Langit terlihat cerah hari ini, 3 mata pelajaran pertama telah selesai. Sudah tiga minggu dia menjalani kuliahnya di Marche University ini, tiga minggu yang benar-benar terasa penuh tantangan, dengan kemunculan iblis beberapa kali dan aktifitas di kampus.
“Aku pergi dulu ya Rie..sampai nanti..” ucap Aeneas memecah lamunanku, dia memelukku dan pergi dengan teman-teman satu klub sepakbolanya. Aku membereskan buku-bukuku dan berjalan keluar dari ruang kelas dan mencari jalan memutar untuk menuju ke Perpustakaan, aku ingat ucapan Ricko kemarin untuk menjauh dari tempat-tempat sepi sehingga di saat sendirian seperti ini sebaiknya aku mencari jalan yang memudahkan hidup dan menjauhkanku dari serangan para iblis-iblis itu.
“Kau mau kemana?” aku menoleh ke arah suara bariton itu, Ricko sudah berdiri di sampingku dan mengimbangi langkahku.
“Perpustakaan” sahutku singkat
“Mengerjakan tugas?” tanyanya
“Tidak.. mengisi waktu saja karena Aeneas harus kumpul dengan teman-temannya dan akan menjemputku setelahnya”
“Aku akan mengantarmu pulang, jadi kau tidak perlu ke sana..”
“Tidak..terima kasih”
“Apa kau dengar aku memberikan pilihan?”
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya “Apa maksudmu?”
Ricko membalas tatapanku dengan mata coklat tajamnya “Seingatku aku tidak memberikan pilihan apakah kau mau diantar olehku atau tidak..” jawabnya
“Lalu? Maksudmu aku tidak berhak menolak?”
“Apa kau lupa apa yang aku katakan beberapa waktu lalu?”
Aku menghembuskan nafas berusaha menahan emosiku dalam menghadapinya “Kalau yang kau maksud adalah ‘Harus mendengarkan perintahmu dan jangan pernah bergerak tanpa seizinmu’ ..ya..tentu aku ingat kalimat indah yang kau sampaikan itu..” sindirku.
“Bagus…Ayo, aku memarkirkan mobilku di sana..”
“Apa kau tadi dengar aku setuju pergi denganmu?”
Ricko menoleh ke arahku dan menatapku tajam dengan mata coklat gelapnya “Nona Banes… jangan menguji kesabaranku.. jadi selama aku masih bersikap sopan, sebaiknya kau menuruti kata-kataku. Jika kau tak mau melangkahkan kakimu mengikutiku, maka kau memberikan alasan untukku agar menggendongmu sampai memasuki mobilku”
Aku mendengus kesal, Apasih?! Sikap arogannya sangat menyebalkan sekali! Dan sialnya Aku tahu dia mampu melakukan apapun kehendaknya, dan setelah kejadian akhir-akhir ini, aku sedang tidak memiliki energi berlebih untuk bertengkar dengannya.
Aku berjalan mendahuluinya menuju tempat parkir.
“Hi Rie..” sapa Ferdinand ketika aku sampai di tempat parkir, mobil Ferdinand terparkir tepat di sebelah mobil Ricko. Lelaki berambut pirang itu selalu mengukir keramahan diwajahnya.
“Hi Dinand..” sapaku, sambil melempar senyum ke arahnya.
“Jadi kalian akan pulang bersama..aku tak tahu kalian sedekat itu..” ucap Dinand sambil melirik ke arah Ricko.
“Tidak..aku tidak dekat dengannya, dan aku pulang bersamanya karena dipaksa olehnya..” jawabku tanpa memperdulikan Ricko akan mendengarnya atau tidak.
“Caramu bicara, seolah-olah aku sedang menculikmu saja..” ucap Ricko tenang sambil membukakan pintu mobil untukku masuk.
Aku mengabaikannya dan masuk ke dalam mobilnya.
“Bye Dinand…” ucap Ricko
“Bye Rick..bye Rie..” ucap Dinand
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku ke arah Dinand.
Sudah hampir sekitar 10 menit kami berdua bersama dalam mobil yang melaju menuju Downing street, dan tidak satu pun dari kami ingin saling berbicara. 5 menit kemudian aku benar-benar tidak tahan berdiam diri.
"Jadi kau benar-benar akan membuatku menempel denganmu?" tanyaku berusaha tenang dan menjaga intonasi suara.
"Hmm.."
"Hmm? maksudnya iya atau tidak atau kau saat ini sedang mempertimbangkan?"
"Aku tidak melihat pilihan lain saat ini.."
"Maksudmu suka atau tidak kau 'terpaksa' membiarkan aku menempel padamu?"
"Mungkin.."
Aku mendengus kesal.
Apasih?! Jawabannya anomali sekali!
"Dengar ya..aku paling tidak suka merepotkan orang lain..apapun kondisiku, jadi aku tidak mau memaksamu untuk selalu ada di dekatku..well...bisa dibilang, aku membebaskanmu!"
Ricko mengerem mobilnya, menunggu lampu merah berganti menjadi hijau..masih 60 detik.
Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, "Aku tidak butuh pembebasan yang kau sebutkan.. secara teknis aku bukan budakmu.. kalau kau bisa berhenti terus memanggilku, apakah menurutmu aku mau berurusan denganmu?"
Isssh..sumpah ya.. lelaki bernama Richard Willem ini sungguh menyebalkan!!!
Aku mengalihkan pandangannya ke jendela luar, dia benar-benar membutuhkan ketenangan.
===
"Jadi sekarang kau dengan Willem?" tanya Aeneas ketika kami berada di kelas menunggu professor datang. Aku paham kenapa Aeneas bertanya seperti itu, kemarin ketika dia menanyakan posisiku dimana agar dia bisa menjemputku, aku bilang sudah berada di rumah karena diantar oleh Ricko. Lalu tadi pagi Ricko menunggu kami datang di parkiran dan menghampiriku dengan sikap arogannya untuk bertanya apa jadwalku hari ini, apakah akan bersama dengan Aeneas sepanjang waktu atau tidak.
"Jika maksudmu adalah hubungan khusus…maka jawabannya tidak.." jawabku santai.
"Apa kau pikir aku tidak mengenalmu? Aku tidak pernah melihatmu seterbuka itu dengan laki-laki selain aku. Kemarin kau mau diantar pulang olehnya. Lalu ketika dia menghampirimu tadi pagi kau menerima dengan biasa saja tanpa merasa aneh karena tiba-tiba sosok seperti Richard Willem mendekatimu. Seolah-olah memang sudah seharusnya dia seperti itu."
"Hubungan kami tidak seperti itu"
"Lalu seperti apa?"
Aku menggelengkan kepala tidak ingin membahas lebih lanjut "Apakah kau sudah mengerjakan tugas dari professor Mark?"
"Seriously?!" Jawab Aeneas membulatkan mata, menyangsikan sikapku yang mengalihkan pembicaraan.
"Hi…kau Rienetta kan?" Aku menoleh ke arah lelaki yang menghampiri kami.
Aku mengangguk.
Lelaki itu terlihat senang lalu menarik kursi untuk duduk di meja aku dan Aeneas.
"Aku Samuel Beldiq.. aku membaca pengumuman pembagian kelompok belajar dari professor Mark, kita satu kelompok"
Aku coba mengingat maksudnya "Ah..iya..hi Sam, senang berkenalan denganmu.."
"Aku pun senang berkenalan dengan mu..mmm..jadi kapan kau ada waktu untuk belajar kelompok?" ucap Samuel.
"Kau bisa melakukannya besok Rie, kebetulan aku ada latihan sepakbola tambahan. Jadi kau bisa menungguku sambil mengerjakan tugas professor Mark.." Aeneas memberikan ide.
"Hmm..ya tentu..kita bisa lakukan besok Sam.." ucapku.
Samuel tersenyum "Setuju..aku pun senggang besok..jadi sampai bertemu besok.."
===
"Rie..Ririe…"
Aku membuka mataku, lagi-lagi aku bermimpi buruk dan bajuku kembali basah dengan keringat.
"Ricko…bagaimana kau bisa berada di sini?" Aku mengerjapkan mata dan bergerak bangun untuk duduk, di luar langit masih gelap. Aku melirik jam kecil di samping tempat tidurku, masih jam 1 pagi rupanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ricko
Aku mengangguk "hmm.. mimpi itu lagi.." lirihku "Kenapa kau di sini? Aah..maaf aku pasti memanggilmu lagi.." lanjutku.
"Kau mau aku ambilkan minum?" ucap Ricko.
Aku menggeleng "kembalilah..aku sudah tidak apa-apa"
Ricko bergerak ke arah sudut kamarku dan duduk di sofa "Tidurlah.. aku akan menunggumu di sini sampai fajar tiba" ucapnya.
Di situasi normal aku pasti sudah ketakutan bercampur marah jika ada lelaki yang memasuki kamarku ketika aku sedang tidur. Namun entah kenapa, aku mungkin saat ini sedang tidak dalam kondisi normal dan cenderung merasa nyaman ada Ricko yang memilih untuk tetap menemaniku "Terima kasih" ucapku dan kembali merebahkan diri, sambil tak melepaskan tatapanku ke arah mata coklat gelapnya. Lalu memejamkan mata dan tertidur kembali.
===
Aku merapihkan buku-buku pelajaran yang sudah selesai digunakan dan memasukan notes serta laptopku ke dalam tas. Aku dan Samuel telah menyelesaikan tugas dari professor di perpustakaan.
"Sepertinya kau akan masih harus menunggu Aeneas selesai latihan beberapa waktu lagi ya, Rie?" tanya Samuel.
Aku mengangguk "yup.. aku bisa tetap menunggunya di sini, kau bisa duluan saja Sam.. thanks untuk waktu belajarnya." jawab
"Mmm..apakah kau mau pergi denganku untuk minum coffe?...mm setelahnya aku bisa mengantarmu pulang.." ucap Samuel
Aku diam tak menjawab, aku tidak bisa cepat nyaman dengan orang yang baru aku kenal. Aku memikirkan jawaban yang tepat yang bisa kuberikan untuk menolak ajakannya.
"Apakah kau khawatir Aeneas akan cemburu?" tanya Samuel ragu-ragu, dia berusaha menebak sikap diamku.
Aku tersenyum "Aku dan Aeneas adalah teman sejak kecil.. jadi hubungan kami lebih seperti saudara laki-laki dan perempuan. Dia tidak akan seperti itu.."
Wajah Samuel terlihat lega "Syukurlah..mm..jadi bagaimana?"
Aku menatap keluar jendela, diluar langit mulai bersinar redup, cahaya matahari mulai mengarah ke spektrum jingga menandakan hari sudah mulai sore. Teringat ucapan Ricko untuk tidak sendiri dan berada di tempat sepi apalagi di waktu langit akan menuju gelap. "Ok..ayo Sam.." ucapku sambil beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu keluar perpustakaan. Samuel mengikutiku dari belakang.
Tak berapa lama kami pun sampai di suatu cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari perpustakaan. Setelah memesan minuman kami duduk di salah satu meja dekat jendela dan mengobrol, well lebih tepatnya mendengar Samuel bercerita, lelaki ini sepertinya adalah tipe extrovert yang mudah untuk menceritakan segala hal kepada siapa saja.
===
POV. Richard Willem
"Bukankah itu Ririe?" ucap Dinand.
Sejak kedua orang itu masuk, sebenarnya aku sudah melihatnya. Wanita yang selalu memanggilnya kapanpun iblis menghampirinya itu, saat ini sedang bersama dengan seorang lelaki yang nampaknya terlihat senang bisa pergi berdua dengannya.
"Itu Samuel Beldiq kan..apakah mereka berdua sedang kencan.." lanjut Dinand.
"Mungkin..ayo Dinand..aku harus meminjam beberapa buku dari perpustakaan.." Ricko beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar caffe menuju perpustakaan. Dinand pun berdiri dan berjalan mengikutinya.
Langit mulai gelap ketika akhirnya Ricko memutuskan buku mana yang mau dia pinjam dan pergi ke counter pencatatan buku. Saat sedang mengantri tiba-tiba dadanya terasa sakit dan bayangan Rienetta Banes langsung muncul di kepalanya "Argh..Ririe.. aku pergi dulu Dinand.." ucapnya menyerahkan bukunya kepada Dinand. Sahabatnya itu pun seolah sudah tahu maksud kepergiannya karena sudah beberapa kali hal ini terjadi sejak Rienetta Banes menginjakkan kakinya di Vierra Town. Aku berlari kencang keluar perpustakaan, setelah merasa yakin tak ada yang melihat, aku memijakkan kaki kuat dan melompat tinggi menuju kegelapan langit.
===
POV. Rienetta Banes
Rienetta menatap sosok tinggi hitam yang tak jauh berdiri berhadapan dengannya. Makhluk itu menatapnya dengan mata merah dan menggerakan kepala kekiri kekanan seolah-olah menebak pergerakan mangsanya. Kakinya tidak bisa digerakkan, ketakutan yang mencekam di dalam dirinya seolah-olah memerangkapnya. Kali ini dia bisa mengerti yang Ferdinand Latov katanya. Jika diperhatikan memang iblis itu memiliki bentuk yang berbeda-beda, kali ini entah iblis apa namanya namun mampu membuatnya berdiri ketakutan dan mengeluarkan energi kegelapan yang sangat pekat hingga dia seolah-olah dapat merasakan energi pekat itu masuk ke setiap sumsum tulangnya.
“Lari!” teriak Ricko yang tiba-tiba datang entah dari mana dan menarik tangannya untuk ikut berlari bersamanya. Iblis itu pun mengejar mereka.
“Apakah kau memang ingin di santap olehnya?” ucap Ricko yang terlihat kesal karena melihatku tadi hanya berdiri melihat kepada si iblis itu.
“Dia sangat menakutkan..” jawabku
Ricko menghentikan langkahnya menyelubungiku dengan sinar biru yang dapat dia keluarkan dengan mengibaskan telapak tangannya lalu dia berbalik, mengeluarkan pedangnya dari gerakan tangannya dan berlari kencang ke arah iblis yang juga berlari ke arahnya. Mereka terlibat baku hantam, sementara aku hanya bisa terdiam melihat rangkaian gerakan pertempuran yang mereka lakukan. Akhirnya Ricko berhasil menebas iblis itu, setelah mengeluarkan darah hitam, iblis itu terbakar dan menjadi abu. Ricko menggerakan tangannya, pedang berpendar biru itu pun lenyap bersamaan dengan sinar biru yang tadi menyelubungiku. Aku mulai dapat menggerakan kakiku dan berjalan ke arahnya.
“Kau baik-baik saja?’ tanyaku kepadanya.
Ricko beralih menatapku dari memandangi abu sang iblis tadi “Aku seharusnya yang bertanya… kenapa kau sendirian? Mana teman kencanmu tadi?”
Teman kencan?! “Maksudmu Samuel?”
“Siapapun itu aku tidak peduli..” ketusnya
Aku mulai bisa merasakan kembali kekesalanku setiap menghadapi laki-laki yang satu ini.
“Aku pergi meninggalkannya..” sahutku
Ricko mengerutkan keningnya
“Dia pikir mungkin aku semudah itu bisa dia ajak minum kopi dan mengobrol santai sampai berani memenggang tanganku! Aku mengentak tangannya dan pergi meninggalkannya..” lanjutku, masih kesal mengingat perlakuan Samuel tadi. Setelah ngobrol selama hampir 1 jam lelaki itu meletakan telapak tangannya di atas tangannya dan menggenggamnya. Sampai saat ini rasa jijik masih bisa dia rasakan ketika tangan Samuel meremat tangannya.
“Hmm..semoga menjadi pelajaran untukmu agar tidak mudah didekati laki-laki lain..” jawab Ricko santai.
Aku menatapnya kesal “Kau pikir aku tidak bisa menjaga diriku sendiri, kalau bukan karena aku ingat permintaanmu untuk tidak sendirian di waktu gelap, kau pikir aku akan mau pergi dengannya hanya sekedar untuk minum kopi!”
Ricko menatapku “Dimana Aeneas?”
“Dia ada jadwal latihan sepakbola tambahan..”
“Lalu kenapa kau tidak menghubungiku?”
“Apakah kau lupa betapa kesalnya kau jika harus berurusan denganku?”
“Bukankah aku sudah mengijinkanmu untuk menempel padaku?”
Aku menatapnya kesal, benar-benar tidak percaya ada lelaki arogan seperti dia “Antarkan aku pulang!” jawabku kesal dan pergi berjalan menuju tempat parkir. Ricko diam tak menjawab tapi dia bisa merasakan Ricko mengikutinya dari belakang.
===
Rienetta terbangun dari tidurnya, sudah satu bulan sejak Ricko selalu menemaninya sampai tertidur dan sudah menghilang ketika dia terbangun. Anehnya mimpi itu tidak pernah datang lagi sejak itu. Ririe turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi untuk bersiap diri. "Rienetta, Aeneas sudah datang menjemput.." ucap Bibi Sophie dari balik pintu kamarnya.
"Baik bi…" jawabnya. Bisa dibilang sebulan terakhir ini adalah kehidupan normalnya selama dia di Vierra. Tidur dengan baik dan tanpa gangguan iblis baik di kehidupan nyata maupun mimpi.
Tak berapa lama kemudian aku dan Aeneas sudah berada di dalam perjalanan menuju kampus. Seperti biasa aku mendengarkan celoteh Aeneas sepanjang perjalanan, setelah sekitar 30 menit kami pun memasuki gerbang kampus.
"Kau ingat janjimu hari ini kan?" tanya Aeneas. Aku diam mencoba mengingat apa yang dimaksud oleh Aeneas. "Ayolah Rie…kau lupa? Kau janji padaku akan menemaniku ke acara makan malam kelompok Visual Art…"
"Oo..iya tentu..mm..jadi malam ini ya?" jawabku enggan.
"Yup… dan kurasa penggemarmu sudah menunggumu di sana.."
Aku mengalihkan pandangan ke arah pandangan Aeneas, Ricko sedang berdiri bersandar di samping Wrangler hitamnya, menungguku seperti biasa untuk menyesuaikan jadwal kami. Lebih tepatnya aku akan memberikan informasi kegiatanku hari ini, dan kapan aku akan sendiri karena Aeneas berlatih sepakbola atau hangout dengan teman satu klubnya itu, sementara Lita pergi kencan dengan kekasihnya.
"Dia bukan penggemarku.." jelasku kepada Aeneas
"Lalu kau akan sebut dia sebagai apa? Hampir setiap pagi dia menunggumu di parkiran dan akan bersedia mengantarmu pulang ketika aku harus latihan sepakbola atau pergi dengan teman-temanku? Dia benar-benar menempel denganmu.. kau yakin dia tidak menyukaimu?" sahut Aeneas sambil memarkirkan mobil tepat di sebelah mobil Ricko.
Aku tersenyum, sebenarnya akulah yang menempel kepadanya, Entah kenapa, kapanpun itu aku harap dia selalu di sisiku, walau terkadang kesalku suka datang jika lelaki itu mulai mengeluarkan sikap arogan dan masa bodohnya. Dengan begitu pun sudah bisa membuatku merasa tenang dan damai.
Aku membereskan tasku bersiap untuk turun "hubungan kami tidak bisa dijelaskan seperti itu.." jawabku.
"Well..kau selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku membahasnya.." Aeneas berhenti berbicara tepat ketika Ricko membukakan pintu mobil penumpang agar aku bisa turun.
"Hi.." sapaku.
"Hi.." Ricko menyapaku sebelum dia memberikan kode sapaan kepada Aeneas.
"Hi Rick…aku akan menunggumu di kelas Rie.." ucap Aeneas lalu dia langsung pergi setelah mengunci mobilnya. Dia selalu memberiku ruang untuk berbicara dengan Ricko.
"Jadi apa kegiatanmu hari ini?" tanya Ricko sambil berjalan menemaniku menuju kelas.
"Mmm..aku ada 3 kelas hari ini..sorenya aku akan ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas-tugasku dan malamnya aku akan keluar dengan Aeneas dan teman-temannya dari kelas visual Art untuk makan malam"
"Makan malam? Haruskah? Apa kau tidak bisa menolak saja?" tanya Ricko.
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya, selama ini aku selalu menurut saja perintahnya yang melarang aku pergi kemanapun selain ke kampus dan kembali pulang ke rumah. "Apakah kau ingin aku jadi biarawati dan tidak punya kehidupan sosial?"
"Bukan itu maksudku.. kau tahu bahwa akan semakin berbahaya jika kau berada diluar sana pada malam hari?" Jelasnya.
"Iya aku tahu..tapi selama aku berhati-hati bukankah akan baik-baik saja.. selama sebulan ini aku selalu mengikuti perintahmu.."
"Aku melakukannya karena aku tahu ini terbaik untuk kondisimu saat ini.."
"Tapi bukan berarti aku sama sekali tidak bisa punya social life kan?" tantangku lagi
Ricko sepertinya menyerah dengan keinginanku "Aku tidak bisa menemanimu malam ini, karena aku sudah ada janji dengan Dinand dan Ben.. tapi aku akan datang menemanimu setelahnya.."
"Ok..aku akan bersama Aeneas, jadi kau tak perlu khawatir. .sampai jumpa di rumahku kalau begitu.." jawabku berusaha santai, aku akan baik-baik saja. Kalau iblis itu datang, Ricko pasti akan selalu berada di sana menjagaku, pikirku berusaha menenangkan diri.
Aku bisa merasakan sikap Ricko yang terlihat ragu, namun tak lama kemudian Ricko mengeluar kalung dari kantong celananya dan memakaikannya kepadaku tanpa memperdulikan wajahku yang kebingungan "pakai ini.. setidaknya ini akan melindungimu dari ketertarikan para iblis terhadapmu ketika aku tidak ada.."
"Wow.. kalung cantik ini benar-benar sehebat itu? " sahutku sambil memperhatikan liontin biru berukir yang indah.
"Ini kalung keluarga Willem.." ucapnya
"Eumm.. apakah tidak apa-apa aku mengenakan ini? Tidakkah ini terlalu berharga bagi keluargamu?"
"Tak apa..selama aku terlibat denganmu.. kau bisa menggunakannya.. liontin kalung ini terbuat dari air embun suci hutan Arkadia.." Ricko melirik ke arahku kemudian melanjutkan ucapannya "Selain iblis tidak akan bisa mendekatimu.. kau pun dilarang berdekatan dengan laki-laki lain yang bukan dari keluarga Willem.."
"Hah? Lalu bagaimana dengan Aeneas nanti?" tanyaku bingung
Ricko menahan senyum "Selama tidak ada kontak fisik denganmu, dia akan baik-baik saja.." jawabnya. Dia ini bercanda atau bagaimana? Tapi mengingat sikapnya selama satu bulan ini rasanya tidak mungkin dia bercanda denganku.
“Really?” tanyaku sambil mengerutkan dahi
Ricko menatapku “well..kalau kau ingin mencoba kekuatan kalung ini silahkan saja..” ucapnya
Aku menghembuskan nafasku “Kau tahukan..Aeneas selalu menyapaku dengan memelukku..”
“Lalu?” tanyanya cuek
“Aku bahkan belum menceritakan tentang apa yang aku alami bulan lalu, dan kalau aku cerita tentang hal itu dengannya, maka aku harus menceritakan tentang dirimu juga. Lalu menurutmu dia akan berkata apa jika aku tiba-tiba menghindarinya?”
“Carilah cara…lagipula…persahabatan laki-laki dan perempuan, apa kau masih percaya hal seperti itu?” ucap Ricko seolah-olah dia menyangsikan hubungan persahabatan aku dengan Aeneas.
“Aku tak tahu kau hidup di jaman apa, jadi mungkin aneh bagimu kalau aku dan Aeneas benar-benar bersahabat..”
Ricko diam tak menjawab. Aku tak suka caranya yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak ada hubungan lain selain hubungan antar kekasih.
Ricko mengantarku sampai depan kelas, seperti biasa semua mata memandang kami. Tentu saja, siapa yang tidak akan memperhatikan kami. Ricko adalah salah satu lelaki populer di kampus ini berjalan mengantarkan aku, seorang gadis yang berpenampilan biasa saja. Namun selama Ricko baik-baik saja dan tidak terganggu dengan tatapan yang dilemparkan orang itu, maka aku pun akan berusaha untuk tidak memperdulikan tatapan mereka.
“Jangan kemalaman dan langsung segera kembali pulang ketika acaranya selesai.” Ricko kembali mengingatkanku, dulu aku akan sangat tersinggung dan kesal jika mendengarkan nada suara arogannya. Tapi sekarang aku sudah mulai terbiasa, Aku mengangguk “Baiklah…bye…” sahutku. “Bye…” Ricko langsung berbalik dan pergi.
“Benarkan kataku…mana mungkin dia akan seprotektif itu denganmu kalau dia tidak punya perasaan terhadapmu?” jawab Aeneas sambil membuat gerakan ingin melampirkan tangannya ke bahuku. Secepat mungkin aku menghindarinya, teringat dengan ucapan Ricko tadi. Aku tidak ingin Aeneas terluka, Aeneas menatapnya bingung “Apakah aku bau?” tanyanya.
Aku tertawa “Tidak, hanya saja..mmm..apakah kau sudah menyelesaikan tugas dari professor?” sahutku sambil berjalan dan duduk tepat di samping Lita.
“Hi Rie…” sapanya
“Hi Lita..” jawabku. Saat ini aku belum bisa bercerita dengan mereka tentang apa yang aku alami selama satu setengah bulan ini. Aku tak ingin ada tatapan iba atau khawatir berlebih dari mereka, satu saja sudah cukup membuatku bingung dengan sikap yang terlalu protektif dan kekhawatiran yang berlebihan. Bisa jadi Ricko seperti itu mungkin karena apa yang akan terjadi denganku maka akan berimpact juga kepada kehidupannya. Tidak mungkin dia akan mengabaikan panggilanku karena memang sudah menjadi tugasnya untuk memburu sang kegelapan. Jadi pernyataan Aeneas tadi sama sekali tidak valid, aku rasa Ricko sama halnya denganku tidak akan berpikir macam-macam tentang kedekatan kami. Rcko bukan tipikal lelaki yang banyak bicara, terkadang dia hanya akan ada disampingku dan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Misalkan saja ketika menemaniku di perpustakaan ketika Aeneas atau Lita tidak ada, dia hanya akan duduk diam di sampingku sambil membaca buku dan hanya akan berbicara seperlunya saja. Yang jelas selama aku nyaman dengannya dan dia pun terlihat sama, maka aku tidak akan meminta lebih.. kupikir begitu.. ya kurasa begitu. Hhh…apa ini… ucapan Aeneas benar-benar membuatku berpikir macam-macam. Ayo Rienetta Banes, sadarlah dan tenangkan dirimu! Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan!