Prolog III ; 'The Third Start Line'

1529 Words
Tangan milik Iva terulur menyentuh puncak kepala si bungsu dengan lembut, seulas garis lengkung senyuman terlukis di kedua belah bibirnya setelah indra pendengaran miliknya mendengarkan suatu kalimat pertanyaan yang terucap dari mulutnya. Dengan gerakan  tubuh yang terasa sangat canggung karena mendapatkan perilaku tersebut membuat si bungsu hanya terdiam layaknya sebuah ukiran batu yang membentuk manusia, dia berdiri seperti patung tubuh manusia yang sering terlihat keberadaannya dalam sebuah gedung museum. Gerakan tangan kanan milik kakak tertua kedua dirinya bergerak menuju arah kanan dan kiri yang dilakukan selama berulang kali seiring kabut tembakau keluar dari belahan bibir William, sedangkan tangan kirinya dia gunakan untuk menghalangi indra penciuman milik adiknya menghirup aroma tembakau yang dapat merusak organ pernapasannya. Tembakau itu sangat merusak seseorang yang bukan pecandu aktif. Suara batuk terlontar dari bibir William ketika dirinya hendak menghisap rasa manis yang sangat candu untuk dirinya, sebuah tangan terulur dengan cepat mendorong paksa tembakau yang terapit oleh kedua belah bibirnya hingga hampir keseluruhan bagian berada di dalam mulutnya. William memperhatikan saudara tertua dari ketiga bersaudara yang dia dan pendampingnya, Iva temui beberapa jam lalu melalui kedua sudut netranya. Dapat dia lihat pergerakan saudara tertua itu mengusap lembut punggung tangan yang terkena area pembakaran tembakau miliknya. Iva menaikkan satu alisnya, menatap penuh pada William yang masih berusaha mengatur peredaan batuk yang dia alami. Tangannya menyentuh pada bagian wajah sekitar dagunya, sebelum mempertanyakan mengapa tembakau yang seharusnya hanya sebatas satu banding empat yang terapit kini hampir keseluruhan lapis tembakau berbentuk batang kecil itu masuk ke dalam mulutnya. Helaan napas panjang dilakukan oleh William, mengatur pernapasannya yang sedikit tidak teratur akibat perasaan terkejut juga kabut tembakau yang seharusnya dia keluarkan melalui mulutnya maupun kedua rongga hidungnya itu tertelan ke dalam tubuhnya akibat perilaku saudara tertua dari ketiga bersaudara itu. Bibirnya bergetar dan bergerak seiring cibiran penuh dengan kalimat yang mengutarakan nama-nama dari hewan. William menghembuskan napasnya kasar, tangannya bergerak mematikan api kecil yang masih menyala diantara sela tembakau pada ujungnya sehingga kabut masih dihasilkan oleh pembakaran tersebut walaupun hanya frekuensi kecil namun bau dari pembakaran itu masih dapat tercium oleh indra penciuman. Ya, apa yang telah terjadi sebelumnya bukanlah sepenuhnya salah saudara tertua itu, William mengakuinya dalam benaknya, karena dia merasa bahwa dirinya lah juga bersalah karena menganggap mereka tidak akan melontarkan maupun melakukan suatu hal tentang apapun perilaku yang William lakukan di dalam lift. William tidak merasa bersalah karena melakukan kecanduannya terhadap tembakau di dalam lift, bahkan dia sangat menikmatinya. Jika sistem yang terdapat pada kotak itu berfungsi karena kabut yang dihasilkan, maka dia hanya bisa terdiam saat mesin dari lift tersebut secara tiba-tiba mematikan mesinnya dan menunggu salah satu pekerjanya datang menemuinya setelah dia menekan tombol merah darurat yang tersedia dalam kotak angka. Iva memutar kedua bola netranya dengan perasaan penuh kekesalan, teman masa hidupnya itu tidak pernah berubah. Sebenarnya seorang Iva Davira bukanlah seseorang yang akan membebaskan perilaku seperti itu begitu saja, hanya saja yang keduanya hadapi saat ini merupakan tiga remaja. Tidak, dia bukan meremehkan mereka. Tentu saja, Iva tidak akan meremehkan ketiganya, dia bukanlah tipikal seseorang yang akan meremehkan kekuatan begitu saja dalam satu kali pertemuan. Saudara tertua meletakkan telapak tangannya di hadapan indra penglihatan saudara bungsu, telapak tangannya yang berukuran besar itu mampu menghalangi pandangannya. Hal itu dia lakukan ketika mengetahui bahwa Iva hendak menampar keras wajah William, itu bukanlah perilaku yang dapat dilihat secara bebas oleh saudara bungsunya yang baru saja menginjakkan kakinya di umur remaja. Saudara tertua kedua dengan sigapnya meletakkan kedua telapak tangannya pada daun telinga milik saudara bungsu, ketika mendengar suara William yang terlalu menjijikkan untuk diperdengarkan oleh telinga saudara bungsu. William hampir saja terjatuh saat Iva menghindari perilaku yang menunjukkan kasih sayang dirinya terhadap sang pujaan hati, beruntung dia dapat menopang tubuhnya sendiri, menjaga suatu keseimbangannya dengan gerakan kecil tertentu. Suara dentingan ketika pintu alumunium terbuka terdengar, mereka telah berada di lantai dimana destinasi utama mereka berada. Mereka melangkah, berjalan menuju suatu ruangan milik penguasa berada. Deritan kaki kursi terdengar saat William menggerakannya untuk memberikan akses sepasang kakinya untuk memasuki posisi ternyaman dalam duduknya. “Kalian belum mengatakan nama masing-masing.” “Kau tidak menanyakan perihal itu, hanya menanyakan nama adikku setelah mengetahui dia membantuku sesaat setelah beradu sebelumnya.” “Kau tidak mempelajari etika perkenalan?” “Sayangnya aku memegang penuh prinsip arogan.” “Kau yang tertua, sih.” Iva mengusap lembut belahan daun telinganya ketika mendengar keduanya saling membalas satu sama lain tanpa henti, sepasang netranya memperhatikan keduanya. berdehem keras dilakukan Iva dengan tujuan untuk menghentikan pembicaraan yang tidak berujung pada topik pembahasan utama. “Siapa namamu?” Dua kata yang menjadi kalimat pertanyaan terucap dari bibir William, Iva berhasil menarik keduanya dalam topik pembicaraan utama mereka. Mungkin jika diibaratkan seperti mereka berdebat dengan jalur perjalanan menuju suatu destinasi, keduanya akan saling memilih arah yang salah dan kembali pada arah utama, baiklah itu sangat melelahkan dan terlalu berlebihan untuk mengungkapkannya. Iva kembali pada kegiatan sebelumnya, memainkan ponsel pintarnya sembari memasang indra pendengarannya dan membuat rekaman ingatan pada pembicaraan hari ini di dalam pikirannya. “Dhiren Adamya Ken.” Hm, nama yang menarik perhatian. William menganggukkan kepalanya perlahan sebelum berganti menatap saudara tertua kedua mereka, “Araldo Azkio Elvin, senang bertemu dengan anda.” Ada apa dengan raut wajahnya itu? Pertanyaan yang tercipta dalam benak mereka saat melihat penyampaian emosi yang dilakukan mimik wajah William ketika mempertanyakan nama dari saudara bungsu mereka. Pemikiran buruk nan aneh dari Dhiren dan Araldo terjadi, tatapan penuh kekesalan diperlihatkan oleh mereka. Jika pertemuan ini terjadi dalam sebuah animasi mungkin mereka telah diperlihatkan aura hitam yang mengelilingi sekitar tubuh mereka. “Theo Dary Mallin, senang bertemu dengan anda, Tuan William Adhlino Gavin. Nama tengah anda cukup susah untuk diucapkan, bagiku.” “Aku memaafkan kalimat sarkasme itu karena kamu menggemaskan. Oh, bisakah panggil aku Paman? Theo, nama yang bagus.” “Oi, jangan macam-macam. Aku rasa kau tidak memiliki kelainan, ‘kan?” Dhiren menyela pembicaraan antara Theo dengan William, sementara Araldo membisikkan suatu kalimat kepada Theo mengenai William. Decakkan lidah penuh dengan kekesalan tersirat dilakukan oleh William saat mendapatkan kalimat pertanyaan tersebut. William menggerakkan tangannya terarah menuju kanan dan kiri yang dia lakukan selama beberapa kali kemudian melakukan gerakan tertentu dimana pergerakan William selalu menjadi perhatian Theo. William mengalihkan pembicaraan tentang suatu informasi yang bisa dia dapatkan mengenai pribadi masing-masing dari mereka. Dia telah mengetahui nama beserta umur mereka, namun dirinya belum mengetahui nomor sandi dari kartu hitam milik Dhiren. Hei, uang adalah segalanya bagi dunia yang penuh dengan peralatan canggih melebih perkembangan zaman sebelumnya, dan tentu saja nominal yang dibayarkan untuk kepemilikan teknologi itu sangat jauh dari kata terjangkau. Jangan lupakan dia mendapatkannya melalui Iva tentu saja, dialah yang pertama kali menemukan mereka dan mengawali pembicaraan dengan memberikan kartu Dhiren kepadanya sebagai bentuk keamanan dalam perlindungan tempat tinggal mereka. Helaan napas dilakukan oleh mereka bertiga, dengan terpaksa Dhiren memberikan enam nomor yang menjadi sandi kunci dari kartunya tersebut kepada William dengan persyaratan memberikan setengah bagian dalam nominal tersedia diberikan kepadanya, dia memerlukannya untuk pembiayaan kehidupan sehari yang melebihi cukup dan untuk biaya kelangsungan pendidikan Theo. Layaknya mengetahui pemikiran William, dia mengatakan bahwa Dhiren tidak perlu mengkhawatirkan pendidikan Theo karena mereka telah mendapatkan suatu perizinan untuk melakukan kegiatan di negara tanpa takut berurusan dengan pion keamanan negara. Araldo membulatkan kedua belah bibirnya, kemudian menggerakkannya seiring kalimat pertanyaan dia ucapkan. William mengangguk dan mengatakan kalimat “tentu saja dia harus melanjutkannya, aku tidak ingin kecerobohan mereka berakhir tidak cantik hanya karena aku melarang adik bungsumu itu melanjutkan pendidikannya, dia masih berada di bangku sekolah.” William menyandarkan punggungnya pada kursi kerja miliknya, kedua belah bibirnya bergerak, memulai memberikan informasi mengenai organisasi tersebut kepada mereka. suatu informasi tentang perundangan yang melindungi mereka sehingga mereka dapat bergerak bebas diatas kekuasaan negara walaupun mereka dapat dipekerjakan sebagai kuda hitam negara. Sepasang indra pendengaran mereka mendengarkan dengan baik setiap kata yang terucap dari kedua belah bibir William dengan otak mereka yang secara aktif merekam untuk memasukkannya ke dalam memori ingatan. Theo mengalihkan perhatiannya pada Iva yang hanya terdiam sedari pembicaraan mereka, dia hanya berperilaku memperingatkan William dan itu hanya terjadi satu kali. “Theo, apa menurutmu pekerjaan ini cocok untuk anak sepertimu?” Theo menggelengkan kepalanya, “aku rasa tidak cocok untuk remaja sepertiku, tapi mungkin Paman William memiliki pekerja yang berumur sama denganku. Seperti yang dikatakan, organisasi Paman berada dalam jangkauan perundangan negara, jadi untuk umur delapan belas tahun sepertiku kemungkinan bisa bekerja untuk organisasi ini. Itu umur yang ditetapkan oleh pemerintah untuk bekerja dibawah suatu organisasi.” “Kami telah mendengarnya.” Dhiren menyela pembicaraan dengan mengatakan kalimat tersebut membuat William mengalihkan perhatiannya, tidak hanya Dhiren yang menyelanya, Araldo juga mengikuti langkah kakaknya itu. Araldo mengatakan, “kami tidak akan mendapatkan kesempatan untuk berlari setelahnya.” Seulas lengkungan senyuman terlukis di bibir kedua petinggi organisasi tersebut, “tentu saja. Mereka yang berlari akan segera kembali, itu sudah sepantasnya.” Ah, kami telah terjebak dari awal, ya? Dhiren memasukkan salah satu tangannya pada saku celana miliknya, “walaupun kau sangat rapi dan teratur untuk menghindari penyebarluasan informasi mengenai organisasi yang telah menjadi tempat tujuan hidupmu dalam kurun waktu tertentu, tetap saja seekor bahkan sekelompok tikus bisa memasukinya. Tetapi tenang saja, kami akan membantumu membersihkannya.” Dia menekankan kata ‘kami’ dalam ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD