seperti

900 Words
Seperti kuduga di dalam hatiku, sampai jam dua belas siang esok harinya belum ada kabar dari Mas Albi terkait uang Pramuka anak kami. Aku geram dan terpaksa meminjam dulu pada Mbak Dima, salah seorang kerabat yang kebetulan tinggal sekomplek denganku. Sebenarnya dalam hatiku, ingin sekali kutelpon Mas Albi, tapi sesuai peraturan yang dibuatnya salah seorang istri tak boleh mengusik saat sang suami berada di rumah madu kecuali hal mendesak. Aku khawatir, saat menelpon nanti justru Filza lagi yang mengangkatnya. "Assalamualaikum Mbak Dima." Kuucapkan salam di depan pintu rumah Mbak Dima. "Iya Dik Aini silakan masuk," jawab Mbak Dima membukakan pintu dengan lebar. "Mbak, aku gak usah lama lama, aku ke sini mau pinjam uang dua ratus ribu, insya Allah akhir bulan ini Mas Albi akan memberiku uang jadi aku akan membayarnya berikut aku akan melebihkannya." "Tidak usah seperti itu Dik. Sebenarnya aku juga mau bantu, tapi aku juga sedang tak pegang uang. Kamu tahu kan, kalau sudah di atas tanggal dua puluh kita para ibu rumah tangga mulai mengencangkan ikat pinggang." "Iya juga," jawabku mendesah lemah. "Aku sebenarnya malu tapi diri ini seakan tidak punya pilihan." "Aku prihatin denganmu, dik, sebelum ini kau tak pernah kekurangan. Ada apa dengan sekarang? Bukannya suamimu seorang manager yang memimpin banyak staf di bawahnya, apakah dia sedang tak punya uang?" Sungguh malu diri ini menjawab pertanyaan Mbak Dima. Jika kubilang tidak ada, aku seakan mendustakan nikmat Tuhan, tapi sejujurnya, belakangan ini, aku agak kekurangan Karena ada sesuatu yang darurat kubayar. "Bukannya saya mendustakan nikmat Tuhan yang diberikan kepadaku. Tapi, jujur saja, Minggu ini saya kesulitan Mbak. Maaf ya, sudah mengganggu, kalau begitu saya pulang dulu." "Jika aku dapat arisan hari ini,maka aku bisa membantumu sore nanti." Ah, Sebenarnya aku butuh sekarang karena ini hari terakhir kesempatan membayar. Fatimah tak akan bisa mengikuti event sekolah tanpa uang administrasi. Arghh ... Aku benar benar gerah pada Mas Albi. Untuk kedua kalinya Aku memberanikan diri untuk menghubungi ponsel Mas Albi, tersambung sih Iya tapi dia tidak mengangkatnya. Kucoba lagi dan lagi, hingga aku mengirimkan pesan, namun jangankan membalas, centang biru pun tidak. Ya Allah, mas Albi sedang di mana sih, apakah dia begitu sibuknya hingga tak bisa melihat ponsel? Ya Allah kasihan anakku. Setengah jam kemudian Fatimah pulang sekolah, dia nampak lu suruh sedih dan tertunduk lemah. Diletakkannya sepatu di rak sepatu lantas berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa padaku. "Fatimah umi minta maaf karena ...." "Mengapa umi tidak datang untuk membayarkan uang perkemahan saya?" "Bukannya tidak mau umi juga sedang berusaha untuk mendapatkan uangnya." "Lalu kenapa dengan ayah?" Kali gini aku galau ingin membalas seperti apa pertanyaan Fatimah. Mustahil aku memberitahu kalau ayahnya tidak merespon teleponku atau menjawab pesan ini. Aku benar-benar bingung Dan panik ditambah Mas Aldi baru akan pulang 2 hari lagi. Hingga pukul 03.00 sore dia tidak kunjung memberiku kabar, sementara dalam hati ini sudah berapi-api, dadaku panas dan telingaku seakan mengeluarkan asap. Terus-menerus ku buka ponsel untuk memeriksa Apakah dia sudah membaca pesan whatsappku tapi percuma saja. Tepat setelah azan asar dia menelponku, terima kasih Tuhan akhirnya dia membaca pesan dan menelpon. "Maaf aku baru melihat pesanmu," ucapnya, " apa uangnya masih bisa dibayarkan?" "Percuma, sudah terlambat, teman-teman dan guru pemimpin sudah berangkat ke tempat camping, Fatimah sangat kecewa Bi!" "Kenapa umi tidak memberitahu Abi dari kemarin-kemarin?" "Semalam saya menelpon Abi, mengapa tidak ditanggapi? Bukannya umi sudah menitipkan pesan kepada Ummi gibran?" "Tapi Filza tak mengatakan apa apa," jawab Mas Albi dengan ragu. Ya! Tentu saja wanita sok suci dan cantik itu tak menyampaikannya pada Mas Albi. Dia menahan hakku dan anak anak demi egonya, dia sengaja melakukan itu untuk menyakiti diri ini atau membuatku marah. Aku harus memberinya sedikit peringatan! "Astagfirullah Mas semalam aku menelponmu dan mengatakan bahwa filsafat membutuhkan uang Rp.200.000 untuk pembayaran administrasi pergi berkemah, pagi tadi harusnya uang itu dibayarkan Tapi sekarang sudah terlambat karena teman-teman fatimah sudah berangkat." "Ya ampun ...." Mas Albi terdengar terkejut. "Fatimah sangat kecewa, dia pulang dengan wajah lesu dan Mata sembab, harusnya ini tidak terjadi." "Aku berjanji akan menebusnya, tolong maafkan aku dan maafkan juga filsa mungkin adikmu itu lupa memberitahuku karena saking repotnya dia mengurus Gibran." "Iya, aku paham, Mas," jawabku sambil menahan rasa jengkel. Aku ingin marah tapi kutahan, rasanya tak baik memprotes apalagi sampai berteriak di telpon, Mas Albi akan semakin menjauh dariku dan kejauhan itu akan mendekatkan dia pada Filza. Ah, dilema sekali hidup ini. * Syittt .... Bunyi ban mobil berdecit di depan rumah, tak sampai tiga puluh menit sejak aku menelpon Mas Albi, pria itu datang. Setelah mengucapkan salam dia langsung masuk dan mencari Fatimah. Tok ..tok. "Fatttum, ini Abi," ucap Mas Albi sambil memanggil nama kecil putrinya. Tak lama gadisku yang berumur sepuluh tahun itu keluar dengan wajah yang masih kecewa. "Maafkan Abi ya." "Iya tidak apa apa. Sejak ada Gibran, Abi jarang memperhatikan kami," ucap Fatimah dengan jelas. Aku dan suami sampai terkejut dan tak menyangka sekali. "Tidak begitu Nak ...." "Abi sendiri yang bilang bahwa sekolah itu penting tapi Abi juga yang mengabaikan ...." Anak Perempuanku langsung menangis dan mohon izin masuk ke dalam kamarnya lagi. "Fatimah mau belajar," ucapnya dengan wajah kecewa. "Tunggu Nak, Abi minta maaf ...." Terlambat, Fatimah terlanjur kecewa, mas Albi mengetuk tapi anak kami tak menanggapinya. Kini giliran Mas Albi berbalik ke arahku dengan wajah penuh tanda tanya mengapa anaknya bersikap seperti itu, sementara aku tak punya jawaban selain mengangkat bahu. Itu baru satu kesalahan, belum yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD