Hadiah Kecil

655 Words
Suara bel membuat koridor sekolah ramai oleh murid yang berlalu lalang, beberapa anak mengisi perpustakaan, suara berisik di kantin mulai terdengar, dan anak-anak dari laboratorium, lapangan olahraga dan lab TIK kembali ke kelas mereka. Jam istrihat tiba, waktu yang ditunggu-tunggu semua murid, bahkan di Internasional School sekali pun. Edward dan ketiga temannya yang lain berjalan keluar, mereka terlihat seperti anggota boyband dan murid-murid dibawah tingkatan mereka adalah penggemar dengan menatap diam dalam kekaguman yang setelah idolanya berlalu, teriakan histeris akan terdengar membisingkan suasana. Abian menyusul keluar kelas, namun mereka jalan terpisah dan tak ada yang kagum dengannya. Bukan karena ia punya wajah pas-pasan. Tetapi, karena rambut yang menutupi matanya, ditambah lagi masker hitam yang dikenakannya membuat dia malah terlihat seperti penjambret jalanan. Sementara itu, anak perempuannya memilih tinggal di kelas, menyambut kedatangan Chasandra. Lebih tepatnya, Chasandra yang menyuruh mereka tinggal. Ia berniat memberikan sesuatu. "Selamat datang kembali Chas," ujar Aeera menjulurkan tangannya. Chasandra membalas juluran tangan itu. "Ya, terimakasih Ra…" "Oh iya teman-teman, aku ada hadiah dari Jerman.” Chasandra merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Ambil lah, aku sudah menyiapkannya untuk kalian," katanya, sembari membuka box. Isinya adalah botol-botol kecil ekslusif dengan pita yang estetik. Semua orang bersorak riang. Namun, Rein dan Arabelle tetap memutuskan duduk di tempatnya. Rasanya itu hal terbaik yang mereka dilakukan sekarang. Arabelle masih dengan prinpip teguhnya untuk tak menerima barang apa pun dari perempuan yang dijulukinya munafik itu sementara Rein yang tidak yakin mendapat hadiah juga, takut kalau-kalau dia diusir dan Chasandra berkata. “Maaf tak ada hadiah untuk perempuan sepertimu.” Chasandra yang menyadari itu perlahan menghampiri mereka. Pertama dia berdiri tepat di depan perempuan yang kini memakai airpods itu, teman duduknya. "Ada apa?" tanya Arabelle, Airpods-nya berpindah dari telinga ke tangan. Menyadari keberadaan Chasandra dihadapannya.  "Hmm... lupakan lah, kupikir orang tuamu sudah sangat kaya hingga kau menganggap ini barang murah bukan?" Chasandra memancing emosi Arabelle saat semua mata kini tertuju padanya. "Berhentilah dengan omong kosongmu," bisik Arabelle, memasang airpods-nya kembali. Apa pun yang orang pikirkan tentang sikapnya, ia tidak peduli.   Setelah itu, Chasandra beralih ke Rein. Berbeda dengan perlakuannya terhadap Arabelle, Chasandra langsung berbisikke telinganya. "Ambillah, jangan membuatku terlihat menjijikkan karena membujukmu." Rein dengan pasrah mengangguk, memasang senyum getir dihadapan semua orang seolah perempuan di sebelahnya berbicara dengan kata-kata yang baik. Dia mengamati benda itu lamat-lamat. Parfum berwarna hijau tosca, dikemasannya ada pita dengan tulisan 'ECHT KOLSNISCH WASSER, Original Eau De Cologne'. Disaat yang bersamaan, Andi melihat Rein dari tempat duduknya, laki-laki itu setiap harinya hanya menghabiskan waktu berbaring di sekolah. Pipinya akan menempel di meja saat ia tiba di kelas hingga jam pelajaran berakhir. Ada satu alasan tertentu mengapa guru-guru tidak pernah menegurnya saat jam pelajaran dan kenapa dia bisa masuk ke kelas unggulan. * "Kau sudah lama tinggal di kota ini?" tanya Septian kepada Devan. Sedari tadi mereka berdua saling melempar pertanyaan layaknya orang yang baru saja bertemu. "Ya," balas Devan singkat, tak ingin bicara banyak karena selebihnya hanyalah kebohongan belaka dan laki-laki itu takut kalau saja pembicaraan mengarah ke Edward. “Permisi…” Devan dan Septian spontan menoleh ketika mendengar suara Aeera yang berdiri tepat di belakang mereka. "Benar kah kau baru saja pindah? Kita bertemu seminggu yang lalu bukan." Aeera tersenyum kikuk, "Kau yang menolongku malam itu," sambungnya, berusaha menutupi rasa gugupnya dihadapan Devan. "Oh iya, aku ingat. Kau perempuan yang menangi—”   Tiba-tiba saja Devan berhenti bicara, Aeera menutup mulutnya dengan tangan. "Sssttt.... Jangan berisik. Ini hanya rahasia kita berdua." Devan mengangkat kedua bahu. "Memangnya kenapa? Kalau menangis, menangis sajalah." Dia tidak peduli dengan apa yang perempuan dihadapannya katakan. "Kalian sudah saling kenal?" Debi menyela, suaranya yang seperti loud speaker membuat semua mata kini tertuju kepada mereka. Aeera tersenyum kikuk. "Ya, aku dan Devan.... Kami pernah bertemu waktu hari pertama liburan." "Hmm... baguslah," timpal Angela, tiba-tiba nongol entah darimana. Hatinya senang serasa ingin menyeberangi taman bunga dan Aeera adalah jembatannya. Ada koneksi baginya untuk dekat dengan Devan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD