…السلام عليكم

2032 Words
Jumat (17.51), 08 Oktober 2021 ----------------------- Layaknya seseorang yang datang tanpa diundang dan hanya mengandalkan ajakan salah satu tamu undangan, wajar jika Emilya merasa sungkan dan menjaga sikap. Tapi tak terlalu merasa asing karena sebagian besar rekan-rekan Elisa sudah Emilya kenal. Memang beberapa kali Emilya pernah ikut sang kakak ke sekolah tempat kakaknya mengajar. Rumah guru yang dijadikan lokasi yasinan kali ini—Emilya lupa siapa namanya meski Elisa sempat memberitahunya—menjadikan beranda dan halaman depan sebagai tempat para lelaki sementara ruang tamu dan ruang tengah sebagai tempat para wanita. Dan sama seperti yasinan di rumahnya beberapa bulan lalu, duduknya lesehan beralas karpet. Emilya mengekori Elisa ke dalam rumah lalu duduk di sebelahnya, paling jauh dari pintu masuk. Saat itu sudah banyak rekan guru yang hadir. Beberapa di antaranya yang belum mengenal Emilya otomatis bertanya, mengira Emilya adalah salah satu putri Elisa. Perlahan tapi pasti seiring obrolan yang kian seru dan ramai, rumah itupun semakin penuh sesak. Wajar saja mengingat tempatnya yang tak seberapa besar dan banyaknya para guru. Sekitar 70an orang. Emilya sebagai orang luar tentunya lebih banyak diam dan memperhatikan. Namun itu sama sekali tak mengganggunya. Dia malah senang dan membiarkan otaknya merangkai lanjutan cerita yang belum ia selesaikan. Suasana berubah hening ketika acara dimulai lalu semuanya khusyu’ mengikuti bacaan imam. Beberapa menit kemudian usai bacaan yasin dan tahlil, seperti biasa dilanjutkan iringan sholawat Ya Nabi, Salam ‘Alaika. Emilya yang memang selalu mengikuti acara pengajian rutin tiap malam jum’at di rumahnya bersama Elisa bisa mengikuti semua bacaan dengan lancar. Namun dia sedikit kebingungan dengan irama lagu saat bacaan sholawat. Sesekali keningnya berkerut karena bacaannya harus terhenti akibat sulitnya irama yang digunakan si imam. Namun sama sekali tak mengeluh karena pada dasarnya Emilya memang tak bisa menyanyi apalagi memainkan irama lagu dengan apik. “Siapa sih yang Imamin?” gumaman Elisa membuat Emilya menoleh pada sang kakak. Namun sebagai orang luar, tentunya tak ada jawaban yang bisa dirinya berikan. “Jeng, Pak Irul yang imami?” kembali Elisa terdengar berbisik. Kali ini sambil sedikit melongok ke arah pintu namun jelas tak terlihat apapun karena mereka berada di barisan paling dalam. “Bukan, Ustadz Faiz,” sahut yang lain, entah siapa. Elisa mengangguk-angguk lalu mendekatkan kepala ke sisi Emilya. “Pantes gak bisa ngikuti irama lagunya. Coba Pak Irul yang imami.” “Hmm…” hanya itu tanggapan Emilya. Memangnya apa lagi? Nama-nama guru yang Elisa sebut juga asing di telinganya. Tentunya dia tidak mengerti apa hubungannya irama iringan sholawat dengan kedua guru yang disebut Elisa. Di tengah nyanyian sholawat, terdengar jelas imam diganti. Kali ini suaranya lebih merdu dan enak didengar. Irama lagunya juga tidak sesulit sebelumnya hingga dengan mudah Emilya bisa mengikuti. Begitu pun Elisa yang langsung kembali celingukan namun kali ini tak berkomentar apapun. Usai bacaan sholawat yang seperti biasa dilakukan dalam posisi berdiri, semua orang kembali duduk dan dilanjutkan doa. Begitu doa selesai, Elisa langsung bertanya kembali, “Tadi yang imami bagian akhir, siapa?” Lagi-lagi seseorang yang entah siapa menyahut, “Pak Khairul.” Setelah mendapat jawaban, kembali Elisa mendekatkan kepala ke Emilya lalu berbisik, “Yang terakhir imami enak kan suaranya? Itu Pak Irul. Dia memang pelatih hadrah.” Kembali Emilya hanya mengangguk-angguk. Sang kakak memang seperti itu. Suka menjelaskan siapa saja teman-temannya dan berbagi cerita apapun yang dia dapatkan selama di sekolah. Itu memang semacam doktrin di rumah kami dari suami Elisa. Kalau ingin bergosip, lakukan di rumah. Dengan orang-orang yang masih satu rumah.   Berkat cerita-cerita Elisa jugalah Emilya hafal beberapa nama teman Elisa meski dia tidak tahu rupanya yang mana. Biasanya setelah pulang nanti dia akan bertanya, “Yang di depan itu siapa? Di sebelah siapa? Di dekat pintu siapa?” Meski ujungnya lupa lagi karena Emilya memang tak mudah mengingat wajah seseorang. Suasana sudah mulai ramai kembali seiring piring-piring nasi dibagikan. Lalu mendadak, para guru lelaki terdengar bersorak di luar yang dengan cepat menular ke bagian para wanita di dalam. Sekilas yang Emilya tangkap hanya kalimat, “Cieee… Bu Vita…” Emilya menajamkan pendengaran dan insting, mencoba meraba-raba alasan kegaduhan itu. Sebagai penulis novel romantis, dengan mudah dia mengerti ada sepasang guru yang tengah dijodoh-jodohkan. Penasaran, Emilya menoleh mencari tahu siapa yang dipanggil Bu Vita. Rupanya dia adalah tuan rumah sendiri. Yang kini tersenyum malu seraya membagikan nasi dan minuman. Sekilas yang Emilya tangkap dari ekspresi si tuan rumah, sepertinya dia tidak keberatan dengan godaan rekan-rekannya. Emilya tersenyum sendiri. Yang Elisa jelaskan dari tadi mengenai rekan-rekannya sama sekali tak menarik. Tapi untuk yang satu ini… dia pasti akan menodong Elisa dengan berbagai pertanyaan mendetail. Lumayan untuk draft novel-novelnya. Dan Emilya sama sekali tak membuang waktu untuk meredakan rasa penasaran. “Itu kenapa?” pancingnya dengan raut pura-pura bingung. Seolah dirinya bocah polos yang tak mengerti apapun. Tanpa ditanya dua kali, Elisa langsung menjawab kembali dengan berbisik. Dengan keramaian di sekeliling, mereka bisa leluasa berbagi gosip tanpa khawatir ada yang mencuri dengar. “Ini si tuan rumah, dijodoh-jodohkan sama salah satu guru.” Hanya itu yang sempat Elisa jelaskan. Tapi tak masalah. Yang penting membenarkan dugaan Emilya. Sisanya nanti saja dalam perjalanan pulang. Dia tak akan menunggu sampai tiba di rumah karena khawatir lupa. “Ehhh, udah jangan gitu. Pak Khairul sudah ada yang punya.” Seruan salah satu guru wanita membuat kening Emilya berkerut. Guru itu duduk tepat di sebelah Elisa hingga Emilya tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seketika otak pengkhayal Emilya berputar dan kembali dia menoleh memperhatikan raut wajah si tuan rumah. Entah si tuan rumah mendengar seruan tadi atau tidak, wajahnya masih menampakkan binar senang sekaligus malu-malu. Emilya membayangkan bisa melihat rona merah di pipi si tuan rumah seperti dalam film kartun. Oh hooo… apa ini cinta segitiga? Atau cinta yang bertepuk sebelah tangan? Emilya menahan senyum geli karena otaknya mulai merangkai kisah seperti biasa. Dia mencoba mengingat tiap detail penting kejadian hari itu untuk melengkapi alur cerita barunya. Hmm, kira-kira apa judulnya, ya? Kisah kasih di sekolah? Tapi ini kan bukan anak sekolah. Eh, tapi kan memang benar di sekolah… Emilya semakin menunduk dan fokus pada nasi di piringnya untuk menyembunyikan pikiran konyol yang melintas di otak pengkhayalnya. Beruntung berikutnya dia teralihkan dengan segelas es sirup segar karena hidungan pembuka tadi hanya menyediakan air mineral. Beberapa menit kemudian, para guru mulai berpamitan dengan si tuan rumah. Beberapa di antaranya masih sibuk membungkus es sirup tadi dan beberapa hidangan pembuka yang masih cukup banyak. Melihat itu, Emilya berbisik pada sang kakak, “Gak mau bungkus juga?” “Malu,” gerutu Elisa. “Itu gak papa…” “Yang gak baik gak usah ditiru.” Namun Emilya masih kukuh membujuk. Entahlah, dia selalu teringat adik-adiknya di rumah tiap melihat makanan melimpah di depan mata seperti itu. “Buat unyil-unyil.” “Gak usah,” kali ini Elisa mengiringi penjelasannya dengan sikutan. Setengah gemas dengan bujukan sang adik. Sebagai balasan, Emilya hanya nyengir lalu memilih diam memperhatikan guru-guru yang masih sibuk membungkus. Dan lagi-lagi perhatiannya teralihkan. Kali ini ke arah depan rumah yang sudah lengang karena sebagian besar guru sudah pulang. Tak ada kalimat yang bisa Emilya tangkap jelas. Tapi dia menduga, guru yang dijodohkan dengan si tuan rumah masih menjadi sasaran godaan rekan-rekannya. Kira-kira bagaimana perasaan si guru lelaki saat ini, ya? Siapa sih namanya tadi? Dasar pelupa! “Yuk ah, langsung ke rumah Risa. Mampir di toko dulu beli gula.” Emilya mengangguk dan segera berdiri mengekori Elisa seperti saat datang tadi. Saat itu dia lupa mengenakan kembali maskernya. Baru teringat ketika sudah di beranda. Sambil menunduk untuk menjaga pandangan dari kaum adam yang masih di sana, dia segera mengenakan maskernya kembali yang sebelumnya memang sengaja dia biarkan tergantung di leher. Baginya menatap langsung seseorang yang tidak dia kenal adalah perbuatan yang tidak sopan. Sebenarnya bukan hanya dengan para lelaki dia seperti ini. Pada para wanita juga. Dan karena itu pula Emilya kerap dikira sombong atau pura-pura tak melihat temannya yang melintas di depannya. Padahal memang seperti itulah dia. Jika tidak dipanggil atau diajak bicara secara langsung, dia akan memilih untuk mengalihkan pandangan. Hmm… karakter dalam karya dan kesehariannya memang benar-benar berbeda. Jelas jauh berbeda. Tiba di luar, Emilya berdiri menunggu di atas trotoar dengan pandangan setengah melamun ke arah samping kediaman si tuan rumah di mana motor matic Elisa terparkir bersama motor-motor lainnya. Sementara Elisa memilih berdiri di tempat teduh depan beranda rumah seraya bercanda bersama beberapa rekan gurunya. “Em, kenapa berdiri di situ? Panas. Ke sini!” Panggilan Elisa membuat Emilya menghampiri. Sekilas dia menangkap sekelebat pandangan salah satu guru lelaki yang mengenakan sweater biru navy sedang mengeluarkan motor dari area parkir. Segera Emilya mempercepat langkah melewatinya karena si guru menuntun motornya dalam posisi mundur. “Coba panggil. Kalau ibu yang panggil pasti noleh.” Salah satu rekan guru lelaki Elisa berkata. “Kenapa?” tanya Elisa setengah tertawa geli. Emilya yang sudah tiba di samping mereka sama sekali tak mengerti isi obrolan. Namun dia tak penasaran sedikit pun. Otaknya lebih tertarik pada kisah cie-cie tadi. “Coba dah panggil,” desak si guru lelaki. Akhirnya Elisa menurut sambil menyeringai geli. “Pak ilong!” Sepertinya yang dipanggil menoleh. Namun Emilya tak lagi memperhatikan. Lalu setelah menunggu sedikit lebih lama hingga akhirnya motor Elisa bisa leluasa keluar area parkir, mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah teman Emilya. “Itu tadi…” Emilya menyeringai geli dan langsung merapatkan kepala ke sisi leher sang kakak agar bisa mendengar lebih jelas. Bahkan tak perlu dirinya memulai obrolan, sang kakak sudah lebih dulu menjelaskan. “… yang mbak panggil di parkiran, dia kan pernah nembak si tuan rumah, Bu Vita. Bukan nembak sih, tapi kayak gitulah.” Seketika kening Emilya berkerut. “Pak ilong? Apa Pak Irul?” Elisa terbahak. “Dia nama aslinya Khairul. Tapi kan susah manggil begitu. Jadi sebagian teman-teman manggilnya Pak Irul. Sama mbak diplesetin manggilnya jadi Pak ilong.” “Oh…” Emilya manggut-manggut. “Nah dia kan setelah nembak Bu Vita tuh langsung ditolak. Ditolak begitu kan otomatis dia mundur. Eh, sekarang malah Bu Vitanya balik ngejar-ngejar.” “Hah, iyakah?” Emilya mengerutkan kening tak suka mendengarnya. “Kok gitu, ya?” Rasanya dia sebagai wanita jadi malu sendiri. “Mungkin karena mendadak yang dulu ngasih perhatian hilang…” “Tapi gimana yah?” Emilya meringis. “Kalaupun akhirnya si cowok berhasil ngambil hatinya, yah jangan terang-terangan nunjukkan kalau dirinya suka. Gimanapun kan dia udah terang-terangan nolak.” Jiwa penulis romansa Emilya seketika bergolak. Rasanya karakter Bu Vita tak cocok jadi salah satu tokohnya. Kalaupun kisah mereka dia tulis, karakter tokoh utama wanita harus dia ganti. “Yah, begitulah kalau pasang kriteria yang setinggi langit. Padahal Pak Irul lumayan ganteng. Kamu lihat kan tadi yang pakai sweater biru navy? Gaji juga gak usah ditanya. Selain ngajar, dia juga ngelatih hadrah di beberapa tempat. Terus baru-baru ini nerima tabungan lumayan banyak sampai mbak bilang, ‘buat apa bujangan pegang uang banyak-banyak, Pak? Sini saya simpankan’. Yang lain ngomong, ‘beh, jangan Bu. Mau dibuat modal nikah katanya’,” Elisa tergelak. “Kayaknya bilang mau dibuat ambil gaden sawah uangnya,” lanjut Elisa. “Mbak bilang, ‘duh, buat apa sampeyan kerja keras begitu ngumpulin uang sana-sini? Istri gak punya. Saudara gak punya. Sini buat saya aja.” “Anak tunggal?” celetuk Emilya. “Iya. Kalau gak salah juga punya rumah makan sama saudaranya. Sepupu atau Pak Lek, entahlah. Semacam bisnis bersama.” Lalu Elisa berdecak. “Mungkin setelah mikir semua itu, Bu Vita menyesal sekarang.” Ehhh, udah jangan gitu. Pak Khairul sudah ada yang punya. Ucapan salah satu guru di rumah Bu Vita tadi terngiang dalam pikiran Emilya. “Kayaknya tadi ada yang bilang Pak Irul sudah ada yang punya, ya? Tunangan?” “Bukan. Itu yang ngomong Bu Ayu. Suami Bu Ayu itu saudaranya ibunya Pak Irul. Jadi Bu Ayu itu BuLeknya Pak Irul. Dia yah gak setuju Pak Irul tetep dipasang-pasangkan sama Bu Vita lawong si ceweknya udah nolak. Masih banyak cewek lain kok.” Emilya kembali manggut-manggut. Tadinya dia pikir kejadian hari itu dan segala kisah yang Elisa ceritakan hanya akan menjadi bagian dari alur cerita ciptaannya. Tapi siapa sangka, sorenya dia mendapat pesan chat WA (w******p) dari nomor baru dengan sapaan yang tak biasa. “ …السلام عليكم ” (Assalamu’alaikum...—Ay) ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD