Sekelompok murid berjalan masuk ke sebuah ruangan, letaknya tersembunyi di dekat ruangan Kepala Sekolah. Berpintu hitam kecil dengan tulisan “Gudang”.
Seperti gudang sekolah pada umumnya yang berisi kursi-kursi rusak, kardus bertumpuk berisi soal ujian beberapa tahun belakangan serta tugas-tugas murid yang sebelumnya dikerja setengah mati. Juga jaring laba-laba di sana-sini, pertanda tak pernah dibersihkan dengan lantai berdebu, pengap dan gelap. Tak ada yang istimewa memang—namun ada sebuah pintu kecil lagi dalam ruangan itu yang diapit dua lemari, dengan kain hitam. Saat kalian memasukinya, kalian akan berpikir dua kali untuk menyebut ini sebagai sebuah gudang.
Itulah Sekret Elite Student.
Tempat rahasia yang isinya bahkan lebih baik dari apa yang ada di kelas. Dua monitor besar, cahaya lampu berkilat di setiap sudut, meja lonjong serta kursi empuk nyaman, terbuat dari kapas yang diimpor langsung dari negeri tirai bambu. Lantainya bersih berkilat dan jika sebelumnya gudang yang tak memiliki AC sangatlah panas, di sini suhunya disetel 20 derajat celsius.
"Kita berkumpul di sini untuk merayakan kehadiran Chasandra," ujar Edward ketika semua orang telah menemukan posisi duduknya, mereka jadi terlihat seperti rapat pertemuan di salah satu perusaahan penting.
"Selamat datang Chas. Selamat datang kembali." Alex menyahut setelah mengeluarkan lollipop dari mulutnya. Lelaki dengan tinggi semampai itu memang terlihat sering memakan makanan manis seukuran jempol itu lalu menggigit-gigiti ujung lidi yang terbuat dari plastik jika telah habis. Kadangkala juga mengunyah permen karet. Dia terlihat masih kekanakan untuk anak seusianya.
Aeera dan Angela mengucapkan hal yang sama, sembari tersenyum simpul.
"Hanya karena dia kita berkumpul di sini? Kupikir ini berlebihan jika hanya untuk menyambut ke-da-ta-ngannya..." Arabelle melipat kedua tangannya di perut, memalingkan wajah. Tidak antusias sama sekali.
Chasandra memandangi Arabelle lamat-lamat, sebelum mengukir raut senyum di wajahnya. "Hahaha... terima kasih teman-teman. Aku pikir Arabelle masih tidak terima kalau aku yang mendapatkan beasiswa itu ke Australia."
Alis Arabelle terangkat sebelah, dia bersikap seolah tak sudi dikatai seperti itu. “Cih, apa-apaan. Jaga mulutmu Chas, kalau a—”
"Arabelle sudahlah! Bukan kah kita sudah merencanakan ini? Kau mengikuti semua ajang fashion di sekolah. Aku dan Aeera Matematika dan pelajaran lain. Begitu pun dengan Alex, Angela dan Andi. Kita semua sudah merencanakan ini bukan?" timpal Edward.
Suasana semakin mencekam. Arabelle menatap tajam seperti ular yang siap mematuk.
"Uhuk!! Kupikir aku harus ke toilet dulu."
"Aku juga."
Angela dan Aeera meninggalkan ruangan dan kembali saat pembahasan tentang penghargaan sekolah yang direncanakan untuk mereka sudah berakhir.
"Hmm... lupakanlah, ayo semua ini sesi yang paling baik. Kita akan bercerita tentang masa depan," ujar Edward, berusaha membuat suasana kembali normal seperti sebelumnya.
"Aku ingin terkenal, menjadi idol yang disukai banyak orang," kata Arabelle yang akhirnya bisa tersenyum. Bujukan Edward berhasil.
Chasandra memutar bola mata, sebelum mengungkapkan keinginannya. "Aku ingin jadi manusia yang bebas. Punya suami yang tampan dan kaya raya. Kemudian kami berdua akan jalan-jalan bersama ke luar negeri. Ah tidak, kupikir kami harus tinggal di Paris."
"Benar kah hanya itu Chasandra? Kalau begitu aku bisa masuk kriteriamu." Alex berusaha menggoda. Meskipun dia hanya bercanda membuat seisi ruangan heboh, kecuali Andi yang masih dengan ekspresi datarnya sejak pertama kali mereka memasuki ruangan itu. Dia ada tetapi tak pernah bersuara seperti boneka hidup.
"Jadi apa cita-citamu Lex?"
"Menjadi suami Chasandra." Semua orang tertawa lepas. Chasandra memutar bola mata.
"Kalau aku sejujurnya ingin jadi pelukis, tetapi mama—ingin aku jadi dokter," gumam Aeera saat tawa reda. Semua orang bertepuk tangan canggung, itu terdengar seperti—apa kau yakin akan melawan keinginan orang tuamu? Ah luar biasa.
Selanjutnya giliran Edward yang terlihat ragu karena berulangkali mengetuk meja dengan jarinya bergantian. "Kalian pasti sudah tahu kalau papa ingin aku kuliah di sini, padahal aku ingin kuliah di luar negeri. Barangkali menyenangkan hidup sendiri."
Setelah mendengar jawabannya, respon mereka sama seperti Aeera.
Semua mata kini tertuju pada Andi. Seolah penasaran dengan jawaban apa yang akan dikeluarkannya.
"A-aku ingin jadi batu yang menatap langit setiap hari."
Hening.
Tawa menggelegar.
Meskipun beberapa diantara mereka tahu bahwa Andi sedang serius.
Tempat yang dipenuhi dengan fasilitas layak yang lebih baik dari ruangan kepala sekolah kini dipenuhi tawa, sementara banyak orang di luar sana yang berharap apa dia masih bisa hidup tenang besok.
Rein, salah satunya.