BAB 2

1667 Words
        Saat semua keluarga berkumpul di meja makan. Papah dan Mamah tersenyum lebar melihat putra ketiganya yang baru saja menikah. Mereka saling pandang beberapa saat sebelum kembali mengalihkan pandagan pada menantunya itu. Kondisi Papah sejak semalam membaik karena keinginannya untuk melihat Al menikah terlaksana dengan lancar.             Travis kakak pertama Al seperti biasa tampak dingin dan hanya memakan makanannya tanpa menaruh perhatian pada apapun. Putri kecilnya Selina yang berusia delapan tahun tampak terkesan melihat Omnya dengan istrinya. Sedangkan Noura—istri Travis menatap sendu makanannya dan mengunyah perlahan. Sangat perlahan. Seperti ada konflik batin antara di dalam dirinya sendiri.             Nick menatap Erica dalam diamnya. Menebak apakah semalam Al melakukan tindakan yang tidak disukai Erica atau hal-hal mengerikan yang tak seharusnya Erica dapatkan. Jujur saja, dia memang melihat Erica dengan caranya yang berbeda menatap wanita lainnya. Entahlah. Tapi, Erica jelas berbeda dari wanita yang pernah dikencaninya.             “Mamah senang kita punya keluarga baru.” Kata Mamah dengan kalung berkilauan di lehernya.             Erica mendongak, tersenyum pada mamah mertuanya.             “Ya, semua bahagia dengan pernikahan Al dan Erica kecuali Cassandra.” Komentar Nick sinis yang membuat semua mata tertuju padanya termasuk Selina.             “Siapa itu Cassandra, Om?” tanya Selina polos.             Nick menatap mamahnya dan papahnya kemudian dia tertawa kecil untuk mengurangi ketegangan yang diciptakannya sendiri. “Tokoh kartun favorit Al.” Lalu dia berpura-pura sibuk dengan makanannya.             Mata Al menyipit menatap kakaknya.                         “Oh ya, kalian mau bulan madu kemana?” tanya Papah mengabaikan Nick dan kembali fokus pada Al dan Erica.             “Al, belum merencanakan soal bulan madu, Pah.”             “Kamu ini bagaimana sih, Al, harusnya sebelum menikah kamu merencanakan bulan madu.” Protes Papah.             “Ya, bulan madu ke Eropa pilihan yang bagus kan?” celoteh Nick.             “Boleh Selina, ikut, Om?” kata Selina pada Al dengan ekspresi menggemaskan yang membuat Erica langsung jatuh hati pada anak kecil itu.             “Tidak, Sayang. Nanti kamu hanya akan mengganggu Om dan Tantemu saja.” kata Mamah diakhiri senyum lembutnya sebagai seorang nenek.             Bibir Selina mengerucut lucu.             “Apa rencanamu sekarang, Erica?” tanya Noura yang mencoba ikut dalam obrolan ringan keluarganya.             “Aku akan kembali bekerja di perusahaan Ayah—“             “Tidak.” sela Al dengan nada suara dingin yang mengandung unsur penolakan tegas pada perkataan Erica. “Kamu tidak usah bekerja.”             “Pernikahan apa yang kalian bangun? Tidak ada obrolan apa-apa sebelum menikah?” Nick kembali berceloteh.             “Nick,” protes Mamah menatap tajam putra keduanya itu.             “Kamu selalu saja berkomentar tapi kamu sendiri tidak berani mengambil langkah untuk berkomitmen.” Tegur Travis.             “Oh ya? Bagaimana denganmu dan istrimu? Apakah kalian baik-baik saja setelah komitmen yang kalian buat kalian langgar?” cerca Nick tanpa ampun.             “Selin, ayo kita berangkat sekolah.” Travis bangkit dan meninggalkan meja makan disusul putrinya.             Erica hanya diam melihat apa yang terjadi dengan keluarga Herriot. Hubungan keluarga yang dingin. Dia tahu bukan berarti tak ada rasa kasih sayang di antara kakak-beradik ini, tapi... Nick adalah sesosok pemberontak dalam keluarga. Dia mengatakan apa yang sebenarnya meskipun tidak pada tempatnya apalagi ada Selina di sini.             “Oke, aku akan pergi. Erica—“ Nick bersitatap dengan Erica. “Kalau kamu merasa Al memperlakukanmu dengan kurang ajar kamu bisa mengadu padaku.” Ujarnya, serius.             “Kamu pikir aku bukan suami yang baik untuk Erica?” tanya Al sengit.             Nick meraih jasnya. “Well, aku dengar percekcokan kalian semalam.” Lalu dia pergi dengan meninggalkan senyum tengilnya pada sang adik.             “Astaga...” Mamah tampak frustrasi melihat tingkah Nick.             “Erica,” Papah lebih telihat tenang “Nick memang anak kami yang paling sulit diatur. Dia putra kedua kami yang menyebalkan tapi kami sangat menyayangi anak itu. Dia sebenarnya anak yang baik meskipun tingkahnya selalu membuat keluarga kita bersitegang.”             “Iya, Pah. Erica paham kok.”             “Mah, Papah akan berangkat ke luar negeri untuk pengobatan Papah. Mamah tidak usah ikut ya.” Kemudian Papah menoleh pada Al. “Al, jaga mamahmu.”             Al mengangguk. “Iya, Pah.”             “Pah, Mah, Noura pergi dulu ya.”             “Kamu mau kemana?” tanya Mamah tajam.             “Ada urusan.”             “Urusan apa?” tanya Mamah dengan nada tinggi.             Noura menatap Al kemudian Erica seakan malu karena mamah mertuanya bertanya dengan nada tinggi seolah ingin mempermalukannya. “Bisnis kosmetik.”             “Kamu menghabiskan uang suamimu sampai ratusan juta hanya untuk bisnis kosmetik yang—“             “Mah,” tegur Papah. “Hati-hati ya, Noura.” Kata Papah hangat.            “Sudahlah, biarkan Noura sibuk dengan bisnisnya.” Kata Papah lagi lembut kepada Mamah. Papah bagi Erica adalah pribadi yang hangat, lembut dan mengayomi. Seorang suami yang bisa menenangkan istrinya yang tempramental. Ya, mereka saling melengkapi satu sama lain.             “Pah, Mamah ikut ya. Mamah harus selalu mendampingi Papah. Kita kan beli tiketnya dua, Pah.”             “Tapi, anak-anak butuh Mamah. Kalau tidak ada Mamah anak-anak pasti akan terus bertengkar.”             “Mamah ikut Papah. Papah itu sedang sakit dan Papah di sana pasti butuh Mamah.” Kata Mamah keukeuh.             “Baiklah kalau itu kemauan Mamah.”             “Mamah ingin selalu ada di sisi Papah.”             Papah tersenyum dan mengangguk.             Bagi Erica hal seperti ini adalah salah satu adegan percakapan romantis yang membuatnya tersenyum sendiri. Kehidupan rumah tangga Papah dan Mamah mertuanya begitu harmonis tapi kehidupan anak-anaknya jauh dari kesan harmonis.             Setelah Papah dan Mamah meninggalkan meja makan. Al menatap istrinya dan berkata, “Masuk ke kamar, ada yang harus kita bicarakan.”             “Tentang apa?” tanya Erica.             “Tentang rumah tangga kita. Kamu tahu Nick selalu mencari celah sekecil apa pun untuk membuatku jatuh di hadapan orang tuaku.” Perkataan Al membuat Erica ngeri. Bagaimana bisa kakak-beradik saling menjatuhkan? ***             “Tanda tangan.” Al menyerahkan map biru berisi beberapa surat perjanjian.             “Apa ini?” dahi Erica mengernyit menatap map biru itu.             “Surat perjanjian pernikahan kita.”             Erica mendongak menatap Al.             “Kamu bisa membacanya saat aku sudah pergi nanti.”             “Surat perjanjian pernikahan? Maksudmu, aku harus tanda tangan dan mengikuti surat perjanjian ini?” Erica agak syok karena surat ini dibuat tanpa persetujuannya itu artinya dalam hal ini dia akan dirugikan dan Al sudah pasti akan diuntungkan.             “Ya,” Al mendekati wajah Erica. “Agar apa pun yang ditanyakan orang tuaku, jawaban kita sama. Tidak ada perbedaan apa-apa.” bisiknya di telinga Erica.             Erica tidak berani menatap putra Herriot yang paling tampan di antara kedua kakaknya itu. “Aku tidak mau.” Tolaknya tanpa menatap Al.             “Mau tidak mau kamu harus menandatanginya.”             Erica memberanikan diri menatap Al. “Aku tidak akan mau, Al. Isi di dalam surat perjanjian ini pasti lebih banyak menguntungkanmu.”             “Baca dulu baru kamu bisa berkomentar. Jangan merasa kalau Nick ada di belakangmu dan kamu bisa menolak perjanjian ini.” suara Al sukses membuat bulu di tangan Erica meremang.             Pria itu memeluk Erica dari belakang hingga kedua mata Erica melebar.             Bibir Al mendekati telinga Erica dan berbisik lembut. “Kamu hanya perlu membacanya dan menandatanginya. Itu saja.” pelukannya semakin erat, Erica ingin melepaskan diri tapi dia tidak bisa melepaskan tubuhnya yang dicengkeram Al dari belakang.             Bibir pria itu mulai menggigit lembut telinga Erica.                                 “Al,” mamahnya mengetuk pintu kamar Al hingga Al refleks melepaskan Erica.             Erica bernapas lega dan segera mengambil map biru itu dan meletakkannya di atas nakas. Takut kalau mamah mertuanya masuk ke kamar dan membaca isi map.             Al menenangkan diri dari hasratnya untuk menyentuh Erica. Entah bagaimana, dia malah merasakan sensasi lain setiap kali berada di dalam kamar bersama Erica. Sensasi yang lebih dari hanya sekadar menyukai wanita itu. Al bahkan suka dengan aroma Erica. Aroma yang manis sekaligus sensual. Mungkin Erica tak menyadari aromanya yang membuat Al menyukainya.             “Al,” mamahnya berkata. “Mamah dan Papahmu hari ini juga akan berangkat ke Singapura. Antar kami ke Bandara.”             “Oke.” Sahut Al renyah.                                               “Mamah tunggu di luar ya.”             “Oke, Mah.”             Al masuk kembali ke kamarnya setelah mamahnya pergi. Dia menatap Erica yang sedang membaca surat perjanjiannya seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Al tersenyum kecil melihat Erica yang berpura-pura sibuk membaca surat perjanjian.             “Aku akan mengantar Mamah dan Papah ke bandara dan setelah itu, aku akan ke kantor sebentar sebelum melanjutkan adegan tadi.”             Erica mendongak menatap Al. “Kalau kamu melakukannya lagi aku akan mengadu pada Nick.”             Senyum Al lenyap seketika.             “Tidak ada untungnya kamu mengadu padanya. Aku suamimu, Erica.”             “Aku tidak mau melakukan apa pun denganmu.”             “Apa pun? Kamu tidak mau?” Al tersenyum meremehkan. “Aku tidak yakin itu. Tadi kamu bahkan tidak mau lepas dari pelukanku kan?” sebelah alis Al terangkat tinggi.             Erica menelan ludah.             “Well, selama aku di luar rumah, kamu boleh pergi ke rumah ibumu. Atau kemanapun yang kamu mau asal tidak menemui pria mana pun.”             Al menyerahkan salah satu kartu kreditnya pada Erica. “Belilah apa yang mau kamu beli.”             Erica menatap kartu kredit visa infinite itu kemudian menatap Al.             “Aku suamimu. Dan tugas seorang suami adalah menyenangkan hati istrinya.” Al menyeringai.             Erica takut kalau dia menerima kartu kredit pemberian Al itu, maka pria itu pasti merasa kalau dia bisa melakukan apa saja pada Erica. Tapi, di sisi lain dia juga membutuhkan uang untuk keperluannya sendiri karena sejak kematian sang ayah, Erica tidak punya apa-apa lagi. Semua tabungannya ludes tak tersisa. Lalu, keluarga Herriot datang menawarkan pernikahan dan berjanji akan kembali membangun perusahaan ayah Erica.             “Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja tanpa meninggalkan uang sepeserpun. Aku tahu kondisi keuanganmu, Erica. Aku taruh di sini.” Al meletakkan kartu kredit visa infinite di atas ranjang.             Al ingin mengecup sebelah pipi istrinya tapi dia sendiri takut kalau sampai sentuhan-sentuhan kecil itu malah menciptakan sebuah perasaan terdalam di hatinya. Jadi, dia memilih langsung meninggalkan Erica. Meskipun khawatir kalau Nick tiba-tiba datang dan bertemu Erica. Entahlah. Al merasa Nick mungkin punya keinginan untuk bisa dekat dengan adik iparnya itu. Dan itu jelas tanda bahaya bagi Al maupun Erica sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD