HD | Tinggal Bersama

1137 Words
Seorang pria dewasa berparas tampan tampak tersenyum saat melihat putri kecilnya masih terlelap di dalam tidurnya. Dia Adam, pria berstatus duda beranak satu yang memilih hidup sederhana di sebuah kota kecil bersama putrinya, Emily Holland. Sudah hampir setahun Adam dan Emily tinggal di sini. Di tempat dimana tidak ada orang lain yang mengenalnya sebagai bagian dari keluarga Holland. "Hei, Sweety. Wake up! Kita harus segera bersiap ke sekolah." bisik Adam tepat di telinga putrinya, yang membuat Emily menggeliat. Gadis kecil itu tampak mengernyit di dalam tidurnya. Lalu mulai mengusap kedua matanya yang terasa sembab. "Papa? Emily masih ngantuk." jawab gadis kecil itu dengan bibirnya yang mengerucut. Adam terkekeh gemas melihat tingkah menggemaskan putrinya. Dia mengusap surai lebat Emily dengan senyuman manis yang terpatri di bibirnya. "Em-em, tidak ada alasan, Sweety. Kamu harus segera bangun jika tidak ingin ketinggalan bus sekolah." kata Adam menggeleng. Terdengar dengusan kasar dari gadis kecil itu. Lalu kelopak matanya mulai terbuka dengan sorot kesal. "Emily benci hari senin." sungut Emily sembari menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis kecil berusia 8 tahun itu lalu berjalan menuju kamar mandi dengan langkah lebar. Jangan lupakan kedua pipinya yang cemberut. Adam terkekeh melihat tingkah putrinya tersebut. Dia lalu menatap jam dinding yang terpasang di sudut ruangan. "Masih tersisa dua puluh menit lagi." gumam duda tampan itu. Setelah merapikan kamar tidur putri kecilnya, Adam bergegas keluar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk Emily. Tak lama, Emily datang dengan penampilannya yang telah rapi. Gadis kecil itu tengah menyisir rambut panjangnya yang sedikit berantakan karena sudah tidak keramas dua hari. "Argh.. Emily kesal, Pah. Rambut Emily nggak bisa disisir." keluh gadis kecil itu. Adam hanya menimpali keluhan putrinya dengan tawa kecil. "Papa sudah katakan jika kamu harus rajin menyisir rambut kamu, Em. Atau jika tidak, Papa akan memotongnya sampai sebahu." ujar Adam sembari membalik telur dadar yang dia masak. "No, Emily nggak mau potong rambut. I really like my long hair." balas Emily dengan muka sedih. Adam mengangguk paham. Putrinya itu memang suka sekali dengan rambut panjangnya. Walaupun usianya baru 8 tahun, namun panjang rambut Emily sudah hampir mencapai pinggul. "Yeah, that's your choice." timpal Adam malas. Sepiring nasi goreng dengan telur dadar akhirnya telah tersaji di atas meja. Emily langsung melahap menu sarapannya dengan semangat. Sedangkan Adam lebih memilih untuk menyesap kopi pahit kesukaannya. Sembari menunggu Emily menyelesaikan sarapannya, Adam sibuk mengotak-atik ponselnya. "Hari ini Papa nggak perlu jemput Emily. Kak Ayana udah janji mau jemput Emily nanti." ujar Emily mengusap bibirnya dengan tissue. Adam mengangguk ringan sembari memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya dan meletakkan piring kotor ke atas wastafel. "Sebentar lagi bus jemputan datang. Sebaiknya kamu segera memakai sepatumu, Em." kata Adam yang kini tengah sibuk mencuci piring. "Ay ay, captain." balas Emily berpose hormat yang membuat Adam tertawa kecil. Gadis kecil itu lalu memasang kedua sepatunya dan merangkul tas sekolahnya. Tin..tin.. Emily bergegas keluar dari rumahnya setelah mengecup pipi sang ayah. Dia lalu dengan semangat berlari menuju bus sekolah yang telah menunggunya di depan rumah. Adam tersenyum melambai ke arah perginya Emily. Dia hendak menutup pintu rumahnya saat seorang gadis cantik berjalan menghampirinya. "Ayana.." gumam Adam dengan alis terangkat naik. Pasalnya gadis itu terlihat sangat berantakan pagi ini. Ayana merupakan gadis yang beberapa bulan lalu pernah dia tolong ketika dikejar oleh preman. Gadis itu kabur dari rumahnya karena tidak tahan dengan sikap ayahnya yang kasar. Sebenarnya Adam tidak ingin peduli dengan gadis itu. Bagaimanapun mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi setelah mendengar semua cerita gadis itu, membuat sisi lain di dalam diri Adam merasa iba. Adam akhirnya membiarkan Ayana menjadi pengasuh Emily, putrinya. "Om.." lirih gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Sebelum kemudian berlari menubruk tubuh jangkung itu. Hiks.. hiks.. Adam mencoba menerka apa yang terjadi pada gadis itu. Dia lalu membawa Ayana masuk ke dalam rumahnya. Dengan sang gadis yang tak ingin melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?" tanya Adam yang merasa bingung harus bersikap seperti apa. Gadis itu lalu mendongak sembari mengurai pelukannya. Menatap Adam dengan wajah bersimbah air mata. "Boleh Ayana tinggal di sini, Om?" tanya gadis itu dengan raut berharap. Adam tak langsung menjawab pertanyaan gadis itu. Dia harus memastikan apa yang terjadi pada Ayana. "Memangnya ada apa? Saya tidak bisa dengan mudah mengijinkan kamu tinggal di sini tanpa mengetahui alasannya." ujar Adam pilih aman. Bahu gadis itu terlihat bergetar. Dengan lelehan air mata yang kembali berderai. "Ayah mulai sering membawa pela-curnya ke rumah, Om. Ayana nggak nyaman kalau harus terus tinggal di sana." adu Ayana dengan raut sedih. Adam tampak menghela napas pelan. "Boleh ya, Om? Nanti Ayana nggak cuma jagain Emily aja. Ayana juga akan bersih-bersih rumah dan masak buat Om Adam sama Emily." gadis itu masih mencoba membujuk Adam. Adam memang mengetahui dengan jelas kisah hidup Ayana. Gadis itu lahir dari keluarga yang tidak harmonis. Kedua orang tuanya memilih untuk bercerai sejak usia Ayana baru 10 tahun. Dan gadis itu memilih untuk tinggal bersama sang ayah. Namun dua tahun belakangan ini, sikap ayahnya mulai berubah. Pria itu sering mabuk-mabukkan dan menyewa banyak ja-lang. Ayana mulai merasa tidak nyaman tinggal bersama ayahnya. "Ayah udah nggak peduli sama Ayana, Om." ujar Ayana sendu. Suaranya begitu lirih hingga membuat Adam merasa iba. Lagi-lagi pria itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Mengetahui kisah hidup Ayana, membuat dirinya bersimpati. Sehingga Adam membiarkan gadis itu bekerja mengurus putrinya tiga bulan lalu. Dan kali ini sepertinya masalah Ayana semakin runyam. Dan setelah pertimbangan yang cukup matang, dia akhirnya memperbolehkan Ayana tinggal di sini bersamanya. "Baiklah. Kamu boleh tinggal di sini. Tapi jangan coba-coba mencuri wine milik saya lagi." kata Adam memberi ijin. Ayana tampak memekik senang dan reflek memeluk duda tampan itu dengan girang. "Makasih, Om. Udah bolehin Ayana tinggal di sini." Ayana tersenyum manis. "Yeah. Tapi kamu harus ingat larangan saya. Ini semua demi kebaikan kamu, Ayana. Kamu masih sangat belia untuk meminum minuman seperti itu." kata Adam yang sempat tertegun lantas mengurai pelukan gadis itu. Ayana yang mendengar perkataan terakhir Adam seketika memberengut. "Ayana bukan anak kecil lagi, Om. Ayana udah bisa bikin anak." sungut Ayana dengan cemberut. Padahal usianya telah legal untuk bisa meminum minuman seperti itu. Adam hanya memutar bola matanya malas mendengar ucapan Ayana. Gadis itu memang sangat blak-blakkan. Dan dia harus sabar menghadapi gadis seperti Ayana. "Tetap saja kamu masih seperti anak kecil bagi saya." kata Adam dengan nada remeh. Ayana hanya mencebik dan melenggang keluar rumah untuk mengambil koper yang sempat dia bawa tadi. Adam hanya menatap gadis yang terlihat kesusahan itu dengan datar. Tanpa ingin membantunya sama sekali. "Om Adam nggak ada niatan mau bantuin Ayana?" Ayana menatap pria di depannya dengan alis terangkat. Adam hanya bersidekap d**a dan berlalu dari hadapan gadis itu. Membuat Ayana mendelik karena respon dari pria duda tersebut. "Dasar nggak peka." cibir Ayana sembari mengangkat kopernya yang terlihat sangat berat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD