3

2008 Words
Sebuah undangan mendarat di meja kerja Aexio. Pria yang tengah memeriksa berkas kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan itu menghentikan kegiatannya, ia melihat ke sosok yang meletakan undangan di atas meja kerjanya. "Apa-apaan ini, Aexio?" Nada bicara itu menyiratkan kemarahan yang tertahan. Aexio menghela nafas tenang, ia pikir ada masalah apa, ternyata hanya karena undangan pernikahan Cello dan Cya. "Jangan tidak datang, bawa pasangan." Aexi kembali melanjutkan kegiatannya. "Aexio!" Suara itu meninggi. "Tiff, pelankan suaramu. Aku sedang fokus pada kontrak kerja ini." Aexio memperingati sahabatnya. Wajah Tiffany memerah, "Kenapa nama Cello yang ada di undangan ini? Jelaskan padaku, apa sebenarnya yang terjadi saat ini?" "Mereka akan menikah." Tiffany menunggu barang kali Aexio akan melanjutkan kata-katanya, namun ternyata tak ada lanjutan sama sekali. "Hanya itu saja?" Tiffany mulai kehabisan kesabaran. "Dia kekasihmu, bagaimana bisa dia bersama Cello." "Kami tidak berjodoh, Tiff. Memaksakan sesuatu yang ditakdirkan tidak bisa bersama ya percuma saja. Sekarang Cello bersama Cia, sudah itu saja. Tak ada cerita apapun lagi." Aexio terus mencoba menerima kenyataan. Meski hatinya tak rela tapi ia memaksakan bibirnya untuk berkata bahwa ia rela. Meski ia tahu Tiffany tak akan percaya ia baik-baik saja, tapi ia akan menunjukan bahwa ia sudah melepaskan. "5 tahun, Aexi. 5 tahun. Bagaimana bisa Aley melakukan ini padamu? Kau sangat mencintainya. Menjadikannya nomor satu tapi dia menduakanmu. Dan kenapa harus Cello, adikmu!" Tiffany tak habis pikir. Satu-satunya orang yang mengerti betul kisah percintaan Aexio dan Aleycia adalah Tiffany. Wanita ini tahu benar bagaimana cintanya Aexio pada Aley. Bahkan pria ini menolak wanita terang-terangan karena ia memiliki Aley. Untuk sekedar nomor ponselpun sangat mustahil bagi wanita memilikinya. Di ponsel Aexio hanya ada beberapa nomor wanita dan semuanya adalah teman Aexio. Teman yang dikenal ketika ia menuntut ilmu. Bahkan untuk pekerjaanpun, Aexio mengarahkan semua orang untuk menghubungi Tiffany. "Kau tahu benar bahwa Cia tidak tahu hubungan persaudaraan antara aku dan Cello. Dia berhak menentukan pilihannya, Tiff. Aku tak sempurna untuknya. Sudahlah, jangan bahas ini lagi." Tiffany ingin sekali menghajar Aexio, bagaimana bisa sahabatnya ini begitu tenang. Tanggapannyapun tak ada emosi sama sekali. Sahabatnya terlalu menerima. "Kau satu-satunya orang yang terluka disini, Aexio." "Perlahan akan sembuh. Terimakasih karena mencemaskanku." Tiffany baru bisa menangkap kesedihan dari nada bicara Aexio. Mungkin hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka Aexio. Tiffany tahu rasanya patah hati, benar-benar menyakitkan. Ditambah lagi Aexio akan merasakan apa yang ia rasakan, melihat orang yang dicintai bersama dengan orang lain. Dan hal itu jelas akan menyiksa karena Aexio pasti akan sering bertemu dengan Cello dan Cia. Belum lagi Aexio akan menyaksikan pernikahan Cello dan Cia. Tiffany tahu Aexio bukan pria lemah, ia bisa menanggung banyak luka karena terbiasa tapi tetap saja, Aexio hanya manusia biasa. Tiffany tak mampu memperkirakan sampai dimana Aexio akan terus bersandiwara baik-baik saja. "Kau butuh liburan. Sebaiknya kau tidak usah bekerja untuk beberapa hari." Tiffany pikir liburan bisa membantu Aexio. Sampai saat ini Aexio jarang pergi liburan, ia memang sering ke luar negeri tapi bukan untuk menikmati hidup melainkan untuk urusan pekerjaan. "Kau bermaksud memintaku untuk lari dari kenyataan?" Aexio mengernyitkan dahinya, sedikit berpikir lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan lari dari permasalahan ini. Satu-satunya yang ia harus lakukan hanya menerima kenyataan, sama seperti ketika ia tahu bahwa ia bukan keturunan Schieneder. "Bukan begitu. Mungkin saja saat kau liburan kau akan menemukan pengganti Cia." Aexio tertawa kecil, merasa lucu dengan kata-kata Tiffany, "Apa semudah itu hati berpindah? Hati yang sudah terlanjur jadi debu akan sulit untuk diperbaiki lagi, Tiff. Semua butuh proses, butuh waktu yang tidak dalam hitungan minggu atau bulan. Kau tahu sendiri aku mencinta bukan untuk main-main." Lagi-lagi Aexio menggelengkan kepalanya, ia butuh waktu untuk jatuh cinta lagi. Setidaknya sampai sayap cintanya yang patah bisa kembali membaik. Aexio memang sulit jatuh cinta, Aley adalah satu-satunya. Pertama dan pernah ia harapkan untuk jadi yang terakhir. Mudah baginya untuk jatuh cinta pada Aley yang kepribadiannya sederhana dan periang. Namun Aexio meragu jika ia bisa mencintai wanita lain secepat ia jatuh cinta pada Aley. "Tapi kau harus bersenang-senang, Aexi." Tiffany belum menyerah. Aexio meraih tangan Tiffany, dan Tiffany tahu jika sudah begini berarti Aexio lelah berdebat. "Aku akan baik-baik saja. Percaya padaku." Kali ini Aexio bicara serius. Ia tak akan membuat Tiffany mencemaskannya. "Jangan membahas masalah aku dan Cia di depan siapapun. Ini yang terbaik untuk semua orang." Jika sudah melihat mata teduh Aexio, Tiffany tak bisa apapun lagi. Ia menyerah, Aexio memang selalu keras kepala. Ia tak akan pernah mau mendengarkan apa kata orang lain. "Kau punya aku. Jika kau sedih datang padaku." Aexio mengelus punggung tangan Tiffany lembut, "Aku akan melakukannya." Senyum lembut Aexio terlihat begitu indah. Tiffany terlena karena senyuman itu. Senyuman yang hanya ditujukan Aexio pada beberapa orang. Senyuman langka yang jarang terlihat oleh pegawai perusahaan Aexio. "Tiff! Tiffany?" Aexio mengembalikan Tiffany pada dunia nyata. "Ah, ya." Tiffany tersadar. Ia mengendalikan dirinya agar kembali tenang. "Kau melamun?" "Tidak." Tiffany melepaskan tangan Aexio, "Kembalilah periksa berkas itu. Aku harus kembali menyusun jadwalmu." Tiffany membalik tubuhnya dan pergi dengan cepat. Aexio menatap kepergian Tiffany yang tergesa-gesa, ia tersenyum kecil merasa lucu akan tingkah Tiffany. "Dia terlalu memikirkanku." Aexio menghela nafas pelan lalu kembali bekerja. Hanya tinggal 2 minggu lagi Cello dan Cia akan menikah. Aexio semakin menyibukan dirinya dengan bekerja agar tak terlalu memikirkan tentang pernikahan adik dan wanita yang sampai saat ini masih ia cintai. Aexio harus segera membuang rasanya pada Cia, ia tak ingin mencintai istri adiknya sendiri. ** Ophelia menekan bel kamar hotel, ia ditugaskan untuk membawakan sebotol wine dan makanan ke kamar paling mahal di hotel itu. Tidak lama pintu terbuka, Ophelia menatap orang yang membuka pintu. Sesaat kemudian ia menyapa si penghuni kamar. "Sudah lama tidak bertemu, Ophe. Sepertinya satu tahun lalu terakhir kita bertemu." Wanita itu melangkah menuju sofa. Ophelia tak menjawab, ia hanya mendorong trolly lalu meletakan pesanan di atas meja. "Temani aku makan." Wanita itu bersuara lagi, "Aku sudah meminta izin pada supervisormu." Ophelia tak bisa menolak. Ia harus profesional dalam bekerja. Ia memilih berdiri di dekat sofa. "Duduklah." Pinta wanita itu. "Saya tidak digaji untuk duduk-duduk. Silahkan selesaikan makan Anda." Ophelia menjawab seadanya, dengan nada datar yang biasa ia gunakan. Wajah cantik tanpa polesan make up tebal itu juga sama datarnya. "Ibu sudah lama tidak melihatmu. Jadi bersikap santailah sedikit." Wanita itu membuka botol wine. Menuangkannya ke dalam 2 gelas, satu untuknya dan yang satu akan ia berikan pada Ophelia. "Bagaimana kabarmu? Kau masih tinggal di apartemen itu?" "Saya sedang bekerja dan tidak membahas masalah pribadi." Wanita yang tak lain ibu kandung Ophelia tersenyum kecil, "Tak ada mantan Ibu, Ophelia. Sebenci apapun kau padaku, aku tetap ibumu dan kau tetap anakku. Satu-satunya anakku." "Minumlah ini." Ia memberikan segelas wine pada Ophelia. "Saya tidak minum alkohol." "Ah, benar. Ibu lupa." Ophelia benci ketika ia harus berhadapan dengan wanita di depannya. Wanita yang menyebut dirinya ibu tapi tega meninggalkannya di panti asuhan demi mencari popularitas. Tak ada ibu yang tega meninggalkan anaknya, kecuali ibu itu adalah wanita gila seperti wanita di depannya. "Kau tidak mau menikah?" Wanita itu membahas hal sensitif, "Ibu memiliki banyak kenalan. Anak-anak pengusaha kaya yang bisa menjamin hidupmu." "Anda tidak memiliki hak apapun untuk mengatakan itu pada saya." Ophelia menolak tegas. Tak ada satu orangpun yang bisa mencampuri kehidupannya. Apalagi mengatur tentang pernikahan. "Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Memastikan bahwa kau tak kekurangan apapun dan dihormati hingga kau tua nanti." "Omong kosong." Ophelia menanggapi dengan sarkas. "Dengar, Ophe. Kau belum banyak menjalani hidup. Satu-satunya yang harus kau lakukan untuk bertahan hidup adalah berpegang pada penguasa." "Ya dan menjadi w************n yang menikah sekian kali. Menjadi perbincangan orang karena skandal, dan kau bangga akan itu? Menggelikan!" Ibu Ophelia tertawa kecil, sarkas anaknya menunjukan bahwa anaknya sedikit banyak mengetahui tentangnya dan juga memperhatikannya. "Ibu tidak memiliki kecocokan dengan suami ibu sebelumnya, jadi ibu memutuskan untuk berpisah. Cinta tidak dapat dipaksa." "Kau tidak punya cinta sama sekali!" Lagi, Ophelia menanggapi sinis. Ibu Ophelia tersenyum menahan sakit. Ucapan anaknya hampir sepenuhnya benar, namun dulu ia pernah mencintai seorang laki-laki tapi ia dicampakan. "Katakanlah kau benar. Kau tidak bisa minum alkohol, tapi kau bisa makan steak bersamaku. Ayo, makan." Ophelia bergeming, ia tak terbiasa makan bersama orang asing. Meski wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya tapi tetap saja wanita ini asing baginya. Wanita yang meninggalkannya di panti asuhan ketika usianya baru 4 tahun. Wanita ini yang sangat kejam, wanita ini telah banyak membuatnya menangis ketika kecil. "Kau terlihat lebih kurus. Kau pasti jarang makan. Ayolah, makan dengan Ibu. Besok Ibu akan pergi ke London jadi Ibu tidak punya banyak waktu untukmu." Wanita itu mengiris steak di piring. Bukan untuknya tapi untuk Ophelia. "Makanlah." Katanya dengan senyuman lembut. Ophelia tidak bisa. Ia memilih untuk membalik tubuhnya dan pergi meninggalkan sang Ibu tanpa peduli panggilan dari Ibunya. Seperginya Ophelia, sang Ibu melepaskan pisau di tangannya. Air matanya mulai turun, ia merindukan putrinya tapi ia sadar bahwa ia pantas diperlakukan seperti ini. Ia yang telah meninggalkan Ophelia di saat Ophelia sangat membutuhkan sosok Ibu. "Maafkan Ibu, Ophe. Maafkan Ibu." Ia menggumamkan kata penyesalan itu. Di tempat lain, Ophelia juga tengah menangis. Kenapa ibunya harus datang ke kehidupannya, bersikap selayaknya seorang ibu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tanpa penyesalan karena telah membiarkannya tumbuh sendirian. Usai melampiaskan kesedihannya ia keluar dari toilet, melangkah di lorong hotel menuju ke lift untuk kembali ke ruangan kerjanya. Ia siap dimarahi oleh supervisornya karena telah melalaikan tugas. "Ophelia!" Gyna, seorang room service memanggilnya. Rekan kerjanya itu mendekat dengan langkah lebar. "Kau sangat beruntung. Bagaimana rasanya makan berdua dengan model sekelas Anne Roses?" Pertanyaan bersemangat itu meluncur dari mulut Gyna. Ophelia diam. "Aku melihatnya tadi. Dia benar-benar cantik. Dia lebih cantik dari yang sering aku lihat di majalah, papan iklan dan televisi. Dia luar biasa." Gyna -wanita yang beberapa waktu lalu ikut memggosipkan Anne Roses- kini berbalik memuji wanita itu. "Dan dia juga sangat ramah dan baik. Dia membelikan seluruh pegawai room service makanan mahal. Aku tak tahu bahwa dia berhati malaikat. Aku sangat mengangguminya." Gyna semakin antusias. Wajahnya terlihat berseri. Ophelia tak jarang mendengar ini. Seseorang yang menghina Anne Roses dari belakang pasti akan memuji wanita itu ketika bertemu langsung. Entah mantra apa yang wanita itu gunakan hingga bisa mengubah pandangan orang ketika melihat wajahnya secara langsung. Semua orang memuji Anne Roses sebagai malaikat tak bersayap. Wanita yang kerap membuat skandal itu selalu berhasil memulihkan nama baiknya dengan wajah rupawannya. "Ophelia, ada apa dengan reaksimu yang biasa saja? Kau harusnya lebih heboh dariku. Kau bahkan makan bersama dengannya." Gyna mempertanyakan wajah datar Ophelia, "Ah, sudahlah. Aku lupa kalau kau memang seperti ini." Gyna menjawab sendiri pertanyaannya. "Oh iya. Anne Roses meninggalkan sesuatu untukmu. Kau sangat beruntung." Gyna gemas sendiri. Ia mulai menggilai Anne Roses. "Ada lagi?" Ophelia mematahkan wajah bahagia Gyna. Gyna mendengus, ia menggelengkan kepalanya, "Tidak." Ophelia lalu pergi. "Astaga." Gyna menghela nafas, ia tak habis pikir bagaimana ada manusia secuek dan sedatar Ophelia. "Ah sudahlah, sebaiknya aku kembali bekerja lalu setelahnya aku pergi untuk mencari tahu semua tentang Anne Roses." Gyna melangkah pergi. Ophelia mendapatkan titipan dari ibunya. Ia tak tahu apa yang ibunya berikan, mungkin sebuah kunci apartemen mewah dan sebuah tabungan berisi ratusan ribu dollar seperti tahun lalu. Ophelia tersenyum miris ketika memikirkan bahwa ibunya selalu berpikir bahwa materi adalah segalanya. Ophelia tidak menampik materi adalah kebutuhan pokok untuk hidup tapi yang ia butuhkan dari ibunya bukanlah uang atau aset berharga melainkan sebuah kasih sayang. Ibu tak akan memberimu apartemen ataupun uang lagi. Karena ibu tahu bahwa kau tak akan mau menggunakannya. Ibu meninggalkan nomor ponsel ibu. Hubungi ibu jika kau membutuhkan sesuatu. Ibumu. Ternyata bukan uang atau aset berharga yang ditinggalkan ibunya. Hanya sebuah kartu nama dan surat tulisan tangan sang ibu. Bagaimana bisa wanita itu begitu ceroboh, jika seseorang membuka surat itu maka ini akan menjadi skandal besar. Anne Roses tak pernah mengatakan bahwa ia memiliki seorang anak, yang artinya Anne tak pernah menganggap Ophelia ada si dunia ini. Hal ini juga yang membuat Ophelia menganggap Anne sebagai orang asing. Ophelia merobek secarik kertas di tangannya, ia membuang kertas yang sudah jadi robekan kecil itu ke dalam tong sampah. Ia juga hendak merobek kartu nama yang diberikan ibunya tapi ia mengurungkannya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD