Bagian 2

1682 Words
“Kiran?” Umi Maira menghampiri Kiran yang sedang tidur membelakangi pintu. Dia duduk di tepi ranjang, kemudian mengusap lembut rambut sebahu milik putri bungsunya itu. “Kamu ada masalah apa, Nak? Cerita dong sama Umi. Kali aja Umi bisa bantu.” “Kiran baik-baik aja, kok,” ujar gadis itu seraya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. “Omongan kakakmu jangan dimasukkan ke hati, ya. Binar emang suka gitu, tapi sebenarnya dia sayang banget sama kamu.” “Kiran pengin sendiri, Mi. Tolong.” Umi Maira mengembuskan napas berat, kemudian beranjak dari duduk. “Kalau kamu udah siap, Umi siap mendengar cerita kamu kapan pun, Nak. Jangan lupa salat Zuhur dan makan siang, ya. Umi sudah siapkan makan siang di meja makan,” pungkasnya kemudian keluar kamar, meninggalkan Kiran yang masih termenung di dalam selimut. *** Setelah makan siang dan salat Zuhur di masjid dekat kantor, Binar pun kembali ke kantornya. Dia memasuki ruang Departemen Sumber Daya Manusia dengan langkah tergopoh-gopoh karena jam istirahat sudah berakhir lima menit lalu. Jika manajernya tahu kalau dia telat, tamat riwayatnya. Dia akan menjadi bulan-bulanan lelaki itu selama seminggu lebih. Meskipun Baskara baru kerja selama setahun, tetapi hampir semua karyawan Departemen Sumber Daya Manusia sudah pernah menjadi korbannya. “Lo baru dateng, Nar?” “Iya, Mbak.” Binar meletakkan tasnya di atas meja, samping laptop. “Tadi ada masalah sama adikku,” lanjutnya. “Lo dipanggil tu sama Pak Kara. Siap-siap aja jadi bulan-bulannya dia. Makanya, kalau rapat itu yang fokus. Gara-gara kamu, kami semua kena omel,” gerutu perempuan bertubuh molek itu sembari mengempaskan p****t sekalnya ke kursi putar yang ada di kubikelnya. “Maaf, Mbak.” Nadia melongokkan kepala agar bisa melihat Binar dengan jelas. Gadis cantik berkerudung biru muda itu mengepalkan tangan kanan seraya menggumamkan kata ‘fighting’. Begitu pun dengan Puput yang saat ini berdiri dan melakukan hal yang sama seperti Nadia. Binar hanya tersenyum simpul menanggapi mereka. Setelah menghela dan mengembuskan napas, gadis itu pun berjalan ke ruangan yang berada tepat di sebelah kiri ruang rapat. Dia mengetuk pintu yang berada di hadapannya, kemudian masuk ke ruangan berdinding kaca transparan itu setelah mendapatkan izin dari sang empunya. Selepas menutup pintu kaca tersebut, Binar menghampiri laki-laki yang terlihat sibuk menatap layar komputer. Sesekali, mata beriris cokelat itu melihat tumpukan berkas yang ada di atas meja. “Bapak manggil saya?” Lelaki itu berdeham pelan. “Atur jadwal wawancara untuk para kandidat yang lolos tahap screening, lalu kamu hubungi pelamar yang lolos. Kalau bisa, hari ini semua kandidat sudah dihubungi. Data para kandidat ada di Nadia. Kamu minta sama dia nanti,” titahnya tanpa melirik Binar sedikit pun. Dia masih fokus menatap berkas-berkas yang ada di hadapannya. “Oh, ya, satu lagi,” kali ini, Baskara memusatkan atensinya pada gadis berparas ayu itu, “Kamu cari perusahaan penyedia jasa training karyawan yang kompeten. Jangan pakai perusahaan yang tahun kemarin karena penjelasannya terlalu membosankan.” “Hanya itu saja, ‘kan, Pak?” “Kamu mau nambah?” “Eh, enggak, Pak.” Binar langsung gelagapan. Tentu saja, dia menolak. Dua tugas itu saja sudah berat dan harus dikumpulkan besok pagi pula. Jika pekerjaannya ditambah lagi, bisa-bisa dia tidak tidur malam ini atau paling parah tidak bisa pulang ke rumah.  “Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Binar berpamitan setelah memastikan manajernya itu selesai berbicara. Dia keluar ruangan seraya mengucapkan sumpah serapah di dalam hati. Wajahnya terus ditekuk, seperti mahasiswa yang kehabisan uang di akhir bulan. Gadis itu berjalan ke kubikelnya dengan langkah yang sedikit dientak-entakkan, menimbulkan suara bising karena sepatu hak tingginya beradu dengan lantai pualam. Rambut panjang Binar yang dikucir kuda itu pun bergoyang-goyang ke sana kemari akibat pergerakannya. “Gimana, Nar?” tanya Raymon saat menyadari wajah Binar yang terlihat muram. Ayu, Puput, dan Nadia pun memusatkan atensi ke arah Binar, menunggu jawaban dari gadis itu. Pertanyaan Raymon sudah cukup mewakilkan kekepoan mereka. Binar menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas berat. Hal itu membuat Raymon, Ayu, Puput, dan Nadia memandangnya iba. “Semangat, ya, Nar,” ujar Puput, berusaha menyemangati rekan sejawatnya itu dan dibalas anggukan oleh Binar. *** Binar menggeliat, meregangkan tangan untuk mengurangi pegal-pegal yang mendera tubuh lampainya. Seharian berada di depan laptop membuat tubuhnya terasa lelah. Dia menguap lebar-lebar, kantuk mulai menghampirinya. Namun, ketika pintu ruangan Baskara terbuka, dia langsung membekap mulutnya, tak jadi menuntaskan kuapan. Gadis itu pun menunduk dalam, pura-pura fokus pada layar laptop agar Baskara tak menghiraukannya, apalagi mengajaknya berbicara. Entah kenapa, dia sangat malas berbicara dengan lelaki itu di saat kondisi otak sedang sumpek seperti saat ini. Saat Baskara sudah melewati kubikelnya, Binar pun mengembuskan napas lega seraya mengusap d**a. “Kamu enggak pulang?” Suara bariton milik lelaki itu membuat tubuh Binar berjengit saking kagetnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki jangkung tengah berdiri di belakang kursinya. “Bapak ngagetin aja, sih,” gerutunya. Mengabaikan gerutuan Binar, Baskara justru melemparkan pertanyaan serupa, “Kamu enggak pulang? Udah malam.” Binar menoleh layar laptopnya kembali, lalu memutar bola mata dengan malas. “Kan, Bapak yang ngasih saya tugas seabrek-abrek dan harus diselesaikan hari ini.” “Kan, bisa dikerjakan di rumah,” sahut Baskara enteng, tak memedulikan sindiran halus yang dilayangkan gadis berkucir satu itu. “Saya paling anti membawa pekerjaan ke rumah, Pak. Rumah itu tempat istirahat, bukan tempat bekerja.” Lelaki berhidung bangir itu mengedikkan bahu. “Ya, terserah kamu, sih,” pungkasnya kemudian berlalu meninggalkan Binar seorang diri tanpa mengucapkan salam perpisahan atau apa pun itu. Binar mendengkus kesal, lalu menatap punggung tegap milik Baskara yang semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Dia mengembuskan napas gusar, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling yang mulai gelap. Ruangan itu hanya diterangi lampu meja yang ada di kubikelnya. Di ruangan lain pun terlihat gelap gulita. Wajar saja, saat ini sudah pukul 19.30, semua karyawan pasti sudah pulang sejak dua setengah jam yang lalu. “Sabar, Nar. Tinggal sedikit lagi, kok,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri, meskipun ada perasaan takut yang tiba-tiba menyergap hatinya. *** “Waktunya tidur. Yuk, sini, Sayang.” Seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun naik ke atas ranjang dengan kasur berseprai Hello Kitty itu. Dia kemudian merebahkan diri sambil menarik selimut bergambar senada hingga bahunya. “Ma, papa, kok, enggak pulang-pulang, sih? Padahal, aku pengin dibacain dongeng sama Papa kayak dulu.” “Papa masih ngurus pasien dan pulangnya pasti malem. Kalau papa libur atau masuk sif pagi, pasti malemnya bisa bacain Runa dongeng. Sekarang, kamu tidur dulu, ya, Sayang. Biar mama yang bacain dongeng.” Perempuan berusia sekitar tiga puluhan awal itu tersenyum manis, berusaha menenangkan sang putri. Pelita menyelonjorkan kaki di samping putrinya dan bersandar di kepala ranjang. Dia mengambil salah satu buku cerita di antara tumpukan buku di atas nakas samping ranjang, lalu mulai membacakan kisah tentang Cinderella dan sepatu kaca. Aruna menanggapi cerita sang ibu dengan antusias dan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan, seperti mengapa ibu tiri selalu jahat, mengapa Cinderella berubah pada pukul dua belas malam, dan mengapa-mengapa yang lain. Dengan sabar, Pelita selalu menjawab pertanyaan Aruna dengan jawaban simpel yang bisa dimengerti oleh anak berusia empat tahun itu. Saat mendekati akhir cerita, Aruna mulai menguap. Mata kecilnya mulai sayu karena tak kuasa menahan kantuk yang menggelayuti pelupuknya. Beberapa saat kemudian, dia akhirnya tertidur lelap, menjelajah ke dunia mimpi. “Akhirnya, Cinderella dan Pangeran pun hidup bahagia,” pungkas Pelita, mengakhiri kisah klise antara seorang putri dan pangeran yang hidupnya selalu berakhir bahagia, bertolak belakang dengan kehidupan dunia nyata. Melihat putri kecilnya sudah tertidur, Pelita pun menyunggingkan seulas senyum tipis. Dia membenarkan posisi selimut Aruna yang sempat tersingkap karena pergerakan gadis kecil itu, kemudian dia mengecup kening Aruna lembut. Setelahnya, Pelita beranjak perlahan-lahan agar tak mengusik tidur sang putri. Pelita menaruh buku cerita di atas tumpukan buku yang ada di atas nakas. Bersamaan dengan itu, netranya tak sengaja melihat jam weker yang sudah menunjukkan pukul 21.10. Malam hampir larut, tetapi suaminya tak kunjung pulang. Hatinya mendadak waswas, takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tak lama kemudian, terdengar derit pintu yang begitu memekakkan telinga. Sepertinya, berasal dari ruangan samping kamar Aruna yang merupakan kamar tidurnya. Pelita bergegas keluar kamar Aruna, kemudian masuk ke kamarnya yang kebetulan pintunya tak tertutup rapat. Di dalam sana, dia melihat sesosok lelaki jangkung dengan balutan kemeja merah maroon yang terlihat pas dengan tubuh tegapnya. Perempuan itu pun berjalan mengendap-endap, menghampiri sang suami yang saat ini berdiri membelakangi pintu. Dia memeluk tubuh kukuh Wisnu dari belakang dan menghidu aroma parfum sang suami yang sudah bercampur dengan bau keringat. Meskipun begitu, aroma tersebut tetap membuatnya mabuk kepayang. “Kamu sudah pulang, Mas? Dari tadi, Aruna nyariin kamu terus,” ujarnya di sela-sela kesibukan mencium aroma tubuh Wisnu. Wisnu melepaskan tangan Pelita yang melingkar di pinggangnya. Laki-laki itu kemudian membalikkan badan agar bisa berhadapan dengan sang istri. “Apa dia sudah tidur sekarang?” tanyanya seraya membuka kancing kemeja. Pelita tersenyum simpul, kemudian mengangguk. Lantas, dia membantu sang suami membuka kancing kemejanya. “Kamu mau mandi dulu atau makan dulu?” “Aku udah makan malam, kok. Aku mau mandi, terus tidur. Capek banget, tadi banyak pasien yang harus ditangani.”  Perempuan itu mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat tampan, meski belum mandi sekalipun. Dia memang harus mendongak untuk menatap Wisnu karena tingginya hanya sebahu lelaki jangkung itu. “Ya, udah, kalau gitu. Handuknya udah kusiapin di dalam kamar mandi.” Setelah melepaskan kemeja, Wisnu kemudian melepaskan kaos oblongnya dan menaruhnya di keranjang baju kotor yang terletak di sudut kamar, dekat dengan kamar mandi. Laki-laki itu masuk kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Selepas sang suami masuk kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka, Pelita memungut jas, tas, dan ponsel Wisnu yang berserakan di atas ranjang. Saat akan meletakkan ponsel sang suami di atas nakas, tiba-tiba sebuah pesan masuk, membuat layar ponsel yang semula gelap menjadi terang. Melalui notifikasi yang ditampilkan di layar yang masih terkunci, Pelita dapat membaca pesan tersebut dengan jelas. My D Sayang, udah sampe rumah? Seketika, tubuh perempuan itu membeku. Tenggorokannya tersekat, seolah-olah ada batu besar yang tersangkut di sana. Mendadak, hati Pelita berdenyut, membuat sesak perlahan-lahan menghampiri. “Sa-sayang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD