Pagi hari di hari Minggu, Renjana membuatkan makanan kesukaan anaknya, bakpao isi coklat. Dia akan kembali ke rumah suaminya, berharap bisa melihat anak semata wayangnya yang sudah lama dia rindukan.
Tepat pukul setengah lima sore Renjana sudah sampai di rumah mantan suaminya. Rumah yang biasanya ada aktivitas sekarang ini terlihat sepi. Renjana menyembunyikan tubuhnya di balik pohon besar dekat dengan penjual es dawet. Di dekat rumah Raka ada seorang penjual es dawet yang cukup dekat dengan Renjana. Renjana sering menunggu Saka dari warung ini. Nama penjualnya Bu Atun, dari bu Atun Renjana mendapatkan informasi tentang keadaan anaknya dan kondisi Rumah Raka, meskipun untuk informasi yang ia dapatkan itu Renjana harus membayar dengan membeli dawet Bu Atun setiap ia datang kesini.
“Mantan suamimu kemarin kecelakaan,” ucap Bu Atun memulai jualannya khusus untuk Renjana.
“Hah? Ibu serius?”
Wanita paruh baya itu mengangguk. “Mantan suamimu luka parah, dia dapat karma karena selama ini sudah sering menyakitimu, ibu dari anaknya.”
Renjana cukup terkejut dengan fakta yang baru saja di dengar. Dia memang membenci mantan suaminya, tetapi saat mendengar laki-laki itu mendapatkan musibah, hati Renjana tersentuh. Bagamanapun Raka adalah seseorang yang menempati hatinya, seseorang yang dia cintai dan pernah ia perjuangkan.
“Apakah dia baik-baik saja? Atau lukanya? Bagaimana?” tanya Renjana ingin tahu.
“Sepertinya parah, dia di bawa ke Singapura untuk pengobatan.”
Renjana mengangguk, lalu tiba-tiba otak cerdasnya menyimpulkan sesuatu. “Bu, ibu tahu siapa saja yang pergi ke sana?”
“Semuanya sepertinya, Na.”
“Berarti tidak ada orang di rumah mereka?” tanya Renjana memastikan.
Bu Atun terlihat berfikir. “Iya, sepertinya tidak ada yang berada di rumah setelah kecelakaan itu.”
“Aku bisa ketemu Saka dong, Bu?”
“Harusnya bisa, coba saja masuk, Na.”
Tak perlu menunggu lama Renjana langsung bergegas berjalan ke arah rumah mantan suaminya. Berharap bisa bertemu dengan Saka disaat suaminya mendapatkan musibah. Terdengar jahat memang, tetapi ini adalah kesempatan Renjana untuk bisa leluasa bertemu dengan anaknya.
Akhirnya, Nana bisa memiliki waktunya dengan Saka.
***
Dua bulan berlalu hidup Nana terasa sempurna. Hampir setiap hari ia bisa bertemu dengan Saka. Sore ini dia berniat untuk kembali datang ke rumah mantan suaminya. Sudah sejak dua yang lalu Nana tak berani datang ke sana karena Nyonya Rukma sedang kembali ke Indonesia. Hari ini Nana ingin kembali ke rumah Raka untuk memastikan apakah wanita itu masih ada di rumah atau sudah kembali ke singapura.
Nana pulang ke rumah kontrakannya menggunakan ojek online karena jarak rumah dari kantornya tidak terlalu jauh. Perjalanan untuk sampai ke rumah kontrakan hanya sekitar lima belas menit dan sekarang ini wanita itu sudah sampai di ujung gang rumahnya lalu berjalan masuk dengan jalan kaki. Rumah kontrakan Nana bisa di lewati motor, namun susah karena jalannya yang sempit, itu sebabnya wanita itu memilih diturunkan di depan gang. Nana tidak suka menyulitkan orang lain.
Setelah sampai di pintu rumahnya, tubuh Renjana membeku saat menemukan sosok yang selama ini ia hindari. Raka duduk di sebuah kursi kayu depan kontrakannya, menatap Nana dengan pandangan teduh tapi tetap menakutkan bagi Renjana.
“Mau apa kamu kesini?” tanya Nana dengan nada penuh ancaman. Jika laki-laki itu berniat jahat, Nana tidak akan segan untuk menjerit meminta pertolongan. Kontrakan Nana berada di gang sempit yang penuh pemukiman warga, tentu saja Nana mudah mencari bala bantuan.
Nana merasa sedikit aneh melihat Raka yang hanya seorang diri, biasanya laki-laki itu di dampingi sedikitnya satu dari pengawalnya yang besar-besar dan berpakaian serba hitam.
“Kok kamu gitu ngomongnya sama suami sendiri, Na?”
Panggilan itu, Nada itu, suara itu adalah suara Raka waktu dulu, saat mereka masih berpacaran. Suara Raka yang manja dan suka menuntut perhatian dari Nana.
“Aku lagi nggak ada waktu untuk bercanda, katakan apa maksud kedatanganmu ke rumahku, apa yang kamu inginkan?”
“Kamu!”
“Maksudnya?”
“Kamu adalah apa yang aku inginkan!”
Nana memundurkan tubuhnya, sedikit menjauh dari suaminya yang beranjak berdiri dari kursi. Nana takut! Sebuah tamparan yang pernah Nana rasakan kembali berputar di kepalanya, membuat Nana takut dengan tujuan kehadiran mantan suaminya di rumahnya. Bisa saja laki-laki itu marah karena mengetahui kebiasaan Nana yang akhir-akhir ini sering menemui Saka saat laki-laki itu memulihkan kondisi kesehatannya pasca kecelakaan di Singapura.
“Berhenti ... berhenti aku mohon jangan mendekat,” pinta Nana saat mantan suaminya semakin mengikis jarak.
Bukan sebuah wajah penuh ancaman yang Nana temui, tetapi justru wajah penuh luka yang ditunjukan Raka untuknya. Raut wajah penuh luka karena penolakan Nana menciptakan sebuah perasaan takut yang lebih besar di hati Nana.
“Apakah itu adalah kalimat yang baik dari istri untuk seorang suami yang baru saja mengalami kecelakaan hebat? Baru saja berjuang untuk bertahan hidup?”
Nana bingung dengan kalimat yang diucapkan Raka, terlebih selama ini mantan suaminya tidak pernah bercanda.
“Kita sudah bercerai,” tegas Nana yang cukup aneh sebenarnya harus di jelaskan kepada Raka, jelas-jelas laki-laki itu dulu yang memaksanya menandatangai surat cerai.
“Aku tidak mungkin menceraikanmu, Renjana,” desis Raka pelan.
“Kamu melakukan itu, Raka demi Tuhan apapun yang coba kamu rencanakan saat ini membuatku takut,” ucap Nana jujur. “Aku minta maaf kalau misalnya aku sering menemui Saka dibelakangmu, aku sangat merindukan anakku, aku minta maaf -.“
“Kita sudah punya anak?” tanyanya bingung lalu justru kembali tersenyum lebar. Apapun ekspresi yang ditunjukkan Raka sama sekali tidak terlihat dibuat-buat dan bohong.
“Pulanglah, Raka,” usir Renjana.
“Aku hanya akan pulang denganmu,” jawab Raka dengan kalimat masih bernada rendah. Tidak ada ucapan ketus dan menyakitkan seperti sebelumnya.
“Kamu sudah punya istri, apa kamu sudah gila?”
“Benar, aku memang punya istri, dan sekarang aku sedang meminta istriku untuk pulang bersamaku.”
“Aku sudah bukan lagi istrimu,” jelas Renjana sekali lagi. Wanita itu bingung dan sudah lelah dengan segala permainan Raka sore ini.
“Sudah aku jelaskan dari awal, Renjana. Seorang Raka tidak akan pernah menceraikan Renjana, kamu ingat bukan bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan kamu?”
Nana menyerah, memberanikan diri untuk berjalan melewati Raka lalu membuka pintu rumahnya. Nana tahu laki-laki itu mengikutinya hingga masuk ke dalam kamar. Nana membuka lemarinya, namun belum sempat menemukan apa yang ia cari Raka sudah memeluknya dari arah belakang.
“Rakaa! Lepasin!” Nana meronta, sekuat mungkin mencoba melepaskan belitan tangan mantan suaminya.
Nana bisa merasakan sapuan lembut di tengkuknya diikuti ciuman menuntut dari arah belakang. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Raka.
“Raka, berikan kesempatan kepadaku untuk bicara.”
Raka bergeming, tak memperdulikan kalimat Renjana.
“Raka berhenti atau aku marah!” ucap Renjana dengan sentakan, hal yang sering Renjana lakukan dulu saat mereka masih pacaran dan selalu berhasil.
Ketika dengan begitu mudah Raka melepaskan pelukannya, Nana menjadi semakin takut, bagaimana kalimatnya bisa kembali menghentikan tingkah Raka yang pemaksa?
“Maaf,” ucap Raka lirih.
Maaf? Apa Nana tidak salah dengar?
Nana mengabaikan pikiran yang berkecamuk dalam otaknya, lalu kembali teringat dengan apa yang akan dilakukannya. Wanita itu meletakkan beberapa berkas perceraian di ranjang kamarnya, lalu meminta laki-laki itu untuk membaca.
“Apa ini?”
“Berkas perceraian kita.”
Raka tersenyum sinis. “Aku tidak mungkin -.“
“Baca, Raka!”
Raka melihatnya dengan tatapan marah, seperti sedang menimbang apa yang akan di lakukannya selanjutnya. Cukup lama mereka hanya berdiam dan saling menatap, lalu Raka akhirnya menyerah dan mengikuti kemauan Renjana. Dengan malas laki-laki itu membuka berkas yang di berikan Nana, lalu membelalakkan matanya ketika fakta yang di temuinya jauh berbeda dengan apa yang ada di otaknya selama ini.
“Kamu sudah berubah, kamu bukan Raka yang dulu aku kenal,” ucap Renjana lirih.
Raka kembali terhenyak, lalu tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing. Dia baru saja pulih dari sakit, sudah hampir dua bulan dia menjalani perawatan di sebuah rumah sakit tanpa adanya Renjana di sisinya. Setelah pengobatannya di Singapura, Raka berniat pulang ke Indonesia mendahului kedua orangtua dan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya namun mengaku sebagai istrinya. Tentu Raka menolak mentah-mentah semua itu, bagi Raka istrinya hanyalah Renjana! Bukan wanita lain. Raka berontak hebat di rumah sakit, murkanya menjadi-jadi saat semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam.
Tak mau menunggu, laki-laki itu pulang terlebih dahulu dan berniat bertemu dengan istrinya. Bukan suatu hal yang sulit untuk menemukan Renjana, namun saat bertemu dengan wanita itu laki-laki itu justru dihadapkan dengan fakta yang mengejutkan. Raka dan Renjana sudah bercerai, hal yang tidak mungkin dilakukan seorang Raka dulu.
“Aaaarrrgghh …”
Raka merasakan kepalanya berdenyut dengan begitu hebat, sakit terasa di sebagian kepalanya yang baru saja sembuh. Nana yang biasanya selalu melindungi dan merawatnya, justru menghindari dirinya dengan wajah penuh ketakutan.
“Aku cari pengawalmu.”
Raka buru-buru menahan tangan Nana yang hendak pergi keluar kamar mencari pengawal Raka. Dia tidak ingin wanita itu meninggalkannya, dia hanya membutuhkan Nana, apakah wanita itu bodoh sampai tidak bisa melihat itu semua?
“Aku tidak butuh pengawalku, yang aku butuhkan adalah kamu, Renjanaaa!” teriak Raka ditengah kesakitannya.
Nana menulikan pendengarannya, menghentakkan tangan Raka dengan kasar agar melepaskan cengkeraman pada tangannya. Beruntungnya laki-laki itu sedang menahan sakit, jadi cekalan tangan Raka tidak terlalu kuat dan bisa terlepas. Nana kembali berjalan melangkah pergi, meninggalkan Raka yang kesakitan seorang diri.
Diluar rumah, Nana berlari ke ujung gang. Kemungkinan besar pengawal Raka ada disana karena mobil memang tidak bisa masuk ke depan kontrakannya. Nana berlari dengan sedikit kesulitan, beberapa kali tubuhnya terjatuh karena terlalu ceroboh dalam larinya. Bulir keringat membasahi dahi Nana, dengan nafas tersengal akhirnya Nana bisa menemukan mobil mewah yang Nana ketahui sebagai milik Raka.
Di langkah keduanya mendekati mobil, Nana kembali terkejut saat menemukan keluarga Raka keluar dari mobil yang ada di depan mobil Raka. Semua orang itu menunjukan wajah tidak ramah yang lebih menyeramkan dari sebelum-sebelumnya.
Apa lagi yang akan terjadi ya Tuhan? Teriak Renjana dalam hati.