehm?” celoteh Ervan dengan mata menyipit, menggoda Jeva memang sangat menyenangkan hingga Ervan ketagihan. Jeva terkekeh pelan mendengar candaan Ervan barusan. “Kau benar." Perempuan itu mengangguk tak acuh. "Wuah, aku tidak menyangka menjadi bagian dari gedung ini dan bisa bekerjasama dengan pria sok tampan sepertimu” ocehnya kemudian berjalan meninggalkan Ervan di belakang. Ia masuk ke dalam gedung dengan senyum gelinya. “Ya! Kapan aku bersikap sok tampan?” teriak Ervan menyusul Jeva masuk ke dalam gedung. Pria itu merangkul pundak Jeva, tertawa bersama layaknya sahabat karib. Dari jauh, Prasta melihat interaksi mereka berdua. Ia sudah sejak lama mengamati Jeva yang berdiri di depan gedung DoubleU. “Kau bisa tertawa dan bersikap santai di depan oranglain, tapi kenapa tidak denganku. Seolah olah jika melihatku, kau justru merasakan sakit. Aku benar benar tidak mengerti apa yang terjadi,” gumamnya pelan. Tidak ada yang tahu bahwa mereka hanyalah dua orang yang terluka karena kejadian di masa lalu. Mungkin itu yang membuat mereka berdua memiliki ikatan yang tidak bisa digambarkan dengan kata kata. ****** Prasta duduk di ujung meja panjang yang terdapat di aula rapat gedung DoubleU, pria itu sedang menghadiri rapat bulanan yang harus di hadiri oleh masing masing kepala divisi, termasuk divisi keuangan. Sialnya, kepala divisi keuangan, Mr. Han, tidak bisa menghadiri rapat karena sedang cuti sakit. Alhasil, Jevalah yang dikirim oleh pihak divisi keuangan karena perempuan itu cukup berpengalaman di perusahaan sebelumnya. Sepanjang rapat, Jeva mencoba untuk tak menatap ke arah Prasta. Perempuan itu mencoba menyibukkan diri untuk membaca laporan di hadapannya. Saat presentasi pun ia hanya menatap ke semua orang, kecuali Prasta. Prasta melihat usaha yang dilakukan oleh Jeva. Ia tidak mengerti kenapa perempuan itu berusaha menghindarinya. Ia bahkan menatap Jeva terang terangan, ia yakin sebenarnya Jeva menyadari tatapannya. “Pak Prasta, apa ada tanggapan lain?” tanya Jesi kepada Prasta. Prasta menoleh ke arah asistennya. “Tidak ada, “ujarnya pelan. Ia kemudian menatap ke semua orang yang ada di dalam ruangan rapat. “Baiklah, kita akhiri saja rapat hari ini. Terimakasih untuk semuanya,” ujarnya dengan penuh wibawa. Jeva buru buru beranjak dari kursinya, namun langkahnya terhenti lantaran Prasta memanggilnya. “Bisa kita berbicara sebentar di ruangan saya?” ucap Prasta pada Jeva. Sebagai bawahan, tentu saja Jeva hanya bisa mengangguk dan menjawab ‘ya’. Mereka berdua berjalan menuju ruangan Prasta. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan dan itu semakin membuat Jeva tidak nyaman. Prasta duduk di kursinya dan meminta Jeva untuk duduk di hadapannya. “Ada perlu apa, Pak Prasta ingin bertemu dengan saya?” tanya Jeva pelan setelah ia duduk. Perempuan itu berusaha bersikap tenang di hadapan atasannya ini. Prasta tidak langsung menjawab, pria itu justru mengamati wajah perempuan yang menunduk di hadapannya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia sudah tidak sabar mengutarakan pertanyaan yang terus menghantuinya sejak bertemu dengan Jeva. Bahkan saat dulu, ia belum mengetahui nama perempuan itu. “Apa kita pernah saling mengenal sebelumnya?” tanyanya kemudian. “Apa?” Jeva sontak mendongak dan retina mata mereka bertemu. Mereka saling bertatapan cukup lama. Seolah tenggelam pada retina sehitam jelaga yang mereka tatap. “Ehm.” Prasta yang lebih dulu menghindar, tiba tiba saja ia menjadi salah tingkah saat bertatapan dengan Jeva seperti tadi. “Mungkin kita pernah bertemu di Indonesia. Aku dengar kau pindah ke Korea 3 tahun yang lalu,” ujarnya kemudian.Tiba tiba saja ia menjadi gugup. Semakin gugup saat pandangan mata mereka bertemu. “Tidak.” Jeva menggeleng dengan tegas, nyatanya mereka memang tidak pernah bertemu baik di Indonesia atau pun di Korea. Pertemuan mereka adalah di ruangan ini. “Saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelumnya.” “Benarkah?” Prasta masih kurang yakin dengan jawaban Jeva. “Itu benar.” Jeva mengangguk dengan yakin. Prasta menilai ekspresi wajah Jeva saat ini dan ia melihat kejujuran di mata perempuan itu. Lalu kenapa setiap mereka bertemu, suasananya menjadi berbeda. Ekspresi wajah Jeva juga berbeda. “Lalu apa kau mengenal Das—” "Jangan katakan!" batin Jeva dalam hati. Tok! Tok! Jesi masuk dengan terburu buru. “Pak Prasta, maaf mengganggu!” “Ada apa, Je?” tanya Prasta menoleh ke arah asistennya itu. “Pertemuan dengan Tuan Frederik dari Belanda ternyata hari ini. Sepertinya saya salah jadwal,” ucap Jesi panik. “Bagaimana bisa?” tanya Prasta beranjak dari kursinya. “Lalu bagaimana? Kau sudah booking tempat? Makanan? Proposal?” “Semuanya sudah siap, Pak. Anda tinggal pergi ke restoran Paradise. Saya sudah pesan tempat di sana,” jawab Jesi cepat. “Ya sudah.” Prasta hendak pergi, namun ia teringat dengan Jeva. Pria itu lalu menoleh ke arah Jeva. “Ehm, kau boleh kembali ke ruanganmu,” perintahnya kemudian. “Baik, Pak.” Jeva pamit dengan sopan. Setelah berada di luar ruangan Prasta, perempuan itu mendesah lega. Bersyukur karena datanganya Jesi membuatnya bisa lolos dari pertanyaan Prasta seputar Daska. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD