Chapter 8

1067 Words
"Ish, lo mau bawa gue ke mana lagi sih? Mau seret gue ke hutan lagi, ha? Terus mau berlagak jadi superhero lagi padahal lo sendiri yang menjadi penyebab gue pingsan di tengah hutan kayak kemarin malam? Udah deh, gak usah sok pencitraan! Masih untung gue gak buka mulut soal lo yang kejamnya gak ketulungan. Ninggalin anak gadis sendirian di tengah hutan, terus bikin dia pingsan, dan ujung-ujungnya, elo juga yang sok jadi pahlawan. Cih, menjijikan!" cerocosku panjang lebar di tengah si kakak tingkat yang terus menarikku agar ikut bersamanya. “Udah ngomongnya?” lontarnya tanpa menoleh. Membiarkanku terus mengikuti dirinya dengan langkah terseok-seok akibat tarikannya tersebut. "Kalo udah, gue mau sekalian kasih tau lo soal ini. Gue gak berpikiran buat jadi pahlawan atau apapun yang udah lo bilang kayak tadi. Tapi posisinya, gue adalah ketua senat dan lo salah satu mahasiswi baru yang harus gue ayomi. Jadi alasan gue yang berubah pikiran buat nolongin lo, itu semata-mata karena lo merupakan tanggung jawab gue juga. Misalkan lo ilang apalagi sampe diterkam sama macan kelaparan, yang ada nanti gue juga yang disalahin sama pihak kampus. Apalagi lo adalah anak dari temen nyokap gue. Itu adalah alasan kedua kenapa gue sampe berubah pikiran dan balik lagi buat bawa lo ke tenda. Jadi, jangan berpikir bahwa gue ini care atau apalah itu namanya. Sama sekali gue gak ada rasa peduli sama cewek kepo sejenis lo ini. Masih untung gue bawa lo balik, kalo enggak, udah jadi santapan hewan liar lo di tengah hutan sana," balasnya berkata panjang lebar. Tapi tentu saja aku tidak mau repot-repot mendengarkannya. "Sampe sini lo paham?" tanyanya sedikit menoleh. Kemudian, aku pun memutar bola mata jengah seraya menjawab. "GAK! Dan gak akan pernah paham sama cara berpikir lo yang sok kritis itu. Udah deh, kalo mau jahat itu gak usah nanggung. Toh otak gue udah kesugesti kalo lo jahat. Jadi, ngapain juga sekarang lo belagak baik sama gue, ha?" balasku tak mau kalah. Lalu tanpa kuduga, si kakak tingkat pun menghentikan langkahnya yang membuatku ikut berhenti juga sampai tak sengaja menabrak punggungnya. "Aw!" pekikku. Buru-buru, aku pun meraba bagian keningku yang sempat beradu dengan punggung tegap nan kerasnya. Hingga ketika aku yang masih sibuk mengusap kening, tahu-tahu si kakak tingkat pun sudah membalikan tubuhnya menghadap ke arahku. Bukan hanya itu, bahkan kini dia pun sudah berdiri menjulang tepat di hadapanku. "Jadi, lo mau gue jahatin, hem?" ujarnya bersidekap. Menyorotkan pandangan semi laser yang seketika membuat bulu kudukku meremang tak keruan. Menurunkan tangan yang semula kugunakan untuk mengusap kening, kini aku pun sedikit mendongak demi menatap wajah datar yang terpampang di hadapanku. Oh tidak! Kenapa rasanya mendadak segelisah ini. Untuk sesaat, aku pun mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Hingga pada saat aku tak menemukan satu orang pun yang berkeliaran di sekitar sini, barulah aku sadar bahwa sejak tadi saat aku masih sibuk berbicara panjang lebar, kakak tingkat menyebalkan ini justru sudah berhasil membawaku pergi menjauh dari khalayak umum. Glek. Dalam sekejap, aku pun menelan ludah kasar. Kembali menatap si kakak tingkat dan mengerjapkan mata diiringi dengan gerakan mulutku yang seketika meringis. "Kenapa? Ada yang salah? Kenapa lo mendadak ketakutan kayak gitu, hem? Baru sadar ya kalo lo udah gue bawa ke tempat sepi?" cetusnya memberondong. Menimbulkan rasa takut yang kembali menyerang dalam kondisi segenting ini. "Te-terus, l-lo mau apa? Jangan macem-macem ya! Atau gue bakal--" "Bakal apa? Bakal teriak? Teriak aja! Gak akan ada yang bisa denger suara cempreng lo itu, kok. Yang ada, suara lo nanti ilang kalo kebanyakan teriak di tengah hutan kayak gini. Gak percaya? Hayo teriak! Tapi gue gak jamin kalo misalkan lo mendadak gagu pas udah puas teriak-teriak sesuka hati nanti," tuturnya menggedikan bahu. Lagi-lagi, ia pun telah berhasil membuatku terjebak di tengah situasi yang sangatlah tidak menguntungkan. "Sebenernya mau lo apa sih? Kenapa lo bawa gue ke tempat sepi mulu? Kenapa juga lo harus terus gangguin gue kayak gini. Kita itu dua orang asing yang gak perlu saling sapa. Walau kenyataannya lo sama gue tinggal di satu atap yang sama, tapi gak semestinya lo berlagak sok akrab kayak gini. Lagian, apa untungnya sih lo ganggu-gangguin mulu hidup gue? Belum puas ya lo bikin gue nangis kejer di tengah hutan kemarin malam?" tatapku menyalang. Entah kenapa, bawaannya aku selalu saja ingin nyerocos. Apa mungkin karena cowok di hadapanku ini bersifat menyebalkan ya? Itu sebabnya aku mendadak aktif nyerocos. Toh selama ini pun aku paling gak bisa diam kalo ngadepin orang yang menyebalkan sejenis ini. Dalam beberapa saat, tidak ada sahutan lagi dari cowok menyebalkan itu. Kulihat, dia pun hanya berdiri tegap dengan pandangan lurus ke arah belakangku. Tentu diamnya itu menumbuhkan rasa heran di benakku. Maksudku, kenapa dia mendadak jadi diam? Bukannya tadi dia sok ngancem-ngancem? Terus, kenapa sekarang dia jadi sok bisu gitu. Dasar cowok aneh! Rasa-rasanya, ingin kutendang saja tulang kering dari kaki si kakak tingkat ini. Sayang, aku bahkan tidak seberani itu. Apalagi suasananya sepi banget kayak gini. Kalo aku sampe berani kayak gitu, udah deh, alamat aku dibalas lebih-lebih nanti sama dia. Di saat tidak ada lagi kata yang terucap baik dariku pribadi maupun dari cowok itu, tiba-tiba saja si kakak tingkat ini meraih bahuku dan sedikit menekannya tegas. Aku menatapnya aneh, tapi dia masih tetap mengarahkan pandangannya lurus ke belakangku. Entah ada siapa di titik yang ia lihat saat ini. Tapi di sela itu, tanpa diduga tubuhku pun ditariknya hingga kini aku berada di dalam pelukannya yang begitu erat. Dalam sekejap, tubuhku mematung bak manekin yang tak bernyawa. Membeku layaknya bongkahan es di dalam frezer. Dan tertegun bengong di saat seharusnya aku ini berusaha memberontak untuk menjauhkan tubuh jangkungnya dari jangkauanku. "Lo hanya perlu diem. Jangan protes, berontak apalagi sampe dorong gue biar pelukan gue ini terlepas. Misalkan lo berani ngelakuin salah satu dari yang gue sebut barusan, siap-siap aja lo gue tinggalin lagi di tengah hutan sendirian. Mau?" bisiknya mengancam. Membuatku lantas memelotot dan meskipun ingin mendorong tubuhnya, aku bahkan gak bisa melakukannya. Tau kan alasannya apa? Ya, aku gak mau kalo ditinggal lagi sendirian di tengah hutan kayak gini. Meskipun keadaannya masih pagi, tapi hutan adalah hutan. Akan selalu ada hewan liar kelaparan yang berkeliaran mencari mangsa untuk disantapnya. Lalu daripada aku harus jatuh ke lubang yang sama, maka mungkin aku bisa bertahan untuk beberapa saat dalam posisi dipeluk seperti ini. Ayolah! Kenapa juga jantungku harus berdebar tak keruan seperti ini? Akan terasa masuk diakal jika aku memejamkan kedua mataku saja sampai cowok ini benar-benar menyudahi pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD