9. Perasaan Hangat

2024 Words
Harapanku saat bertemu dengan orang baru selalu sama. Semoga dia tidak seperti pelangi yang hanya datang sesaat lalu pergi begitu saja. ***** Azkia tengah mematut dirinya di depan cermin. Ia menyisir rambutnya dalam diam karena masih memikirkan ancaman yang terus datang kepadanya akhir-akhir ini. Kepalanya terasa penuh akibat pikiran buruk yang terus menggerogoti jiwanya tanpa ampun. Matanya melirik sekilas pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih pukul enam lebih seperempat. Azkia tersenyum karena masih memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan bundanya sebelum berangkat sekolah. Gadis itu melangkah menuju kamar bundanya dan membuka pintu dengan perlahan. Namun, saat kakinya telah menyentuh ambang pintu, mata Azkia spontan membelalak saat melihat bundanya tidak ada di tempat tidur. Azkia langsung dilanda kepanikan detik itu juga. Ia langsung memekik memanggil sang bunda diiringi dengan rasa kalut yang tidak mampu Azkia sembunyikan. "Bun? Bunda?" Azkia kini beralih menuju kamar mandi, berharap bundanya ada di sana. Namun, setelah tiba di kamar mandi, bundanya tetap tidak ada di sana. Ia segera berlari ke ruang makan dan melihat Bi Asri tengah menyiapkan sarapannya. Sambil mengatur napasnya yang terasa berat karena panik dan telah berlarian, Azkia mengembuskan napas sekilas sebelum melemparkan pertanyaan kepada wanita berusia akhir empat puluh tahunan itu. "Bi, Bunda ke mana?" tanya Azkia panik. Namun, saat Bi Asri justru menampilkan seutas senyum di wajahnya, Azkia mengerutkan dahu bingung. Setelahnya, rasa penasaran Azkia terjawab oleh jawaban dari Bi Asri. "Di halaman belakang, Mbak,” jawab Bi Asri pada akhirnya. Azkia mengernyitkan dahinya karena bingung, kenapa Bi Asri terlihat santai membiarkan bundanya sendirian. Ia hendak memutar kepala dan mengalihkan atensi ke tempat bundanya berada. Namun, penjelasan Bi Asri tiba-tiba menghentikan Azkia sejenak. "Sama temennya Mbak Kia. Namanya Mas Regan." Pandangannya kini beralih pada jendela yang mengarah ke halaman belakang. Benar saja, matanya menangkap bundanya sedang duduk bersama seorang laki-laki yang berseragam sama dengannya. Azkia mengembuskan napas lega tanpa sadar. Tidak ingin membuang waktu lagi, gadis bernama belakang Adisty itu segera berjalan menghampiri mereka—sang Bunda dan Regan, lelaki yang berusaha dekat dengannya. "Bunda?" Wanita yang duduk di kursi roda itu tentu tidak menjawab dan hanya bergeming dengan tatapan yang terarah ke kolam. Justru, saat ini Regan mendongak dan tersenyum sebagai respons atas ucapan satu kata dari Azkia tadi. "Azkianya udah bangun, Tante. Regan jadi semangat sekolah, lihat Azkia pagi-pagi kayak gini," ujar Regan kepada Bunda Azkia sambil terkikik geli. Dahi Azkia mengernyit. "Hah?" Sambil mengulum senyum, Regan membalas, "Biasanya 'kan gue lihat lo waktu panas-panasan di dalam bus. Sekarang, gue bisa lihat wajah lo yang belum terkontaminasi sama debu jalanan ibu kota yang perlu dihempas." Azkia hanya geleng-geleng mendengar ucapan acak dari sosok laki-laki itu Ia tak mau lagi menanggapi perkataan Regan, karena baginya akan sia-sia. Ia akan kalah jika beradu argumen dengan lelaki yang kapasitas bicaranya sudah di atas rata-rata. Di sisi lain, Azkia sebenarnya heran dengan dirinya sendiri. Saat ada laki-laki tampan yang mendekati dan berbuat baik kepadanya selayaknya orang special, Azkia justru memberi respons yang berbeda. Ia sama sekali tidak timbul gelenyar aneh dari dalam hati atau kepak sayap kupu-kupu yang memenuhi perutnya hingga menciptkan rasa menggelitik bahagia. Yang dilakukan Azkia justru selalu memberi tatapan sinis, ketus, dan terlampau dingin kepada sosok Regan Ramachandra. "Lo ngapain di sini?" tanya Azkia pada akhirnya. Regan terkekeh. "Baru juga digombalin udah lupa ingatan gini." Lelaki itu lalu beralih menatap ke arah bunda Azkia. "Tante, anaknya kalau lagi grogi lucu, deh." "Ish! Nggak lucu!" sungut Azkia kesal. "Tuh, kan, Tante, pipinya aja udah merah-merah. Habis ini senyum, tuh, pasti," goda Regan. Azkia mendengus. Ucapan Regan itu tidak benar dan hanya digunakan untuk menggoda Azkia. Namun, Azkia pun tidak tahu kenapa dirinya memberi respons elakan yang berlebihan seperti ini seolah dirinya suka digoda oleh Regan layaknya di cerita dalam novel-novel. Ada tokoh perempuan yang malu-malu dan justru marah saat sedang digombali dengan tokoh laki-laki padahal di dalam hati si perempuan itu sangat amat berbunga-bunga. Kenapa Gan? Kenapa lo masih ada di sini? Justru sekarang lo makin akrab sama Bunda. Azkia menghela napasnya sekilas dan berkata, "Gan, tunggu di depan dulu, ya? Gue mau ngomong sama Bunda." Seolah memahami ucapan Azkia dan memberi ruang kepada keduanya untuk mengobrol, Regan tersenyum dan mengangguk. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh meninggalkan Azkia dan bundanya yang masih di bangku taman. Sepeninggal Regan, Azkia segera duduk di sebelah bundanya dan mulai mengajak mengobrol sang bunda. Ia lantas lanjut bercerita kembali walau hanya dijawab dengan tatapan kosong oleh wanita berwajah pias yang duduk di kursi roda. "Bun, ini kedua kalinya Bunda ketemu sama Regan. Nyebelin 'kan anaknya?" Wanita yang sedang duduk di kursi roda itu masih diam. Namun, hal tersebut tidak membuat Azkia berhenti dan pergi. Ia justru mengatakan ucapan lanjutan dari kalimat sebelumnya. "Kia aja darah tinggi tiap ketemu sama dia. Pasti selalu ngomel-ngomel kaya tadi." Azkia diam sejenak sebelum melanjutkan, "Apa Kia yang terlalu berpikiran buruk sama dia ya, Bun? Regan kalau ngomong sama Bunda akrab banget soalnya. Apa dia sebenernya emang anak yang baik?" Kini gadis itu menunduk dan meremat jari-jari tangannya dengan gelisah. "Setelah Danu meninggal, Kia ngerasain perasaan aneh itu lagi saat Kia lihat Bunda ngobrol sama Regan. Kenapa bisa gitu ya, Bun?" Azkia mendongak saat tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pipinya. Gadis itu tersenyum haru saat mengetahui itu adalah tangan bundanya. Yang dilakukan Azkia saat ini adalah mengangkat tangannya dan mengulurkan untuk mengusap punggung tangan sang bunda yang menangkup pipinya dengan lembut dan penuh perasaan. "Bunda kenapa? Apa Bunda udah tahu jawaban tentang perasaan Kia? Kasih tahu Kia ya, Bun?" tanya Azkia penuh harap, terlihat dari kaca samar yang melapisi bola matanya. Azkia menghela napas, karena sang bunda masih menatapnya kosong. Azkia menghela napas berulang kali selama beberapa saat. Setelah mengatakan pertanyaan tadi, Azkia memanggil Bi Asri untuk menggantikan posisinya menemani bundanya, karena ia harus pergi ke sekolah. "Kia berangkat dulu ya, Bun?" Azkia tersenyum dan mencium punggung tangan bundanya, sebelum ia benar-benar pergi. Gadis itu beralih kepada Bi Asri yang bersiap duduk di samping bundanya. “Bi, titip bunda, ya. Kia mau berangkat sekolah dulu. Assalamualaikum.” Setelah mendapati anggukan kepala dari wanita itu, Azkia tersenyum sebelum beringsut dari tempatnya. Gadis itu mematri langkah menemui lelaki yang sedang menunggunya di teras rumah. Azkia pun bahkan memilih membawa makanannya ke sekolah karena tidak sempat jika harus sarapan di rumah dan membiarkan Regan menunggu lebih lama, sekalipun sebenarnya waktu bel masuk masih lama dan memungkinkan untuk sarapan di rumah terlebih dahulu sebelum berangkat. "Lo ngapain, sih, ke sini?" tanya Azkia kesal saat ia sudah berada di depan Regan. "Gue 'kan emang ngajak lo berangkat sekolah bareng." Regan menjawab dengan senyum yang lebar. "Gue bisa berangkat sendiri," ketus Azkia. Regan tersenyum saat melihat jam tangannya. "Udah siang. Mau telat berangkat ke sekolah? Gue kira ... lo tipe-tipe anak yang anti dapet poin keterlambatan." Azkia memutar bola matanya malas. Sebenarnya bel masuk sekolah masih lama. Namun, jika ia nekat untuk naik bus dan terjebak macet di jalan karena bersamaan dengan jam-jam masuk kantor, mau tidak mau akhirnya Azkia menganggukkan kepala walaupun terasa berat. "Ya udah, ayo berangkat!" Mendengar jawaban dari Azkia tentu membuat Regan seakan tertimpa durian runtuh. Laki-laki itu berbinar senang. Senyuman lebar langsung tertaut di wajahnya cukup lama. Mungkin dalam hati Regan saat ini bersorak sangat senang karena ini pertama kalinya Azkia mau naik ke boncengan motornya. Sesuai dengan apa yang telah ia ramal dan harapkan beberapa waktu lalu. Meskipun gue bukan Dilan, nyatanya omongan gue waktu itu kenyataan! Azkia mau gue bonceng woi …. "Asyik! Setelah sekian lama, ada juga yang mau naik Upil kesayangan gue!" celetuk Regan saat mereka sudah berada di samping motornya. Dahi Azkia mengernyit. "Hah? Upil lo? Jorok banget, sih!" "Oh iya, lo belum kenalan sama motor gue, ya? Kenalin, namanya Upil. Nama panjangnya Marsupilami. Ganteng 'kan anak gue?" ucap Regan bangga sembari menepuk jok motornya. Azkia masih bergeming di tempat dengan tatapan heran, saat Regan menyerahkan helm kepadanya. "Ini helm siapa, Gan?" "Helm gue, lah! Tenang aja, udah lunas kok,” balas Regan sambil menyengir lebar—khas seorang Regan Ramachandra. "Serius?" tanya Azkia sekali lagi, karena menurutnya jawaban Regan belum menjawab pertanyaannya. Seumur hidup, Azkia belum pernah menemui seorang lelaki yang memiliki helm bergambar marsupilami seperti helm anak-anak. Nggak salah? Ini pasti punya adiknya! Melihat tak ada respon dari gadis di depannya, membuat Regan merebut helmnya tak sabaran dan memakaikannya pada Azkia. Regan tersenyum sembari merapikan poni Azkia yang berantakan, sementara Azkia masih memelototi Regan dengan kesal. Bukannya menciut karena tatapan tajam dari Azkia, Regan justru mencubit hidung gadis itu sekilas sebelum naik ke motornya. "Jangan marah-marah terus! Lo beneran mau telat?" Azkia mengerjap dan segera naik ke boncengan motor Regan. Ia tidak ada pilihan lain selain ini jika tidak ingin terlambat sampai di sekolah dan berujung terkena hukuman dari guru. Saat menyadari jika Azkia masih bersikap datar dengannya, Regan lantas berkata, "Nggak mau pegangan? Sekedar info, gue kalau di atas motor mendadak jadi jelmaan alap-alap. Nggak takut terbang kebawa angin?" "Hah?" beo Azkia. Dahinya berkerut hebat di atas motor Regan. "Pegangan, Azkia!" titah Regan lembut. Azkia hanya melamun. Apakah berangkat sekolah dengan Regan adalah keputusan yang tepat? Regan berdeham, berusaha membuyarkan lamunan Azkia. Gadis itu sontak mengerjapkan matanya. "I-iya, udah kok." Regan menghela napasnya sekilas. Tangannya meraih tangan Azkia dan menuntunnya ke pinggang. "Gue 'kan udah bilang, gue ini jelmaan alap-alap kalau di atas motor." Azkia membelalakkan mata dan bersiap untuk menarik kembali tangannya. Namun, dengan sigap Regan sudah menahannya. "Jangan dilepas. Lo mau nyium aspal? Kalau gini palingan lo nyium punggung gue," kata Regan sembari terkekeh pelan. Azkia hanya diam. Sementara Regan, ia tersenyum puas karena Azkia tidak menunjukkan perlawanan. Tumben banget nih macan betina nggak ngomel-ngomel. Udah nggak PMS kali, ya? ***** Azkia menarik napas dalam-dalam setibanya di sekolah. Bukan karena kedatangannya bersama Regan yang menjadi sorotan, namun karena nyawanya baru saja terancam. Dalam perjalanan, ia terus-menerus menutup mata karena Regan mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. "Azkia, jantung lo masih aman, 'kan?" tanya Regan dengan menampilkan wajah khawatirnya. Azkia mendengkus dan memutar tubuh ke arah Regan. "Lo udah gila?" Regan terkekeh dan memilih mengalihkan pembicaraannya. "Tapi, jantung gue yang udah nggak aman karena habis dipeluk sama lo." Azkia memutar bola matanya malas dan terus berjalan mendahului Regan menuju kelas. "Azkia, gue mau sungkem sama Upil. Gara-gara dia kita bisa sedekat nadi," kata Regan dengan nada bicara yang lumayan tinggi, hingga membuat anak-anak yang berada di koridor menoleh ke arah mereka. Begitu pula dengan Bella dan antek-anteknya yang sudah menatap Azkia dengan sinis seolah menyimpan dendam yang mendalam. Melihat hal yang baru saja terjadi, Azkia hanya mampu menggerutu dalam hati seraya mempercepat langkahnya supaya cepat sampai di kelas. Lo emang suka bikin gue malu ya, Gan? Kapan lo mau nyerah? Kapan lo mau pergi dari gue? "Azkia, nanti pulangnya bareng sama gue lagi, ya?" tanya Regan tak menyerah. Azkia menggeleng tanpa pikir panjang. Walaupun ia pagi ini sudah bersedia dibonceng oleh Regan, tetapi Azkia belum terbiasa jika harus pulang dan pergi bersama Regan. Baginya, selagi ada cara lain seperti naik bus atau ojek online, Azkia akan memilih hal tersebut alih-alih kembali duduk di boncengan motor Regan. Terlebih tatapan sinis dari fans fanatik seperti Bella dan antek-anteknya yang menyukai Regan, membuat Azkia ingin jauh-jauh dari sosok laki-laki yang berusaha menyamakan langkah kaki dengannya. Regan menarik napasnya dan berkata, "Awalnya gue lebih suka naik bus sama lo, karena bisa lama-lama berduaan. Tapi, naik Upil ternyata lebih seru." Seru di lo, tapi di gue bikin sakit jantung! sungut Azkia kesal dalam hati. Azkia hanya bisa pura-pura tidak mendengar ocehan Regan sepanjang jalan. Hidupnya kini benar-benar penuh bencana. Ia yakin, setelah ini akan ada ancaman yang datang lagi kepadanya. Gadis itu lantas menghela napas lega saat sudah menghempaskan tubuhnya di bangku. Sedangkan Regan, ia memilih untuk langsung duduk di tempatnya dan berbisik pada Bima. "Bim, gimana? Aman?" tanya Regan. Bima lantas mengacungkan jempolnya. "Hari ini aman, Gan!" Regan menghela napas lega karena hari ini tidak ada teror untuk Azkia. Ia harap, kejadian kemarin pagi adalah yang pertama dan terakhir. Baru saja Regan hendak menyandarkan kembali punggungnya di bangku, sebuah pesan masuk di ponselnya membuat lelaki itu kembali terlonjak. 0852365xxxxx Hari ini lo beruntung. Regan melempar ponselnya ke meja dengan asal. Ck! s****n! *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD