Chapter 2

1691 Words
"SERIUS LO ?" pekikku membelalak. Viona mengangguk mantap dan kini aku menggigit ujung jariku. Ternyata oh ternyata, lelaki yang sudah dua kali bertabrakan denganku itu adalah mahasiswa terpenting di kampus ini. Bukan hanya seniorku, tapi dia adalah ketua senat yang mempunyai peranan penting di kampus ini. Astaga! Aku refleks memukul jidat berkali-kali. Kenapa aku bisa seceroboh tadi? Dan kenapa harus dengan dia aku selalu bertabrakan. Pertama, di taman fakultas, kedua di kantin. Lalu setelah itu, apa akan terus bertabrakan? Jangan sampai Ya Tuhan.... "Mendingan lo minta maaf deh sama dia. Lagian lo juga kan yang salah, gak hati-hati banget," usul Viona memberi saran. Untuk sesaat, aku mendesah gusar. Berjalan mondar-mandir tanpa tahu harus melakukan apa. Sebenarnya gampang sih, aku tinggal menemui dia dan meminta maaf karena aku telah mengotori bajunya. Tapi, kesalahan itu juga bukan dari aku sepenuhnya kan? Pikirkan saja! Sebelumnya juga dia sudah membuat keningku sakit karena menghantam rahangnya. Dan dia juga gak meminta maaf tuh, malah langsung pergi seenaknya. Menurutku sih semua itu impas, kesakitan di keningku terbayar sudah oleh noda kotor di kaus putihnya. "Enggak!" tandasku memutuskan. "Gue gak mau minta maaf sama dia." "Lah? Kok gitu sih. Bukannya udah jelas ya kalo elo yang salah," balas Viona mengotot. Lalu aku mendecak. "Iya sih, gue emang salah karena udah kotorin bajunya. Tapi dia juga salah tau! Lo gak tau aja kalo tadi pagi pun dia bikin kening gue nyaris benjol. Udah ah, pokoknya ... bagi gue semua itu impas!" uraiku penuh perhitungan. Membuat Viona lantas mendengkus pasrah hingga kepalanya menggeleng-geleng dengan sedikit decakan di lidahnya. Sementara itu, aku spontan mendelik sebal karena Viona malah seolah membela dia daripada aku. Padahal kan aku ini sahabatnya, seharusnya Viona berada di pihakku dong! "Hai, Girls!" Tiba-tiba, seseorang muncul sambil menyapa. Tanpa perlu repot menengok ke sumber suara, aku bahkan bisa menebak siapa pemilik suara itu. "Hai juga, Meo!" Kali ini, Viona telah membalas sapaannya dengan suaranya yang sok manis. Lihatlah! Sesaat lagi, drama lebay bin alay akan segera dimulai pemirsa! "Hadeuuh. Mulai deh dramanya!" cetusku mengembuskan napas. Sontak, si Meo alias Romeo pun beralih menatap ke arahku. "Yey, ada apa gerangan? Sirik ya? Makanya, cari pacar sono!" lontar cowok itu menyebalkan. Tapi sori, aku bahkan gak terpengaruh tuh sama ucapan songong bin menyindirnya. "Gue gak salah denger ya? Lo suruh gue buat cari pacar? Helo! Emangnya kalian juga udah pacaran? Kalo masih terjebak di fase friendzone mah duduk manis aja. Baik lo atau pun gue, kayaknya kedudukan kita seimbang!" tukasku mengingatkan. Tapi rupanya, ucapan penuh sindirku ini sama sekali tak berhasil menohok hatinya. Sebab di detik berikutnya, kulihat Romeo malah menjentikkan jemarinya. "Nah itu lo tau! Berhubung kedudukan kita itu sama, jadi seharusnya gak ada masalah dong sama lo! Lagian, Vio juga gak keberatan tuh. Kenapa jadi lo yang sewot sih," balasnya semakin banyak tingkah. Lama-lama aku hanya akan darah tinggi jika tidak segera pergi dari hadapan cowok ajaib itu. Lalu untuk sesaat, aku pun membuang napas pendek yang dilanjutkan dengan mengerling malas. Memang susah jika harus adu mulut sama cowok semacam dia. Untuk itu, lebih baik aku pulang duluan saja daripada aku benar-benar terserang oleh penyakit darah tinggi yang menahun. *** Sudah hampir lima belas menit aku duduk di bangku halte yang cukup sepi. Entah kenapa, siang ini tidak ada satu taksi pun yang melintas ke hadapanku. Kelamaan menunggu, aku jadi menguap terus di balik tangan yang langsung menutup mulutku. Rasa bosan sudah hinggap saat menunggu kendaraan yang lewat tapi tak kunjung muncul. Aku pun memutuskan untuk bangkit dari posisi dudukku semula, melongokkan kepala ke arah kanan mencari taksi yang sungguh-sungguh belum menampakkan wujudnya sama sekali. Menyebalkan! Hingga di menit selanjutnya, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan berwarna putih mengkilap pun telah berhenti tepat di depanku. Tunggu! Kira-kira di dalam mobil itu ada siapa ya? Aku mencoba untuk menunggu sampai si pemilik mobilnya menampakkan diri. Hingga kaca mobil sebelah kiri pun telah diturunkan terbuka dan seseorang telah melongokkan kepalanya seraya menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. "Kak Dirly," gumamku ikut tersenyum. "Belum pulang?" tegurnya setengah berseru. Aku lantas menggeleng lesu. "Belum nih, lagi nungguin taksi, tapi gak ada yang lewat satu pun dari tadi." "Ya udah, bareng aja sama gue!" Dalam sekejap, aku tercenung ketika sebuah ajakan ia lontarkan untukku. Bareng sama Kak Dirly? Apa itu gak terasa aneh. Maksudku, kami kan baru berkenalan tadi pagi. Tapi, masa harus udah ngerepotin kakak seniorku aja sih. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba saja Dirly sudah berdiri di sampingku yang sukses mengejutkan. Apa? Kapan dia keluar dari mobil? "Ayo! Biasanya sih kalau jam segini taksi udah jarang banget ada yang lewat. Daripada lo cuma ditemenin sama suara nyamuk yang berkeliaran, mending bareng gue aja," ucapnya memberitahu. Jujur, aku merasa tidak sungkan. Namun saat belum sempat aku membalas ucapannya, tangan Dirly justru malah sudah lebih dulu menuntunku ke arah pintu mobil sebelah kiri. Ya, dia bahkan membukakan pintunya untukku dan dengan lembut aku dipersilakan masuk ke dalam mobilnya. "Lo bisa pasang sabuk pengamannya sendiri kan?" tegur Dirly setelah dia duduk di kursi kemudi. Mengangguk, aku pun menyahut. "Bisa kok, Kak." Lalu dengan sigap, aku pun segera memasang sabuk pengamannya membelenggu sebagian tubuhku. "Lo tinggal sebutin arahnya aja ya. Gak usah takut, gue gak bakalan culik lo, kok!" cetusnya terkekeh. Melirik kaget, aku pun menemukan senyuman manisnya lagi di sela ia yang mulai melajukan kemudinya. "Oh ya, lusa ada acara perkemahan gitu kan. Lo ikut?" tanyanya setelah mobilnya melaju dengan santai. "Kayaknya sih ikut. Kalo Kak Dirly?" lirikku sambil balik bertanya. "Jelas ikut. Secara, gue kan salah satu panitia acaranya," angguknya sekaligus memberitahu. Kontan, mulutku pun membulat diiringi dengan anggukan kecil di kepalaku. Ya, lusa memang diadakan sejenis perkemahan yang akan berlangsung selama tiga hari. Tentu saja aku ikut, soalnya, itu pasti akan menjadi momen yang menyenangkan buatku pribadi. Sejak di bangku sekolah pun aku sering mengikuti acara sejenis itu. Kupikir saat masuk dunia perkuliahan, acara sejenis camping itu tidak akan ada, tapi nyatanya, acara itu masih dibudayakan oleh pihak kampus. Dan mengetahui hal itu, aku pun merasa bersemangat untuk selalu mengikutinya. "Eh iya, by the way ... lo jangan panggil gue kakak ya. Berasa formal banget kedengarannya," ujar cowok itu menyarankan. "Loh, terus gue harus manggil apa dong?" tatapku bingung. Jujur, Dirly itu kan kakak seniorku. Masa aku harus memanggil namanya tanpa embel-embel 'Kak' sih? "Lo cukup panggil gue Dirly aja. Biar terkesan akrab. Lagipula, gue ngerasa aneh justru kalo dipanggil Kak," terangnya setengah meringis. Lalu, mau tak mau aku pun harus memenuhi permintaannya. Setidaknya, aku pun berhak menghargai keputusannya bukan? "Oke deh. Kalo gitu, mulai sekarang gue panggil lo nama aja ya, Dir...." tukasku setuju. Melihat kesediaanku, Dirly pun kembali tersenyum sembari mengacungkan jempol pertanda ia suka. *** Aku melambaikan tangan mengiringi laju mobilnya Dirly yang sudah pergi setelah mengantarku tepat ke depan pagar rumahku dengan selamat. Tak lupa, aku tentu saja mengucapkan terima kasih padanya. Ah, ya, selama di perjalanan kami banyak bertukar cerita dengannya. Rasanya, Dirly sangat cocok untuk kujadikan sebagai teman dekat. Selain ia yang bisa membuatku langsung nyaman, dia pun sangat nyambung jika kuajak berbincang. Maka, sudah tentu jika aku akan menjadikannya sebagai teman lelakiku selain dari dia yang adalah kakak tingkatku. Kemudian, setelah mobil Dirly sudah tak lagi bisa kulihat, aku pun lantas melangkahkan kedua kakiku menuju pintu rumah setelah sebelumnya melewati pekarangan. Lalu, sesampainya di dalam, aku pun mendapati mama yang sedang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. "Assalamualaikum!" seruku riang. Sekaligus memberitahu mama bahwa putrinya ini sudah pulang. Kulihat, Mama berhenti sejenak sambil melayangkan pandangannya ke arahku yang sudah melangkah mendekatinya. "Walaikumsalam!" jawab mama sekilas, lalu beliau pun kembali sibuk berbincang dengan teleponnya lagi. Aku menghela napas sambil mengempaskan bokongku ke atas sofa panjang yang juga diduduki oleh mama di sebelahnya. Kuputar kepalaku bergantian arah, meregangkan otot-otot leher dan tengkuk yang terasa kaku serta begitu pegal. Selepas itu, mama pun akhirnya selesai bertelepon-teleponan ria. "Gimana kuliah hari pertamanya, Sayang?" tanya mama sembari mengelus kepalaku. "Lumayan seru, Ma. Dosennya juga baik baik. Temen-temennya juga lumayan asik." Meskipun ada satu orang yang nyebelin sih... lanjutku dalam hati, lalu menyenderkan kepala ke bahu mama. "Syukurlah," ujar mama mengelus kepalaku lagi lembut. "Oh ya, Sayang. Besok pagi Mama akan pergi dinas keluar kota," lanjut mama menginfokan. "Ha? Berapa lama?" tanyaku mendongak. "Mungkin sekitar dua atau sampai tiga bulanan lah. Sebenarnya, Mama tidak ingin meninggalkan kamu, tapi apa boleh buat, Mama harus konsisten juga kan sama profesi Mama," tukasnya melenguh panjang seraya membelai rambutku. Aku tentu mengangguk paham. Aku pun sangat mengerti bagaimana profesi mama. Walaupun sebenarnya aku agak sedih sih karena harus ditinggal sama mama pergi dinas dalam waktu yang cukup lama. Tapi mau gak mau aku harus tetap menerimanya kan? Sebab, profesi mama yang seorang dokter handal itu sangat dibutuhkan oleh semua orang yang berada di sana. Aku menghela napas panjang dengan posisi tetap dalam senderan kepala di bahu mama. Tidak apa-apa lah kalau mama mau pergi dinas dan meninggalkan aku, toh mama pergi untuk kembali. Lagipula, aku sayang sama mama dan aku gak bakalan halang-halangi mama untuk menuntaskan pekerjaannya. Oh ya, kebetulan sejak duduk di bangku kelas 1 SMA aku memang sudah ditinggal papa untuk selamanya. Maka sejak kepergian papa, aku pun hanya tinggal berdua dengan mama. Sementara dua kakakku, mereka terpisah jauh karena harus ikut tinggal dengan suami-suaminya. "Tapi kamu tenang aja, Sayang. Mama gak akan biarin kamu sendirian kok selama Mama gak di sini," sambung mama setelah beberapa menit saling diam. "Maksud Mama?" tatapku lagi setengah mendongak. Memandang wajah mama yang masih cantik meski usianya sudah tak lagi muda. Mama tersenyum lembut dan tak lepas membelai rambutku yang dikuncir kuda. "Tadi Mama udah minta tolong sama sahabat Mama. Katanya, dia setuju kok kalau kamu Mama titipin di rumahnya selama Mama pergi dinas," celetuk mama begitu tenang. Sementara itu, aku malah spontan tertegun demi mencerna setiap kata yang baru saja terucap dari bibir mama. "Ma-maksudnya?" Kini, kepalaku sudah menegak menjauhi bahu mama. "Iya. Jadi selama Mama dinas, kamu tinggal sama sahabat Mama. Tante Netha itu loh,Sayang. Kamu pasti bakalan betah selama tinggal di sana," kata mama begitu antusias. Tapi aku, aku justru malah sedang menganga lebar saking tak percayanya dengan ucapan yang sudah mama lontarkan dengan sangat nyata. Oh tidak! Sebegitu posesifnyakah mamaku sampai harus menitipkan aku di rumah sahabatnya??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD