Suasana mencekam begitu terasa di dalam ruang meeting. Seorang pria berbadan tambun dan berkacamata tebal sedang berdiri menghadap pria tampan bertubuh tinggi yang tengah menatapnya tajam. Pria tambun itu adalah David Zhou, Manajer Human Resources King Group.
Saat ini dirinya sedang berhadapan dengan Wilson yang tiba-tiba datang ke ruangan itu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. David dan asistennya terkesiap. Mereka menghentikan wawancara yang sedang berlangsung saat itu.
"Maaf, Nona. Silahkan Anda keluar dulu," pinta asisten Wilson kepada calon karyawan yang sedang melakukan wawancara di dalam ruangan itu.
Calon karyawan itu pun keluar ruangan. Sekarang hanya tinggal Wilson, Alvin dan David bersama asistennya di dalam ruangan itu.
"Pagi, CEO Xia. Maaf saya tidak tahu Anda akan datang saat ini. Saya sedang melakukan wawancara atas permintaan Tuan Besar," jelas David memecahkan keheningan yang mencekam itu.
"Untuk apa?" selidik Wilson tajam.
"I-itu …." David mengusap keningnya yang mulai mengeluarkan buliran kecil di sana.
Wilson hanya diam menunggu jawaban pria tambun yang sedang gugup. Ia melayangkan tatapan tajam kepadanya sehingga menambah kegugupan pria tambun itu.
David Zhou menghela nafas pelan untuk menyembunyikan kegugupannya. "Saya hanya menerima perintah untuk membuka lowongan kerja dan melakukan wawancara saja, CEO Xia," jelasnya tanpa berani menatap Wilson.
"Katakan kepada mereka wawancara dibatalkan! Aku tidak butuh sekretaris yang hanya bermodalkan tampang saja!" perintah Wilson.
Wilson merasa wawancara ini hanya kedok dari kakeknya yang ingin meletakkan wanita di sampingnya saja karena selama ini pria itu tidak pernah menggunakan wanita sebagai tangan kanannya.
"Ta-tapi … CEO Xia—" David bingung akan perintah yang dikeluarkan Wilson karena dirinya juga diperintahkan oleh Presdir Xia langsung untuk mencari sekretaris wanita untuk direkturnya itu.
"Kenapa? Apa yang aku katakan tadi kurang jelas?" sela Wilson tajam.
"Bu-bukan begitu," David menghela nafas lelah dan berucap pasrah, "baiklah."
Pria tambun itu pun langsung menyuruh asistennya untuk keluar dan mengumumkan hal itu kepada calon peserta di luar.
Wilson tersenyum tipis. Mata elangnya seketika melirik tumpukan dokumen para pencari kerja di atas meja di hadapan Manajer Zhou. Kebetulan sekali biodata milik Ruby berada di tumpukan paling atas dan hal itu menarik minat pria itu.
Wilson mengambil dokumen itu dan membacanya sekilas. 'Jadi namanya Ruby Xiao?' batinnya dan tersenyum tipis.
Manajer Zhao dan Alvin memperhatikan mimik wajah Wilson. Mereka berdua terheran-heran melihat perubahan raut wajah Wilson itu. Senyuman tipis terukir di wajah dingin pria itu. Walaupun hanya sekilas, tetapi tetap saja itu senyuman yang langka.
'CEO Xia melihat CV milik siapa? Kenapa dia begitu tertarik?' batin David Zhou.
'Ada apa dengan Bos?' batin Alvin heran.
Perubahan wajah Wilson seketika berubah merendahkan. Ia mendengus.
'Dengan nol pengalaman begini masih berani melamar ke King Group,' batinnya kesal mengingat sikap gadis itu tadi.
Ia pun melempar biodata Ruby ke atas meja Manajer Zhou membuat pria tambun itu kembali berkeringat dingin.
"Apa sekarang standar perusahaan kita sudah menurun, Manajer Zhou?" sindir Wilson.
"Ti-tidak. Tentu saja tidak, CEO Xia," jawab Manajer Zhou gugup. Ia mengusap peluh di keningnya.
"Jadi bagaimana kamu jelaskan dengan CV wanita ini, hah?"
Amarah Wilson pun memuncak. Ia mengambil biodata Ruby dan melemparnya ke wajah David.
Kegugupan pun terasa pada diri Alvin saat ini. Ia hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga tidak terjadi pertumpahan darah di tempat itu.
"I-ini semua hanya kriteria yang diminta Tuan Besar Xia. Saya hanya mengikuti perintahnya saja," terang Manajer Zhou.
Wilson mengernyitkan keningnya. 'Apa yang diinginkan Pak Tua itu?' batinnya kesal. Ia mendengus kasar dan meninggalkan ruangan itu.
Manajer Zhou menghela nafas lega dan mengusap keningnya. Alvin mendekatinya dan menepuk pundaknya. "Sabar ya, Manajer Dao," hiburnya kepada pria tambun itu. Ia pun segera menyusul langkah Wilson keluar.
Sementara itu, Ruby masih menunggu Wilson dengan sabar di luar ruangan. Pikirannya saat ini bergerilya atas apa yang sedang terjadi di dalam ruangan.
"Jangan-jangan wawancara dibatalkan karena pria itu?" gumamnya karena pria asing yang ia temui di dalam lift tadi masih belum keluar dari dalam ruang meeting.
"Apa dia yang diterima untuk posisi itu?
Sialan beraninya dia memakai jalur belakang!" Ruby mengambil kesimpulannya sendiri. Ia tidak terima 'mangkuk makanannya' direbut dengan cara licik seperti itu.
Tidak berapa lama, orang yang ditunggu Ruby pun akhirnya keluar dari ruangan. Pria itu menatap heran ke arah dirinya yang ternyata masih menunggu di luar padahal wawancara telah dibatalkan.
'Apa lagi yang dilakukan gadis itu di sini?' batin Wilson mengernyitkan keningnya.
Alvin yang berjalan di belakang atasannya itu melirik ke arah tatapan Wilson melalui belakang pundaknya. Untung saja tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Wilson sehingga dirinya tidak perlu melongok sambil berjinjit. Ia mendapati Ruby yang sudah melayangkan tatapan tajam ke arah mereka.
Wilson tidak menggubris gadis itu. Ia melewatinya begitu saja. Alvin pun terpaksa mengikuti ke mana pun atasannya itu pergi.
"Berhenti kamu!" hardik Ruby kesal karena dirinya dianggap angin lalu oleh kedua pria itu.
'Astaga berani sekali gadis ini!' Kecemasan terukir di wajah Alvin.
Wilson tidak mempedulikan perintah gadis itu. Ia masih berjalan dengan acuh tak acuh tanpa menoleh ke belakang.
"Apa kamu tuli? Aku bilang berhenti!" perintah gadis itu tanpa takut.
Ruby segera menyusul langkah kedua pria di depannya itu. Ia berlari kecil dan berhasil berhenti tepat di depan mereka, kemudian merentangkan kedua tangannya untuk menghentikan langkah mereka.
Mata elang Wilson menatap Ruby dengan tajam, tetapi tidak berhasil membuat kendur nyali gadis itu.
"Apa maumu, Nona?" Wilson menautkan kedua alisnya.
"Katakan apa yang kamu lakukan di dalam tadi, hah?" cecar Ruby dengan binar mata menyala.
Yang ditanya hanya diam dan menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum miring.
"Apa kamu sudah menyogok mereka sehingga mereka membatalkan wawancara itu?" tuduh Ruby lagi tanpa takut.
Wilson sama sekali tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sinis mendengar pemikiran gadis itu yang tidak masuk di akal menurutnya.
"Apa kamu tidak tahu kalau kami sudah menunggu cukup lama di sini untuk kesempatan ini?" tutur gadis itu lagi.
Ruby sama sekali tidak memberikan Wilson kesempatan untuk berbicara. Ia terus mengatakan asumsinya sendiri tentang Wilson yang telah menggunakan 'jalur khusus' untuk mendapatkan posisi dalam wawancara hari ini. Ia meluapkan segala kekesalannya.
Alvin yang mendengar pernyataan yang tidak beralasan itu merasa cemas.
'Perempuan ini sudah gila! Apa dia tidak tahu sedang berbicara dengan siapa?' batin Alvin.
Alvin mencoba menghentikan ucapan tak berdasar gadis itu. Ia memberi kode dengan menyilangkan kedua tangannya ke atas dari balik tubuh Wilson. Namun, sayangnya usahanya sia-sia. Ruby tidak memahami maksud baiknya.
"Kenapa denganmu, Tuan?" tanya Ruby mengerutkan keningnya heran dengan tingkah Alvin tadi.
'Dasar gadis bodoh!' batin Alvin.
Alvin menepuk keningnya pelan dan segera menurunkan tangannya dari keningnya ketika Wilson berbalik menatapnya. Alvin berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
Wilson menatap asistennya dengan tatapan curiga, tetapi ia kembali berbalik ke arah Ruby. "Apa kamu sudah selesai bicara, Nona?"
"Tentu saja belum!" timpal Ruby.
Alvin hanya bisa menghela nafas kasar dan menunduk lemas melihat kelakuan gadis itu yang tidak mengenal siapa lawannya saat ini.
"Aku sudah menantikan wawancara ini sejak lama dan karena kehadiranmu membuatku kehilangan kesempatan ini!" ungkap Ruby atas kekesalannya yang sebenarnya.
Wilson tersenyum remeh. "Apa kamu kira kalau aku memberikanmu kesempatan ini kamu akan diterima, ha?"
"Kau—" Belum sempat Ruby meneruskan kalimatnya, Wilson sudah menyelanya.
"Apa kamu tidak malu dengan dirimu sendiri? Tidak ada pengalaman, tetapi berani melamar ke King Group," sindir Wilson menatap tepat di manik mata gadis itu.
Wajah gadis itu memerah menahan malu bak kepiting rebus. "Kamu mengintip CV ku?" tuduh Ruby kesal.
"Kenapa? Apa sudah tahu malu sekarang?" Wilson tertawa puas karena berhasil membuat gadis itu bungkam.
Tidak berhenti di situ, Wilson kembali memberi sindiran pedas di telinga gadis itu. "Kamu lebih cocok melamar menjadi cleaning service. Mungkin kesempatanmu lebih besar di sana."
Ruby mengertakkan giginya dan mengepalkan tangannya erat. "Ternyata pendidikan tinggi juga tidak menjamin perilaku seseorang bisa lebih baik," balasnya.
"Jangan sombong, Tuan. Ingatlah, di atas langit masih ada langit!" lanjut gadis itu lagi.
Wilson hanya tersenyum mendengarnya, sedangkan Alvin menepuk keningnya kembali dengan pelan.
'Dasar gadis bodoh! Dia akan menyesal mengatakan hal itu nanti,' batin Alvin.
"Kamu pasti akan mendapatkan balasan atas perbuatanmu hari ini!" Ruby mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Wilson dan beranjak pergi.
'Tapi setidaknya keberaniannya patut diacungi jempol,' batin Alvin.
"Gadis bodoh dan aneh," gumam Wilson tersenyum kecil.
Alvin turut mengangguk menyetujui ucapan atasannya. Ia melihat senyuman sekilas di wajah atasannya itu.
'Tumben Bos meladeni gadis seperti itu,' batin Alvin merasa hal itu tidak sesederhana ini.