Bab 7 - Panggilan Tak Terduga

1847 Words
Siang ini Ruby menghabiskan waktunya di rumah Tante Norin. Ia membantu Tante Norin mengerjakan beberapa pekerjaan rumah karena tidak ingin makan gratis begitu saja di sana. Padahal Tante Norin sudah melarangnya, tetapi gadis itu bersikeras melakukannya. Tante Norin sudah tahu sifat gadis itu yang sedikit keras kepala. Akhirnya ia pun membiarkan gadis itu melakukan hal yang ingin dilakukannya. "Xi Xi, bagaimana kalau nanti Tante tanyakan kepada Ansel apa ada lowongan pekerjaan di kantornya untukmu?" tawar Tante Norin. Ansel yang di maksud Tante Norin adalah putranya sendiri, Ansel Lee. Tante Norin hanya memiliki seoramg putra dan dia hanya tinggal sendiri di rumah saat ini karena putranya bekerja di luar kota. Putranya itu jarang pulang ke rumah karena sibuk dengan pekerjaannya sehingga Tante Norin sungguh menyayangi Ruby seperti putrinya sendiri. Suami Tante Norin sudah lama meninggal sejak putranya berusia dua belas tahun. Wanita itu menghidupi putranya seorang diri. Untungnya sebelum meninggal, suaminya meninggalkan sejumlah uang asuransi dan uang itu dikelola Tante Norin dengan membeli beberapa aset rumah dan dikontrakkan. Dari uang kontrakan itulah ia membiayai pendidikan putranya itu. Setelah putranya lulus kuliah, beban Tante Norin sudah mulai berkurang karena putranya yang sekarang menggantikannya mencari penghasilan sendiri. Oleh karena itu, Tante Norin pun memberikan kelonggaran untuk Ruby mengenai biaya kontrak rumahnya. "Memangnya Kak Ansel pulang ke sini?" tanya Ruby dengan mata berbinar-binar. Sepengetahuan gadis itu Ansel jarang sekali pulang. "Kemarin dia telepon, katanya dia dipindahkan kembali ke kantor pusat di sini. Jadi minggu depan dia sudah tinggal di sini lagi," jelas Tante Norin. "Wah, aku sudah lama tidak bertemu Kak Ansel. Aku penasaran dia jadi seperti apa sekarang, hahaha …." Ruby memang sudah lama tidak melihat Ansel semenjak pria itu pergi ke kota lain dua tahun yang lalu. Walaupun pria itu ada pulang setahun sekali, tetapi karena kesibukan Ruby mencari pundi-pundi uang, ia tidak sempat bertemu dengan pria itu. "Hahaha … nanti juga kamu bakal bertemu dengannya setiap hari sampai bosan," timpal Tante Norin yang juga merindukan putra semata wayangnya itu. Ruby tergelak mendengarkan ucapan wanita itu. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan Ansel karena pria itu sudah seperti kakaknya sendiri. Dulu pria itu selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah mengenai permasalahannya dan pria itu selalu dapat membuatnya kembali bersemangat menjalani hidupnya. Setelah membantu Tante Norin, Ruby pun pulang ke rumahnya. Ia menatap beberapa barang yang telah dirusak oleh para rentenir. Ia menghela nafas lelah dan mulai membereskan barang-barang tersebut. Selesai merapikan semuanya, Ruby beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian merebahkan tubuhnya setelah mandi. Badannya terasa lelah seharian ini. Ia menghela nafas panjang. 'Kapan aku baru bisa melunasi semua hutang ini?' batinnya sedih. "Aku tidak mungkin merepotkan Tante Norin terus-menerus seperti ini," gumamnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan tak menentu. Perlahan matanya terasa berat dan ia pun terlelap. Tidak berapa lama, dering ponsel mengganggu tidurnya. Masih memejamkan matanya, ia menggapai ponselnya yang berada di atas nakas. "Halo …." jawabnya dengan suara parau khas orang masih mengantuk. "Maaf, apa saya bisa berbicara dengan Nona Ruby Xiao?" tanya suara seorang pria di seberang telepon. "Ya … dengan saya sendiri. Ada keperluan apa ya?" balas Ruby dengan malas. Gadis itu masih enggan membuka matanya. Dia berpikir itu hanyalah telepon iseng dari pihak promosi peminjaman uang. "Ah, Nona Xiao. Perkenalkan saya David Zhou, Manajer Human Resources King Group. Saya ingin menginfokan bahwa Anda berhasil diterima di perusahaan kami. Mohon kedatangan Anda besok pagi ke Gedung King Group," jawab pria tersebut menjelaskan maksudnya menelpon gadis itu. Mendengar hal itu, Ruby pun membuka matanya dengan lebar. "A-apa? Bi-bisa Anda ulangi sekali lagi, Pak?" tanyanya balik untuk memastikan pendengarannya tidak salah tadi. David yang berada di seberang telepon berusaha menahan gelak tawanya. Ia tidak menyangka reaksi gadis itu begitu besar atas ucapannya dan ia pun mengulangi ucapannya tadi. Ruby segera beranjak dari tidurnya dan duduk di atas tempat tidur, mendengarkan ucapan David dengan seksama. "Bukankah wawancara tadi siang sudah dibatalkan, Tuan?" tanya Ruby masih tak percaya. "Iya, Nona Xiao. Ada sedikit kesalahan teknis dan pemilik perusahaan kami sudah melihat CV Anda. Ia tertarik untuk melakukan wawancara langsung dengan Anda besok pagi untuk memastikan kemampuan Anda," jelas Manajer Zhou sekali lagi. Ruby menutup mulutnya yang menganga. Senyum cerah terukir di wajah gadis itu. 'Apakah aku tidak sedang bermimpi?' batinnya. Ia mencubit pipinya sendiri dengan keras untuk menyadari dirinya bahwa dia tidak sedang bermimpi. "Auw!" ringisnya sambil mengusap pipinya yang mulai memerah. Manajer Zhou yang berada di seberang telepon mengernyitkan keningnya karena tidak mendengarkan tanggapan gadis itu. "Halo, Nona Xiao?" 'Ternyata benar aku tidak bermimpi!' Ruby berteriak kegirangan di dalam hatinya. "Ehem, Nona Xiao?" panggil Manajer Zhou sekali lagi mengalihkan pikiran gadis itu. "Ah, iya, Manajer Zhou. Besok pagi saya pasti akan datang. Pasti!" jawab gadis itu dengan semangat menyala. "Baiklah kalau begitu, saya tunggu kedatangan Anda," ucap Manajer Zhou mengakhiri panggilan itu. Ruby berdiri di atas tempat tidurnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan. Ia tidak menyangka kesempatan yang ia tunggu-tunggu datang juga. Kali ini ia harus menampilkan usaha terbaiknya. Sesaat gadis itu berpikir keras atas perubahan mendadak dari King Group. "Apa yang terjadi? Kenapa mereka bisa berubah pikiran secepat ini?" gumamnya. "Jangan-jangan pria itu sudah ketahuan menyogok dari 'pintu belakang'? Mampus! hahahaha …." Ruby terbahak-bahak memikirkan kesimpulannya itu. Sementara itu di ruangan Samuel Xia. "Bagaimana?" tanya Samuel Xia kepada David. Ia memerintahkan pria tambun itu untuk menghubungi Ruby. "Gadis itu sudah setuju, Tuan Besar. Besok dia akan datang melapor," jelas pria tambun itu. Samuel Xia tersenyum senang dan manggut-manggut mendengar penjelasan bawahannya itu. "Kalau tidak ada keperluan lain, saya permisi dulu, Tuan Besar," sahut Manajer Zhou yang merasa sudah menyelesaikan pekerjaannya saat itu. "Pergilah. Terima kasih, Manajer Zhou," ucap Samuel ramah. Suasana hatinya saat ini sedang baik. Manajer Zhou menunduk hormat dan segera beranjak dari ruangan itu. Ia menutup pintu ruangan itu dan bergumam, "Sungguh gadis yang beruntung." Selama sepuluh tahun bekerja di perusahaan itu, tidak pernah Manajer Zhou melihat suasana hati Tuan Besar Xia yang sebagus saat ini. Sebagai pengamat, ia dapat menebak sedikit pemikiran atasannya itu, tetapi ia tidak ingin ikut campur dalam masalah pribadi atasannya. *** Pagi yang dinanti-nantikan Ruby telah tiba. Gadis itu hampir saja kesiangan gara-gara kesenangan hingga tidak bisa tidur semalam. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan menggosok gigi, kemudian segera berganti pakaian formal dengan kemeja bermotif garis-garis dan celana panjang hitam. Tidak lupa ia memoles wajahnya sedikit dengan bedak dan pemulas bibir berwarna merah muda. Rambut panjangnya yang tergerai diikat membentuk ekor kuda. Ia tersenyum lebar di depan cermin dan memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Semoga hari ini lebih baik daripada kemarin," gumamnya. Gadis itu pun berangkat menuju gedung perkantoran King Group tanpa tahu apa yang sedang menantinya. Sekitar 30 menit, akhirnya Ruby sampai di depan gedung pencakar langit yang membentang tinggi ke atas. Kilauan cahaya yang memantul dari balik kaca gedung membuat kemegahan bangunan itu terlihat begitu nyata. Ruby pun melangkah masuk ke dalam gedung itu sekali lagi dengan kepercayaan diri penuh. Kali ini Ruby menuju ke resepsionis karena ia tidak mengetahui letak ruangan pemilik King Group. Manajer Zhou memintanya langsung ke ruangan Samuel Xia kemarin dan bodohnya gadis itu lupa menanyakan letak lantai ruangan itu. Seorang resepsionis wanita berpakaian seragam formal dengan atasan kemeja putih polos dengan rompi motif kotak-kotak dan bordir logo perusahaan di d**a sebelah kiri dipadukan dengan rok berwarna hitam sedang tersenyum manis di meja kerjanya. Rambutnya digelung agar terlihat rapi. "Maaf, saya mau tanya ruangan Tuan Samuel Xia di lantai berapa ya?" tanya Ruby kepada resepsionis itu. "Nona, sudah ada janji sebelumnya?" timpal resepsionis itu karena sudah kewajibannya menanyakan kepada setiap tamu perusahaan apalagi tamu tersebut ingin bertemu dengan pimpinan tertinggi perusahaan tempat ia bekerja. Ruby mengangguk. "Saya dihubungi oleh Manajer Zhou kemarin untuk wawancara. Beliau meminta saya kemari dan langsung ke ruangan Tuan Besar Xia," terangnya. "Maaf bisa beritahukan nama Anda, Nona?" tanya resepsionis itu lagi karena ia harus memastikan kebenarannya. "Ruby Xiao." Ruby mengucapkan namanya dengan senyuman yang merekah di wajahnya. "Baiklah, mohon menunggu sebentar." Resepsionis itu langsung menghubungi ke ruangan pimpinan perusahaan King Group dan sesuai yang dikatakan oleh Ruby, memang gadis itu memiliki janji sebelumnya. Samuel pun memerintahkan agar Ruby langsung datang ke ruangannya saja. "Baik, Tuan Besar Xia," jawab resepsionis itu dan menutup teleponnya. Ia pun berbalik menatap Ruby dan tersenyum ramah. "Nona Xiao, Anda diminta untuk langsung ke ruangannya di lantai 39. Anda bisa menggunakan lift di sebelah kanan," jelas resepsionis itu menunjuk ke arah lift khusus karyawan dan tamu. "Baiklah. Terima kasih," ucap Ruby membalas senyuman wanita itu. Ia pun segera berjalan ke arah lift. Tidak perlu menunggu lama, lift pun terbuka dan ia pun masuk. Sebelum sampai di lantai 39, pintu lift terbuka di lantai 15 dan masuk seorang pria muda berkacamata dengan pakaian formalnya. Ruby melihat pria itu tanpa berkedip. 'Bukankah pria ini yang kemarin bersama pria sombong itu?' batin Ruby mencoba mengingat-ingat pria itu. Pria itu adalah Alvin Han, asisten Wilson Xia. Sama halnya dengan gadis itu, pria itu pun cukup kaget bertemu kembali dengan Ruby saat ini. 'Bukankah ini gadis yang kemarin? Kenapa dia bisa ke sini lagi?' batin Alvin. Alvin menatap Ruby dan mereka pun saling melempar tatapan bingung dengan pikiran di dalam hati mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka di lantai 38 dan Alvin pun keluar dari lift. Pria itu masih belum beranjak dari depan lift. Ia melihat lift yang berjalan dan berhenti di lantai 39. "Apa yang dilakukan gadis itu di lantai 39?" gumam Alvin termenung. Sebagai karyawan King Group asisten Wilson itu tahu bahwa lantai 39 hanya ada ruangan pemilik perusahaan. Samuel selalu menggunakan ruangan itu setiap kali pria paruh baya itu ke kantor. Alvin pun mulai mempertanyakan alasan di balik kedatangan gadis itu ke sana. "Asisten Han, apa yang kamu lamunkan?" Suara bass di belakang Alvin membuyarkan lamunannya. Ia pun kaget dan berbalik. Pria itu menemukan atasannya sudah berdiri menatapnya tajam. Wilson memanggil asistennya beberapa detik yang lalu. Akan tetapi, yang dipanggil sama sekali tidak menyahut dan sekarang ia menuntut penjelasan dari pria berkacamata di depannya saat ini. "Ah, itu … itu Bos …." Alvin masih belum sepenuhnya sadar dari kagetnya. "Itu apa?" Wilson menaikkan salah satu alisnya. "Ehm … itu … Bos—" Belum sempat Alvin menyelesaikan ucapannya, Wilson menyelanya terlebih dahulu. Ia tidak sabar menunggu asistennya menyelesaikan ucapannya. "Sejak kapan kamu jadi gagap?" sindir Wilson kesal. Alvin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan begitu, Bos. Saya tadi bertemu dengan gadis yang kemarin," jelas Alvin. "Gadis? Gadis yang mana?" tanya Wilson tak mengerti. "Yang kemarin berani melawan Bos itu lho ... yang begini nih," jawab Alvin sambil memperagakan telunjuknya mengacungkan ke arah Wilson. Reflek Alvin menurunkan acungan telunjuknya ketika melihat kemarahan di dalam mata pria itu. Ia menelan salivanya dengan bersusah payah. 'Ruby Xiao? Mau apa lagi gadis itu ke sini?' batin Wilson mencoba menerka, tetapi ia tidak menemukan jawabannya. Nama gadis itu entah kenapa sudah terpatri di dalam benaknya sejak kemarin. "Ke mana dia tadi?" tanya Wilson penasaran. "Saya lihat dia tadi ke lantai 39, Bos," jawab Alvin cepat. Kedua alis Wilson pun bertaut mendengar jawaban asistennya itu. Berbagai pertanyaan muncul di dalam pikirannya. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menyusul ke lantai 39 tempat Ruby berada untuk menjawab rasa penasarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD