03 - Minta tolong.

1641 Words
  "Bunda!"   Anita yang sedang duduk sambil membaca majalah hanya bisa menggeleng ketika ia mendengar teriakan membahana dari Nesya, putrinya. Entah apa lagi yang kali ini terjadi pada Nesya sampai Nesya berteriak memanggilnya.   Ini bukan kali pertama Nesya berteriak memanggilnya, tapi hampir setiap hari Nesya akan berteriak memanggilnya dengan alasan yang tentu saja berbeda-beda.   "Bunda!" Nesya kembali berteriak ketika ia tidak mendapat balasan dari Anita.   "Ada apa Nesya?" Anita akhirnya berteriak. Jika ia tidak segera membalas teriakan Nesya, Nesya pasti akan akan terus berteriak memanggilnya.   "Abang Arsanya jahilin Nesya," adu Nesya sambil berteriak.   "Arsa, jangan jahil sama adiknya!" Anisa kembali berteriak, memperingatkan Arsa agar tidak lagi menjahili adiknya, Nesya.   "Abang Arsa! Jangan acak-acak rambut Nesya!" Nesya kembali berteriak, kali ini lebih kencang dari teriakan sebelumnya.   Hal selanjutnya yang Anisa dengar adalah, tawa menggelegar Arsa, putra pertamanya. Anak itu selalu saja menjahili Nesya, padahal usianya sudah dewasa dan bukan anak-anak lagi.   Setiap pagi, Arsa pasti akan menjahili Nesya, apapun caranya. Terkadang menyembunyikan ponsel Nesya, mengacak-ngacak kamar Nesya yang baru saja Nesya lakukan, atau bahkan sampai menyembunyikan charger ponsel Nesya dan masih banyak lagi yang lainnya.   Arsa menurini anak tangga dengan langkah tergesa-gesa guna menghindari amukan Nesya akan melemparnya dengan sepatu.   Selang beberapa menit kemudian, Nesya turun. Bergabung dengan keluarganya di meja makan untuk menikmati sarapan bersama.   "Abang antar Nesya bisa tidak?"   "Maaf ya Dek, hari ini Abang harus kerumah sakit. Jadi Abang tidak bisa antar kamu pergi."   Jawaban yang Arsa berikan membuat raut wajah Nesya seketika berubah kecut. "Yah, terus Nesya minta tolong siapa dong?"   "Minta tolong sama Reno sana." Arsa menyahut santai. "Toh biasanya juga minta tolong sama Reno, memangnya kamu mau pergi ke mana?"   "Nesya mau ke toko buku, ada buku yang harus Nesya beli."   "Ya sudah, sana minta tolong sama Reno."     Nesya diam, dengan kening berkerut dalam. Nesya sedang menimang saran yang baru saja Arsa berikan. Apa ia akan pergi sendiri atau meminta agar Reno menemaninya, sesuai dengan saran yang baru saja Arsa berikan.   "Enggak usah berlaga mikir segala. Memangnya kamu punya sahabat yang bisa di andalkan selain Reno?" Arsa menoyor kepala Nesya. Nesya menatap tajam Arsa, berniat untuk memukul Arsa yang sudah terlebih dahulu menghindarinya.   "Sudah jangan terus bertengkar, sekarang kita sarapan dulu." Anita melerai perkelahian antara Arsa dan Nesya yang pasti akan terjadi jika ia tidak segera melerainya.   Selesai sarapan, Nesya pamit pada kedua orang tuanya untuk pergi mengunjungi rumah orang tua Reno yang berada tepat di hadapan rumahnya. Sama seperti dirinya, Reno juga masih tinggal bersama orang tuanya.   Nesya tak perlu mengetuk pintu karena pintu rumah Reno terbuka dengan lebar. Nesya melenggang masuk menuju ruang tengah.   "Selamat pagi semuanya, Nesya datang!"   Teriakan yang cukup memekan telinga tersebut adalah teriakan yang selalu Rinda tunggu-tunggu.   Rinda menoleh, tersenyum lebar dengan kedua tangan yang juga kini terbuka lebar, menyambut kedatangan Nesya.   Nesya berlari menghampiri Rinda, duduk di samping Rinda dan memeluk Rinda dengan erat. "Selamat pagi Bunda," sapanya riang penuh semangat.   "Pagi Sayangnya Bunda. Sudah sarapan?"   "Sudah Bunda, Nesya sudah sarapan. Bunda sudah sarapan?"   "Sudah sayang, Bunda juga sudah sarapan."   "Abang mana Bunda?" Nesya memang memanggil Reno dengan sebutan Abang, sama seperti ia memanggil Arsa. Itu sudah terjadi sejak ia kecil dan masih terbawa sampai sekarang, kedua orang tua Reno sama sekali tidak masalah dengan hal itu.   "Abang masih tidur di kamarnya, sana bangunkan." Pagi ini, Reno memang tidak ikut sarapan bersama dengan alasan kalau Reno masih lelah.   "Ya sudah, Nesya pamit ya." Belum juga Rinda menanggapi ucapannya, Nesya sudah berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Sepertinya Nesya sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Reno.   "Nesya jangan berlari!"   "Iya Bunda!" Nesya balas berteriak dan memelankan langkah kakinya.   Sebelum memasuki kamar Reno, Nesya terlebih dahulu mengetuk pintu kamarnya. Nesya takut kalau ternyata Reno sudah bangun, tapi setelah hampir 1 menit ia menunggu, ia tak kunjung mendapat respons dari Reno.   Akhirnya Nesya memutuksan untuk memasuki kamar Reno. Nesya membuka pintu kamar Reno secara perlahan, begitu ia mengintip ke dalam kamar Reno, ia melihat Reno masih berbaring di tempat tidur dengan posisi tertelungkup.   Nesya membuka lebar pintu kamar Reno, tak lupa untuk kembali menutupnya. Nesya menggeleng sambil berkacak pinggang ketika melihat Reno masih bergelung di bawah selimut tebalnya.   "Abang bangun, ini sudah siang loh." Nesya menghampiri Reno, melepas sepatu dan juga tasnya, sebelum akhirnya menaiki tempat tidur, duduk di samping Reno yang masih terlelap.   Nesya mengguncang pelan bahu Reno, sambil terus memanggil Reno, membangunkan Reno dari tidurnya. Reno membuka matanya, melirik sekilas pada Nesya sebelum akhirnya kembali memejamkan matanya dan berbalik memunggungi Nesya.   "Ih Abang, bangun!" Nesya mulai berteriak, ia kesal karena Reno malah berbalik memunggunginya.   "Abang masih mengantuk Sya, jadi jangan berisik!"   "Bangun Abang, Nesya mau minta tolong anterin ke toko buku."   "Abang masih mengantuk, jadi enggak bisa temenin kamu, maaf ya." Reno menolak dengan halus permintaan Nesya.   "Ayolah Abang, sekali ini aja ya," pinta Nesya memelas, memasang raut wajah andalannya.   Reno tidak menanggapi ucapan Nesya karena ia langsung menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu merubah posisinya menjadi duduk. "Kamu tunggu di luar, Abang mau mandi dulu."   "Ok, tapi jangan terlalu lama ya mandinya."   "Iya, dasar cerewet," cibir Reno seraya menuruni tempat tidur, bersiap untuk pergi mandi.   "Ih, Nesya enggak cerewet."   Reno menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Nesya dengan kedua tangan bersedekap. "Kamu mau terus berdebat dengan Abang?"   Nesya sontak menggeleng, lalu berlari keluar dari kamar Reno. Tatapan tajam yang Reno berikan membuat Nesya takut, bahkan bulu kuduknya sampai meremang.   Nesya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan yang berada tepat di samping kamar Reno.   30 menit berlalu, kini Reno sudah siap untuk mengantar Nesya pergi.   "Abang, Rendranya jahilin Nesya!" Teriakan tersebut menyapa gendang telinga Reno ketika ia baru saja akan melangkah menurini anak tangga.   Reno menoleh pada asal suara dan ia melihat Nesya keluar dari perpustakaan bersama dengan Ganendra, adiknya. Reno memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Selalu seperti ini, Ganendra dan Nesya selalu saja bertengkar jika keduanya bertemu.   Jika di rumahnya sendiri Nesya di ganggu oleh Kakaknya, maka jika di rumah Reno, Nesya akan di ganggu oleh adik Reno.   "Nendra, jangan jahil!" Peringat tegas Reno, tak lupa memberi Ganendra tatapan tajam. Tapi Ganendra sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Ganendra berikan, ia malah kembali menjahili Nesya, kali ini rambut Nesyalah yang menjadi incarannya.   Nesya berlari menyusul Reno yang masih menuruni anak tangga. Nesya mendahului Reno dan ia langsung mendekati Rinda yang masih duduk si sofa sambil membaca koran.   "Bunda, Nendaranya ganggu Nesya." Kali ini Nesya mengadu pada Rinda yang langsung membalas pelukannya.   Rinda menatap tajam Ganendra dan tatapan tajam Rinda membuat nyali Ganendra menciut seketika. Ganendra melambai, kembali ke kamarnya yang berada di lantai 2.   "Bunda, Abang mau jalan ya."   Rinda sontak mengalihkan pandangannya pada Reno, menatap Reno dengan raut wajah bingung. "Kamu mau kemana?"   "Menemani Nesya ke toko buku."   "Ya sudah, hati-hati ya Bang, bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut."   "Iya Bunda, Abang pamit ya." Reno menyalami tangan Rinda, di ikuti oleh Nesya yang kini sudah melepas pelukannya dan menyalami tangan kanan Rinda.   "Bunda, Nesya pamit juga ya."   "Iya, hati-hati ya Sayang." Nesya mengangguk, lalu menyusul langkah kaki Reno yang sudah menjauh.   "Abang tungguin Nesya!"   Reno mengabaikan teriakan Nesya dan malah semakin mempercepat langkahnya.   "Nesya, jangan lari!" Teriakan Rinda membuat Nesya sontak menghentikan larinya dan memperlambat langkahnya.   Nesya segera memasuki mobil Reno, duduk di samping Reno yang sudah duduk di balik kursi kemudi.   "Pakai sabuk pengamannya Nesya."   "Sudah."   Reno mengangguk, lalu mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah kedua orang tuanya yang snagat luas.   "Abang."   "Hm." Reno hanya berdeham, sama sekali tidak melirik Nesya walau hanya sedetik karena ia sedang fokus menyetir, terlebih jalanan sangat lengang.   "Menurut Abang, bagusan ini atau ini?" Nesya menunjuk layar ponselnya yang menampilkan dua buah boneka besar berbeda jenis.   "Nesya ... Abang sedang menyetir, jadi lihat gambarnya nanti saja kalau kita sudah sampai."   "Ok." Nesya kembali fokud bermain ponsel, sementara Reno fokus menyetir. Sepanjang jalan menuju toko buku, Nesya terus bersenandung, dan Reno menjadi pendengar setia nyanyian merdu Nesya.    Kini Reno dan Nesya sudah sampai di toko buku yang ingin Nesya kunjungi. Nesya sudah mendapatkan buku yang di inginkannya, sedangkan Reno sama sekali tidak membeli buku karena ia memang hanya akan menemani Nesya membeli Buku. M   "Nanti malam Abang mau kemana?" Reno dan Nesya sudah keluar dari toko buku, kini keduanya baru saja selesai membeli minuman yang sangat Nesya gemari, boba.   "Enggak kemana-mana, memangnya kenapa?"   "Yakin tidak ada kegiatan?" Nesya menatap Reno dengan mata memicing penuh curiga.   "Iya, memangnya kenapa?" Sebenarnya nanti malam Reno mempunyai kegiatan, yaitu bertemu dengan teman-temannya untuk bermain basket.   "Kalau begitu, Abang temani Nesya saja." Nesya ingin sekali jalan-jalan di malam hari, hal yang sudah lama tidak ia lakukan karena ia yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantornya.   Langkah Reno terhenti secara tiba-tiba, membuat Nesya ikut menghentikan langkahnya. Nesya melirik Reno yang kini berbalik menghadap ke arahnya. "Kenapa?" tanyanya dengan raut wajah bingung.   "Abang tidak bisa."   Jawaban Reno berhasil membuat raut wajah Nesya berubah menjadi masam. "Kenapa tidak bisa? Abang bilang kalau Abang tidak punya kegiatan!" seru Nesya cepat.   "Abang lupa, kalau nanti malam Abang mau main basket bersama teman-teman Abang." Reno tidak punya pilihan lain selain jujur pada Nesya, ya meskipun sedikit telat.   "Ya sudah kalau begitu, Nesya ikut Abang boleh gak?" Kini raut wajah Nesya sudah berubah. Nesya menatap Reno dengan mata berbinar, berharap besar kalau Reno mengijinkannya untuk ikut pergi bersama pria tersebut.   "Tidak boleh." Reno menjawab dengan tegas pertanyaan Nesya. Belum sempat Nesya membalas ucapan Reno, Reno sudah terlebih dahulu pergi meninggalkannya, melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.   Nesya segera berlari menghampiri Reno, menyamakan langkah kaki mereka.   "Abang, Nesya boleh ikut ya." Kini Nesya mulai merengek, masih memasang raut wajah memelas andalannya.   "Kalau Abang bilang tidak ya tidak Nesya!" Kini nada bicara Reno jauh lebih tegas dari sebelumnya. Setelah itu, Nesya tidak Lagi bersuara. Ia memilih untuk berjalan mendahului Reno yang kini tertinggal jauh di belakangnya.   Reno menghela nafas panjang, sadar kalau ia baru saja melakukan kesalahan. Seharusnya ia berbicara dengan lembut, tidak sampai membentak Nesya yang pasti kini marah padanya.                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD