CHAPTER 2

1179 Words
Sudah lima bulan Sarah sekolah di Harapan Jaya, dirinya bukannya semakin pintar belajar, malah semakin pintar nge-stalk tentang guru incarannya itu. Walaupun pertemuan antara Fathan dan Sarah tidak baik karena Fathan menemui Sarah di halte dan membawa gadis itu menemui guru bimbingan konseling. Tetapi bagi Sarah, pertemuan mereka sangatlah manis. Di dalam kamarnya, gadis itu sedang membuka smartphone-nya dan kembali melakukan kegiatannya yaitu nge-stalk sosial media Fathan. Mulai dari **, Twitter, f******k, dan Path. Padahal seharusnya ia belajar matematika karena besok ulangan harian yang kedua. Tetapi gadis itu masa bodoh, dia tetap membuka satu-satu sosial media Fathan. Toh dirinya yakin mau belajar atau enggaknya tetap saja dia remedial. "Sarah..." Suara menggema milik bang Sat membuatnya mendengus. Tidak tahukah abangnya itu bahwa dia sedang sibuk, -sibuk stalk maksudnya-dan tak bisa diganggu? Gadis itu menghela nafasnya dengan pasrah, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Dengan enggan, Sarah membuka pintu kamarnya, tampaklah sosok abangnya berdiri di depan kamarnya. "Ada apa?" Tanya Sarah ketus. Satria berdecak, matanya menatap adiknya itu dengan tajam. Sedangkan yang ditatap hanya membuang muka. Gadis itu sama sekali tidak peduli dengan tatapan tajam milik Satria. "Besok ulangan, kamu malah main smartphone, cepat belajar! Abang tidak mau kalau kamu remedial." Sayangnya aku senang remedial, kalau pelajarannya matematika. Batin Sarah. "Baiklah, Sarah belajar. Tapi, Bang Sat gak boleh di sini, yang ada nanti Sarah makin gak fokus." Alibinya. Mata Satria memicing, dia tidak terlalu percaya dengan alasan adiknya. Namun, dia pun menuruti permintaan adiknya, lalu pemuda itu keluar dari kamar adiknya. Melihat punggung abangnya telah hilang dari pandangannya, Sarah mengambil buku matematikanya, setelah itu, ia membiarkan buku tersebut di atas meja belajarnya. Tanpa peduli dengan buku metematikanya, gadis itu kembali memainkan smartphone-nya. Melanjutkan kegiatan stalk-nya yang gagal. *** "Woy..., kalian semua sudah pada belajar belum?" Suara Eki sang ketua kelas bergema. Dari tiga puluh sembilan murid yang menjawab 'sudah' hanya lima orang. Yaitu, Mecca, Diana, Rosa, Desi dan Reni. Selebihnya? Hanya bisa membungkam mulutnya. Sebenarnya, mereka sudah belajar, namun, mereka masih belum paham isi rumus matematika yang membuat kepala mereka pusing. Sedangkan Sarah? Jangankan paham, belajar saja dia belum. Dan, jantung Sarah langsung berdetak cepat karena gugup, tatkala Eki kembali membuka suara. "Bu Dinda..." Eki sengaja memberi jeda. Seluruh seisi kelas menunggu kelanjutan ucapan Eki. Deg deg.... Tuhan, semoga guru matematika-nya sedang mengurus anaknya yang sakit diare. Amin. Do'a Sarah di dalam hatinya. "Bu Dinda..., TIDAK MASUK! MAKA KITA GAK JADI ULANGAN MATEMATIKA!" Seru Eki seraya berteriak. Seluruh kelas langsung heboh, Sarah langsung gebrak-gebrak meja saking bahagianya. Beda halnya dengan Mecca, Diana, Rosa, Desi, dan Reni. Mereka berlima sedih karena ulangan matematika tidak jadi. Karena, mereka sudah belajar dengan giat agar tidak remedial. Karena free class, sebagian murid pada ke kantin untuk mengisi perut mereka yang kosong, ada yang nge-gosip, ada yang baca novel, sedangkan yang laki-lakinya sibuk bermain kartu UNO. Suara derap langkah seseorang terdengar, kelas yang ribut berubah hening. Sarah yang sedang bermain game di ponselnya langsung di matikannya, karena, ada pemandangan yang lebih enak dipandang, dibandingkan gamenya. "Selamat pagi," Hanya mendengar suara maskulinnya saja, jantung Sarah langsung kembang-kempis dibuatnya. Sarah masih tetap melongo menatap pemuda yang ada dihadapannya. "Pagi, Pak." Balas sebagian murid, karena sisa murid yang lain masih berada di kantin. Fathan menyapukan pandangannya ke seluruh kelas. Sebagian bangku terisi oleh muridnya, sebagian lagi kursinya kosong. Fathan menggerutu dalam hati, jangan bilang mereka pada kabur. "Yang lain pada ke mana?" Tanya Fathan pada muridnya, tapi, tatapan matanya mengarah ke Sarah. Sarah menahan nafasnya saat tatapan milik Fathan jatuh ke dalam manik matanya. Dirinya semakin gugup, teman sebelahnya, Umi sedari tadi menyenggol lengan Sarah agar gadis itu kembali pada dunianya. Sadar karena melamunkan Fathan, gadis itu langsung salah tingkah. "Ah, itu, me-mereka masih di kantin, Pak." Jawabnya terbata-bata. Fathan mengernyitkan dahinya, "kantin? Bukankah ini masih jam pelajaran, bukan jam istirahat?!" Tanya Fathan berupa seruan. Sarah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "saya tidak tahu, Pak." "Panggil mereka." "Saya yang panggil, Pak?" "Tentu saja, memangnya siapa lagi?" Sarah mendesah pasrah, sesuai keinginan gurunya itu, ia melangkah menuju pintu keluar untuk memanggil temannya di kantin. "Aish, mengapa bapak itu semakin hari semakin menyebalkan saja, aku bukannya makin suka, malah semakin benci dengan sifatnya itu." Gerutu Sarah. Sesampainya di kantin, ia melihat teman-temannya sedang sibuk makan. Ada yang makan bakso, makan mie goreng, makan ayam kecap, dan lain-lain. Awalnya, gadis itu tergoda dengan yang teman-temannya makan. Tapi, dia teringat perintah Pak Fathan untuk memanggil teman-temannya ke kelas. "Semuanya! Kalian di suruh Pak Fathan ke kelas." Ujarnya. Sontak, murid yang ada di kantin --tentu saja teman kelas Sarah-- menghentikan santapannya. Terkecuali Bella, dia malah meneruskan makanannya hingga mulutnya penuh dengan makanan. "Kok Pak Fathan, sih? Kan ini bukan pelajaran Sejarah." Celutuk Nurmaya tidak terima. Sarah mengedikkan bahunya dengan santai, "aku gak tahu, Pak Fathan tiba-tiba nongol aja di depan kelas." Jelasnya. "Sar, sini, sebelum ke kelas, kamu bantuin habiskan makanan aku, dong." Suara Tania terdengar, menawarkan Sarah untuk membantu menghabiskan makanannya. "Memangnya kamu makan apa?" "Makan siomay, kan sayang kalau gak habis. Mendingan bantu habisin makananku, Sar." Sarah berpikir sejenak, gak salah bantuin habisin, toh, sayang makanan dibuang-buang, apalagi perutnya juga lagi lapar. Lalu, Sarah duduk disamping Tania. Ia memakan sisa siomay Tania dengan lahap. Saat siomaynya sudah habis, tiba-tiba telinganya di jewer oleh seseorang. "Aduh," rintihnya. Sarah menoleh, ternyata yang menjewernya Pak Fathan. Fathan memandang gadis itu dengan tajam, Sarah hanya menyengir sambil memegang tangan Fathan yang berada di daun telinganya. "Ampun, Pak." Mumpung Fathan sedang sibuk menjewer telinga Sarah, ini adalah kesempatan emas teman-teman kelas Sarah untuk kabur. Fathan melepaskan jewerannya, lalu Fathan menghadang akses jalan mereka untuk kabur. Fathan menghitung muridnya yang berada di kantin, totalnya sembilan belas, ditambah Sarah menjadi dua puluh. "Kalian, yang sembilan belas orang ini langsung berdiri di lapangan, jika di antara kalian ada yang kabur, bapak akan memberikan hukuman pada kalian lebih berat daripada ini." Sesuai perintah Fathan, sembilan belas orang itu langsung meninggalkan kantin menuju lapangan. Sarah dan Fathan masih berada di kantin. Mata Fathan menatap gadis itu dengan tajam. Sarah tidak berani menatap mata Fathan, maka ia memutuskan untuk menundukkan wajahnya. "Bagus, kamu saya suruh untuk memanggil temanmu malah kamu ikutan makan." "Maafkan saya, Pak." Fathan mendecak, "iya, saya maafkan, tapi kamu juga ikutan berdiri di lapangan seperti teman-temanmu itu." Sarah terbelalak, kepalanya mendongak dan tatapannya jatuh ke dalam bola mata Fathan yang berwarna hitam. "Saya ikutan di hukum juga, Pak?" "Tentu saja," balas Fathan dengan ketus, lalu ia melangkah meninggalkan Sarah. Sarah mengikuti langkah Fathan, "Pak, jangan begitu, kan, saya malu di hukum di lapangan, Pak." "Saya tidak peduli." "Bapak jahat banget, sih. Tuhan saja mau memaafkan hambanya, masa Bapak tidak mau memaafkan saya." "Itu Tuhan, beda halnya dengan saya, saya tidak akan memaafkan murid yang melanggar peraturan sekolah, saya memaafkan murid saya jika ia telah diberikan hukuman terlebih dahulu. Dan, saya sudah bilang pada kamu kalau kamu sudah saya maafkan, tetapi, kamu tetap harus menuruti perintah saya." "Dasar kejam." Bisik Sarah, sambil menatap punggung Fathan dengan sengit. "Saya mendengarnya. Lekaslah ke lapangan!" Sarah menuruti perintah gurunya sambil menggerutu di dalam hati. Kalau begini, aku tidak jadi jatuh cinta sama Pak Fathan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD