Eps 1. Merekam Kegiatannya

1390 Words
Warning! Yang dibawah umur menyingkir jauh! ** “Kok sepi, kemana penghuni rumahnya?” tanya seorang cowok berambut sedikit panjang yang di kuncir. Lalu helaian rambut pendeknya tergerai sembarang, membuat pesonanya semakin terlihat. “Nyonya dan Tuan baru saja pergi beberapa menit yang lalu, Den,” jawab seorang pembantu berusia kurang lebih 38 tahunan. Tak lagi bertanya atau pun menatap pembantunya, cowok yang memiliki fisik sempurna itu melenggang masuk begitu saja. Blefine Arkala Nugraha, lelaki tampan dengan tinggi 187cm dan berkulit putih. Sekarang dia menjadi seorang mahasiswa di universitas yang paling dekat dengan rumah tinggalnya. Anak pertama dan cucu satu-satunya dari keluarga Nugraha. Dia adalah pewaris tunggal perusahaan pangan yang sekarang menduduki prestasi di dunia bisnis. Hanya saja, papanya—Bayu Mahardika—masih sangat mampu untuk mengelola perusahaan. Jadi Levine memilih untuk fokus pada kuliah dan menikmati masa mudanya. Begitu sampai di kamarnya yang ada di lantai dua, Levine langsung melemparkan tas ransel ke meja. Segera dia melangkah masuk ke kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak tadi. Usai lega di kamar mandi, ia menjatuhkan p****t ke tepi tempat tidur. Merogoh saku celana dan mengambil ponselnya di sana. “Anjing, kosong!” umpatnya saat melihat baterai hapenya sudah berwarna merah di pojok atas. Levine beranjak, mengambil tas dan mencari carger di sana. Namun, yang ia cari tak ada. Kembali membanting tas saat ingat jika Glase tadi meminjam carger miliknya. Sudah bisa di pastikan bocah itu lupa mengembalikan. Dan sekarang carger itu masih menancap di ruang lap komputer. Levin melangkah keluar dari kamar, melangkah menuju ke pintu kamar yang ada di depan pintu kamarnya. Menghela nafas panjang, menatap pintu itu cukup malas. “Pinjem carger!” teriaknya di depan pintu, tanpa basa-basi. Hening, tak ada tanggapan dari dalam. Bahkan di dalam tampak sepi. Menit berlalu, karna tak ada respon, Levine mengerutkan kening. Di garasi tadi ada mobil warna kuning. Itu berarti Sahla ada di rumah. “Wooi!” serunya lagi, tapi tetap tak mendapatkan respon. Cck, mungkin saja adik tirinya ini sedang tak ada di kamar. Begitu pikirnya, dan tanpa pikir panjang, Levine memutar handle pintu, mendorong pintu bercat hitam itu lalu melangkah masuk ke dalam kamar adiknya. Langsung menuju ke meja kecil yang ada di samping ranjang dan mengambil carger yang tergeletak di sana. “Aaah … eeghh ….” Kakinya berhenti saat mendengar suara desahan di kamar ini. Levine celikukan, mencari sumber suara berada. Desahan yang terdengar begitu manja, membuat otak m***m Levine langsung terbayang pada kegiatan orang dewasa pada umumnya. “Aaahh ….” Desahan itu kembali terdengar, dan sekarang dia yakin jika itu berasal dari dalam kamar mandi yang ada di dalam ruangan ini. Carger yang sudah berada di genggaman itu kembali ia letakkan di atas meja. Dengan langkah pelan ia mendekati pintu kamar mandi, menempelkan telinganya di sana. “Eeggh ….” Sunggingan senyum muncul di bibir Levine ketika menyadari pintu di depannya ini tak di kunci. Dengan begitu hati-hati ia mendorong pintu. Kedua mata langsung melotot melihat pemandangan gratis di depannya. “Aahh ….” Sahla Jina Latikah, gadis kelas dua belas SMA yang baru saja selesai ujian akhir sekolah dan sudah diterima di universitas yang sama dengan Levine. Gadis yang biasa di sapa dengan nama Lala ini duduk di kolset dengan tubuh polos tanpa memakai kain apa pun. Kedua matanya terpejam dengan satu tangan memainkan barang berharga di tengah selangkangannya. Sedangkan tangan lainnya sedang meremas salah satu tonjolan di dadanya yang masih alami, kenyal dan padat. Levine lelaki normal yang tentu memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Dia langsung memegangi miliknya yang mengeliat di dalam celana jeans panjang. walau dia begitu membenci anak dari ibu tirinya ini, tetap saja, tubuh polos Lala yang begitu alami dan belum pernah tersentuh ini mampu membuat birahinya muncul tak tau tempat. Levine menyalakan ponsel yang memang sejak tadi ia pegang. Mengarahkan kamera untuk merekam kejadian di depannya ini. Baterai yang masih 11%, pasti juga bisa mendapatkan vidio gratis ini hingga tuntas, kan? “Eeggh … Aahh … aahhh ….” Memang belum menyadari keberadaan Levine, malah Lala semakin membuka lebar kedua kakinya, menunjukkan satu jarinya yang berputar di inti tubuhnya. Levine menggelengkan kepala, ia makin tak bisa menahan nafsunya yang ingin ikut menyentuh barang itu. Bersih, hanya ada sedikit bulu di sana. Sungguh sangat menarik untuk ia gagahi. “Aahh ….” Lala mulai meliuk, mengangkat pantatnya sedikit, pertanda jika ia hampir sampai pada puncaknya. “Lala ….” Dengan begitu sengaja Levine memanggil adiknya. Membuat kedua mata Lala langsung terbuka dan menarik tangannya dari bawah sana. Kedua mata melotot melihat ada orang lain di kamar mandi pribadinya. Terlebih orang itu adalah Levine, kakak tiri yang begitu membencinya. Kedua kaki naik di atas kloset, lalu tangannya memeluk kedua kaki yang menekuk, menutupi tubuh telanjangnya. Wajahnya memerah, dia sangat malu dan tentu takut. “Ka—kakak ngapain di sini? Kenapa masuk ke kamarku!” marahnya dengan kepala menunduk, tak mau menatap Levine yang masih mengarahkan kamera padanya. Levine makin tersenyum penuh kemenangan. “Lagi ngerekam cewek SMA yang mainin vaginanya.” Jawabnya dengan kekehan. “Ayo terusin, ini nanti bakalan gue posting ke chanel youtube gue. Pasti yang nonton bakalan jutaan ribu. Cckk, sayangnya lo nggak pakai seragam, malah bugil. Lebih asik kalo seragam lo keliatan, jadi mereka percaya kalo lo anak SMA, bukan anak SMP.” Lala makin mengeratkan pelukan di kedua kaki. Sesuatu yang tadi hampir sampai pada puncak itu … lenyap sudah. Ancaman Levine nggak bisa ia abaikan, karena sudah beberapa kali kakak tirinya ini menindasnya, dan itu memang bukan hanya sekedar ancaman. Lala tau sebenci apa Levine padanya. “Jangan, kak, aku mohon … jangan ….” Pintanya mengiba, mengangkat kepala menatap Levine penuh permohonan. Levine menyeringai, menghentikan vidio dan otomatis rekamannya tadi langsung tersimpan di galeri. “Kenapa gue harus turuti mau lo? Lo bukan siapa-siapa gue.” Lala menggigit bibir. “Kak ….” “Vidionya udah bagus, nggak perlu ada yang diedit. Bisa langsung gue posting sekarang.” Kembali ia mengusap ponsel, lalu …. Siyaal!! Saat dibutuhkan, baterai hapenya benar-benar habis. Sekarang benda ajaib itu sudah menghitam tak bernyawa. “Kak, aku mohon jangan ….” Gadis yang sebenarnya sangat cantik dengan rambut panjang berwarna asli hitam itu meregek dengan kedua mata yang di penuhi kaca-kaca. “Pliis, kak, jangan di posting ….” Mohonnya memelas. Levine makin tersenyum puas. “Tapi gue nggak kasihan sama lo, anak jalang.” Menatap Lala dengan rasa benci yang kembali hadir. Baru dua minggu mamanya meninggal, papanya sudah memutuskan untuk menikahi Vera; mamanya Lala. Luka karena di tinggal pergi mamanya semakin mendalam saat tau ternyata papanya sudah menjalin hubungan semenjak mamanya sakit-sakitan dan tak bisa memberikan nafkah batin untuk sang papa. Bukankah dia juga b******k?! Lala benar-benar menangis, dia langsung turun dari kloset. Bersimpuh, memegang celana jeans yang Levine pakai. “Kak, aku bakalan lakuin apa pun, asal kakak nggak posting vidio itu. Aku akan pergi dari rumah ini seperti yang kakak mau. Aku akan pergi, kak, tapi jangan sebar vidionya. Aku mohon, kak ….” Levine menarik nafas dalam, lalu membuangnya dengan penuh kemenangan. Ya, memang seharusnya Lala begini, karena ini yang dia mau. “Yakin mau lakukan apa pun?” Lala mendongak, menatap kakak tirinya yang memang wajahnya begitu tampan. Ragu, tapi kepalanya memberi anggukan. Cowok ganteng itu mengangguk dengan begitu senang. “Oke, kalo lo udah menyetujui, nikmati derita lo mulai detik ini.” menatap tajam pada wajah adiknya yang masih bersimpuh di depan kakinya. Levine menyimpan ponselnya di saku celana, menunduk, mengangkat kedua lengan Lala, membuat gadis itu berdiri dihadapannya. Menuntun Lala keluar dari kamar mandi, lalu melangkah menuju pintu kamar yang masih terbuka. Hari sudah petang, pasti Bik Puji sudah tidur. Mama tiri dan papanya, sepertinya mereka belum pulang. Misal pun sudah pulang, mereka tak akan naik ke lantai dua, karena kamarnya ada di bawah. “Masuk kamar gue.” Mendorong tubuh telanjang itu keluar dari kamar. Mengarahkan kepala ke pintu kamarnya yang terbuka di depan sana. “Aku … aku pakai baju dulu, kak,” ucap Lala takut-takut. Lengannya langsung di seret Levine untuk mengikutinya. Kasar ia mendorong Lala untuk masuk ke kamarnya. Lala panik saat melihat Levine mengunci pintu, lalu melepaskan jaket dan melemparnya di atas meja. Dia celikukan, menggigit bibir dan melangkah mundur. Sampai kedua kaki terpentok di tepi ranjang, lalu terduduk di sana. “Kak ….” “Gue penasaran sama rasa usus lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD