1. Mimpi Buruk

1977 Words
Seorang gadis tengah menatap wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi roda dengan pandangan kosong ke luar jendela. Tatapannya kosong seolah dirinya merasa hanya sendirian di tempat ini. Raut kesedihan pun tersirat dari wajahnya yang sayu. Azkia yang saat itu sedang duduk di sampingnya hanya mampu menghela napas panjang. Wanita di sampingnya itu seakan tidak sadar jika dirinya sedang diamati. "Mbak Kia keluar sama Mas Danu aja nggak apa-apa. Biar Bi Asri yang jagain Bunda." Ucapan Bi Asri mampu membuat Azkia mengalihkan pandangan pada lelaki yang saat ini sedang di sampingnya. Azkia Adisty. Gadis yang bersekolah di SMA Rajawali tahun kedua itu, memiliki kehidupan kelam yang mampu merenggut kebahagian yang seharusnya bisa ia dapatkan di masa putih abu-abu. Namun, hidup berdua dengan bundanya yang kini mengidap penyakit skizofrenia, membuat Azkia sering menjauh dengan kehidupan luar. Ia memilih menghabiskan waktu luang bersama bundanya walaupun selalu tak mendapat respon apa-apa. Skizofrenia menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, hingga perubahan perilaku. Penderitanya juga tak bisa membedakan mana kenyataan dan yang ada di pikirannya. "Kita nggak jadi keluar nggak apa-apa kok, Ki. Kita temenin Bunda." Lelaki yang bernama Danu itu menyahut. Danu adalah pacar Azkia. Sudah dua tahun mereka memilih untuk menjalin hubungan itu, setelah sepuluh tahun bersahabat karena pertemanan orang tua mereka. Pada awalnya Azkia menolak, karena ia tak lagi mempercayai cinta setelah ayahnya pergi meninggalkan bundanya begitu saja. Namun, setelah sepuluh tahun mengenal Danu dan saling berbagi luka, Azkia berani mengambil keputusan ini. Di sekolah, mungkin Azkia hanya dekat dengan Meli—teman sebangkunya. Sedangkan Danu, berbeda sekolah dengannya. Danu berulang kali menginginkan untuk pindah sekolah, tetapi hanya berakhir sebagai sebuah rencana karena Azkia selalu melarangnya. Hingga kini, Azkia tidak bisa mengerti takdir Tuhan. Ia merasa jika dirinya selama ini terlalu beruntung bisa memiliki Danu di hidupnya dan menjadi kekasihnya. Dengan segala prestasi dan tampangnya yang tidak bisa diragukan lagi, Danu bisa saja mendapatkan perempuan cantik primadona di sekolahnya. Namun, alih-alih memilih perempuan lain, lelaki itu justru memilih Azkia yang memiliki kehidupan yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari hidupnya. Hidup Azkia benar-benar gelap dan membosankan. Azkia tersenyum. "Kita di rumah aja ya, Nu." Danu membalasnya dengan senyuman. Ia tak masalah, jika mereka tak seperti sepasang kekasih yang selalu jalan bersama dan duduk manis di kafe atau taman. Baginya, memandangi Azkia yang melihat bundanya dengan tatapan tulus, membuat Danu menghapus semua lelah yang dirasakan seharian. Azkia adalah suatu keajaiban yang dikirimkan Tuhan kepadanya. Danu mencintai gadis itu lebih dari apa pun. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, kini bunda Azkia sudah memejamkan mata di tempat tidurnya. Wajah yang kini terhias garis-garis halus di sekitar matanya, tak membuat wanita itu kehilangan wajah cantiknya. Azkia tersenyum, sembari menarik selimut hingga menutupi tubuh bundanya. "Selamat tidur Bunda. Mimpi indah," ucap Azkia lembut seraya mencium kening bundanya. Setelahnya, ia membalikkan badan dan kembali menemui Danu yang saat ini masih di ruang tamu. Lelaki itu selalu setia menemaninya selama ini. Danu seolah menjadi setitik warna di antara hidup Azkia yang murni hitam pekat. Jika saja tidak ada Danu di hidup Azkia, gadis itu tidak yakin ia mampu melewati harinya dengan baik. "Mau pulang sekarang atau nanti?" tanya Azkia saat ia sudah sampai di depan Danu. Matanya jatuh pada bola mata Danu yang menatapnya lekat. "Nanti dulu boleh, ya? Setengah jam aja." Danu menatap mata Azkia dengan lembut. Yang ditatap bisa merasakan jernihnya netra itu. Seutas senyum tertaut di wajahnya yang teduh. Seperti terhipnotis, Azkia sontak menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kini mereka berjalan beriringan menuju teras rumah Azkia dan duduk di kursi panjang yang ada di sana. Tanaman monstera yang hidup di rumah ini sangat mendominasi, seolah mencerminkan sang pemilik rumah adalah orang sibuk. "Kenapa bintangnya malam ini sedikit, ya?" tanya Danu sambil menerawang karpet hitam ciptaan Tuhan yang dihiasi dengan beberapa titik putih bernama bintang. Kegiatan ini sudah sering mereka lakukan, namun tak pernah ada rasa bosan melakukannya lagi. "Sembunyi mungkin," jawab Azkia asal. Gadis itu juga ikut memandangi gelapnya langit malam. Mata Danu mengarah pada gadis yang duduk di sampingnya. Ia melihat kilatan bintang telah berpindah ke matanya, seolah mata Azkia tercipta dari ribuan bintang. "Cantik." Danu berkata pelan nyaris tak terdengar, namun gadis di sampingnya itu menoleh dan menatapnya dalam. Bukannya Danu tersentak, ia justru melanjutkan ucapannya, "Nama kamu aja yang artinya cahaya matahari, tapi menurutku kamu itu bintang." Azkia mengerjap setelah mendengar penuturan dari Danu. Ia tertegun dan terkunci sorot teduh mata milik lelaki itu. Azkia merasakan sesuatu berdesir di dadanya. Danu terkekeh melihat wajah Azkia yang menggemaskan saat sedang termangu seperti itu. Ia mengarahkan pandangannya kembali pada langit malam. "Itu pasti bintang sirius," kata Danus sambil mengacungkan telunjuknya pada bintang yang tampak terang dibanding yang lainnya. "Mungkin." "Bintang juga mengalami fase kaya manusia. Lahir, dewasa, hingga pada akhirnya akan mati." Danu terus mendongeng dengan tatapan mata yang tak lepas dari langit. Azkia terdiam, lalu berkata, "Bintang juga bisa mati?" "Di dunia ini yang abadi hanya Tuhan, Kia. Semua akan kembali kepada-Nya." Danu menghela napas dan kembali berkata, "Kadang orang baik dipanggil lebih dulu sama Tuhan, kayak bintang sirius yang akan mati lebih dahulu." "Kematian pasti akan berujung kehilangan. Udah ya, jangan dibahas lagi." Mata Azkia seolah berkata jika ia tidak sedang baik-baik saja saat mengobrol hal yang menjadi rahasia Tuhan. Bibir Danu membuat sebuah lengkungan yang membuat rasa takut Azkia hilang begitu saja. Lelaki itu melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah tiga puluh menit. Aku pulang, ya?" pamit Danu seraya bangkit dari duduknya dan diikuti oleh Azkia. “Beneran pulang?” Azkia tidak tahu kenapa ia berkata seperti itu. Gadis itu seolah ingin berlama-lama dengan Danu malam hari ini. “Udah malam, Ki. Nggak enak ganggu kamu kalau kamu mau istirahat. Habis aku pulang, kamu tidur ya?” Dengan berat, Azkia mengangguk. Tatapan teduh dari Danu nyatanya mampu membuat Azkia menganggukkan kepala. Ucapan tersebut layaknya sebuah magis bagi Azkia. Sebenarnya ia masih belum sepenuhnya setuju, tetapi Azkia merasa ia tidak boleh egois. Hidup Danu tidak akan selalu terpacu untuk terus bersamanya. Azkia tidak boleh egois. Setelahnya, Azkia dan Danu mengayunkan langkah menuju halaman rumah. Dahi Azkia berkerut tatkala matanya menangkap keberadaan mobil hitam milik Danu yang terpakir di halaman rumahnya. Azkia baru menyadari jika malam ini Danu datang ke rumahnya naik mobil, dan berbeda dari sebelumnya yang selalu naik motor. "Kamu naik mobil?" tanya Azkia setengah terkejut. Walaupun sebenarnya mereka juga tidak jarang keluar dengan naik mobil, tetapi Azkia mengira malam ini Danu akan menaiki motot alih-alih mobilnya. Danu mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Tadi rencananya mau bawa kamu jalan-jalan. Angin malam 'kan bikin sakit, makanya aku bawa mobil," kata Danu dengan tersenyum, karena tak ingin gadis itu merasa bersalah karenanya. Namun, ekspresi Danu tersebut belum mampu membuat Azkia merasa tenang. Gadis itu menunduk. Ia merasa bersalah telah merepotkan Danu sejauh ini. "Maaf ya, gara-gara—" Ucapan Azkia terhenti karena tiba-tiba Danu mengarahkan telunjuknya ke bibir gadis itu. "Udah. Nggak apa-apa." Ia mendongak dan kembali menatap mata Danu, detik selanjutnya lelaki itu mencium keningnya dengan hangat. Sehangat matahari yang tiba-tiba bersinar terang kala hujan di siang hari. "Aku pulang, ya. Mimpi indah." Ucapan Danu mengakhiri pertemuan mereka kali ini, lelaki itu beralih membuka pintu mobilnya. Saat tubuh Danu sudah duduk nyaman di kursi kemudi, mobil itu melaju dan meninggalkan rasa bahagia yang dirasakan oleh gadis yang masih berdiri di tempatnya. Bulan sabit di wajah Azkia terbit begitu saja, saat mendapatkan perlakuan manis dari seorang Danu Atmajaya. Ia harap kebersamaan ini bukanlah sementara, karena hilangnya sosok Danu di hidupnya akan membuat Azkia ikut kehilangan semangatnya dalam menjalani hidup. ***** Tubuh Azkia kini sudah terbenam di balik selimut, namun matanya tak kunjung terlelap. Ia masih menantikan chat dari Danu yang biasanya akan dikirimkan setelah lelaki itu sampai di rumahnya. Namun, hampir satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda nama Danu yang melintas di ponselnya. Jarak antara rumah mereka tak begitu jauh dan biasanya ditempuh sekitar dua puluh menit saja. Azkia terlihat gusar, saat mengingat waktu yang sudah larut dan tak mungkin kemacetan jalan akan membuat Danu terlambat sampai ke rumah. Azkia menghela napas berat, saat ia berniat meraih benda pipih di nakas untuk menghubungi Danu. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel Azkia. Bukan dari Danu, tapi Tante Rika—Mama Danu. "Halo Tante." "Kia ...." Suara isakan di seberang sana mampu Azkia dengar dengan jelas. Ia mulai memiliki firasat yang buruk. Walau detak jantungnya sudah sulit dikontrol, Azkia berusaha bertanya, "Tante Rika kenapa?" "Kia ... Danu kecelakaan." Ucapan Tante Rika membuat hati Azkia hancur begitu saja. Hingga pada akhirnya, kepingan itu semakin berantakan saat Tante Rika melanjutkan ucapannya. "Dia sekarang kritis ...." Dadanya terasa sesak. Sebisa mungkin Azkia meraup oksigen di sekitarnya, tetapi kenyataan yang baru saja ia dengar membuatnya kehilangan kendali. Tatapan Azkia kosong, ponselnya entah sudah jatuh ke mana. Ia menangis walau dengan susah payah mencoba untuk tetap tegar. Danu .... ***** Setelah beberapa menit yang lalu Azkia berpamitan pada Bi Asri dan menitipkan bundanya, di sinilah dia sekarang. Ia berjalan dengan langkah cepat di koridor menuju ruang gawat darurat. Tak peduli seberapa bencinya dia dengan aroma rumah sakit yang sangat menusuk hidungnya. Langkah Azkia terhenti dan berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah setelah berlari ke sini. Matanya menangkap mama dan papa Danu yang sedang berpelukan erat sambil terisak. Semua ini nyata. Ini bukan mimpi. Dengan langkah kaki yang berat, Azkia mendekati mereka berdua. Kehadiran Azkia mampu membuat Rika mendongak sekilas. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Kia ... Danu ... maafin dia ya." Azkia terpaku di tempat. Ia menunduk. Air matanya menetes begitu saja. Perlahan, Azkia memasuki ruangan yang dinginnya mampu menusuk tulang dan membuat ngilu hingga ke hatinya. Dilihatnya sosok laki-laki yang terbaring di brankar rumah sakit. Seseorang yang baru beberapa jam lalu ia tatap matanya. Kini, mata teduh itu sudah terpejam. Azkia melirik ke alat pendeteksi kehidupan yang kini sudah menampilkan garis lurus dan diikuti suara nyaring yang mampu memekakkan telinga. Mulai detik ini, Azkia membenci alat dan suara itu. Danu telah melewati masa kritisnya. Kini ia sudah tenang bertemu Tuhan bersama ribuan bintang sirius yang keindahannya tak lagi diragukan. "Danu ...." Hanya kata itu yang mampu Azkia ucapkan saat melihat wajah pucat pasi lelaki di depannya. Digenggamnya tangan yang kini sudah tak mampu menghangatkan seperti dulu, karena tangan itu menjadi sedingin angin malam yang membuat sesak. Air mata semakin memberontak melalui sudut matanya. Pun, dengan rekaman memori Azkia bersama lelaki yang terbaring tersebut masih terekam dengan jelas di kepalanya. Azkia masih tidak menyangka jika Danu sekarang hanya sebuah jiwa yang tidak bernapas dan tidak akan bisa menemaninya lagi seperti sebelumnya. "Apa ini yang kamu maksud tak ada yang abadi di dunia? Aku percaya jika kamu orang baik, makanya Tuhan pengen cepet ketemu kamu." Azkia menggigit bibirnya yang bergetar. Air mata terus jatuh membasahi pipinya. Dengan susah, Azkia kembali berkata, "Apa kamu udah ketemu bintang sirius? Sampaikan salamku ya. Aku ingin menitipkan orang yang paling berharga di hidupku. Kamu Danu." Tangis Azkia semakin menjadi hingga membuat isakan kecil. "Maaf Danu ... malam ini aku nggak mimpi indah. Mungkin, ucapan itu lebih cocok ditujukan padamu karena kini kamu telah bebas dari peliknya hidup." "Makasih banyak karena kamu mau menemaniku sejauh ini." Hingga detik ini, air mata Azkia turun semakin deras. Tak ada jawaban dari lelaki yang tangannya ia genggam, dan kini Azkia menyadari jika Danu telah pergi untuk selama-lamanya. Gadis itu meraung penuh emosi. Danu telah pergi meninggalkannya, membiarkan dirinya berjuang sendiri di dunia yang penuh dengan permasalahan ini. "Tidur yang nyenyak ya, Danu. Semoga mimpi indah. Aku sayang kamu." ***** Tanpa disadari, tepat di depan pintu, seseorang tengah mengamati dan mendengarkan semua perkataan Azkia. Mata tajamnya menatap sosok Azkia di dalam ruangan putih itu degan tatapan yang tidak bisa diartikan. Sejenak, d**a lelaki itu bergemuruh, seolah merasakan jika gadis itu perlu ia jaga setelah ini. Ia tersenyum penuh makna. "Makasih Nu, karena lo udah jaga orang yang gue sayang. Kini giliran gue jadi penjaga orang yang sangat berharga di hidup lo. Gadis itu." *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD