Chapter 2 - Liliana Adam

1818 Words
Liliana Adam, memijit pangkal hidungnya ketika Jessica Adam—ibunya—terus mengoceh tanpa henti. Demi Tuhan, jika ia tidak ingat dengan tata krama terhadap orang tua, sudah pasti dia akan memutus sambungan teleponnya secara sepihak dari tadi. "Lily, kau masih di sana?" Lily mendesah pelan. "Yes, Mom," jawabnya lelah. Ia berdiri dari sofa, menuju ke kasur yang saat ini terlihat menggoda. Ingin sekali ia mengakhiri panggilan telepon itu dan segera memejamkan mata untuk tidur di kasur tersebut. Tidak besar memang, kasur itu hanya cukup untuk dirinya seorang. Bahkan tempat yang disewanya ini terbilang sangat kecil. Hanya ada satu tempat tidur kecil, satu set sofa tua, sebuah TV kuno, satu kamar mandi dan tentu saja sebuah dapur mini. Sangat berbeda jauh dengan rumah atau mansion milik orang tuanya. Lily sengaja menyewa tempat itu karena selain bernilai sewa paling murah di kota tersebut, jarak tempat ia bekerja dengan tempat tinggalnya ini cukup dekat. "Lily, Mom harap kau—" "Tidak, Mom. Jangan harap aku akan pulang jika Daddy masih tetap bersikukuh untuk menjodohkanku dengan pria itu. Aku tidak mau!" Terdengar helaan napas dari seberang telepon sana. Lily yakin jika Jessy sudah mulai lelah menghadapi sifat keras kepalanya. Sifat yang dia warisi dari Christian Adam, sang ayah. Benar. Karena sifat mereka yang sama persis itulah yaitu sama-sama keras kepala, mereka sering berdebat di rumah, tapi tentu saja semua masih dalam batas wajar. Tapi tidak untuk kali ini. Lily tidak akan mengalah pada Christian yang dengan seenaknya menjodohkan dirinya dengan putra tunggal keluarga Zavier. "Lily setidaknya temui dia terlebih dahulu. Mom yakin kau akan menyukai pria itu. Dia baik, sopan dan tampan." Baik, sopan dan tampan? Yang benar saja! Jangan kira Lily tidak mengenal William Zavier, putra tunggal keluarga Zavier yang dijodohkan dengannya. Tanpa kedua orang tuanya ketahui, Lily sangat-sangat mengenal pria itu. Yap! Mereka berdua pernah bersekolah dalam satu universitas yang sama. Lily mengenal William dari Britney, teman satu apartemen sekaligus kuliahnya dulu. Dengan kata lain, mereka bertiga memang satu kampus. Hanya saja karena mereka berbeda jurusan, makanya Lily tidak pernah bertemu atau mengenal William. Dan hari di mana Britney mengenalkan William padanya, Lily memang langsung menyukainya. Wajahnya yang tampan, rahangnya yang tegas, bola matanya yang berwarna biru terang seakan mampu menembus dalam diri Lily saat itu juga. William termasuk tipikal pria yang memiliki mata dan senyum maut menawan nan mematikan. Lily bahkan berani bersumpah, siapapun wanita yang melihat dan mendapatkan senyumnya pastilah akan langsung jatuh cinta padanya. Lihat saja dirinya dulu, yang mana ia juga langsung jatuh cinta pada William sejak pertama kali pandangan mata mereka bertemu. Di sisi lain, Lily sangat dan harus menghargai hubungan Britney dan William sebagai sepasang kekasih. Ia pun memutuskan untuk menghindari William setiap kali tidak sengaja berpapasan di kampus. Lily harus melakukannya sebelum perasaannya semakin tumbuh dan bercokol kuat dalam hati. Lalu, ketika William singgah ke apartemennya –yang tentu saja untuk bertemu dengan Britney-dengan sangat tau diri Lily akan segera pamit meninggalkan mereka berdua dengan alasan dia memiliki janji kencan dengan pria lain. Padahal saat itu Lily tidak sedang tertarik dengan pria manapun. Dia masih lebih sangat tertarik pada William, yang sialnya adalah kekasih sahabatnya sendiri. Namun tentu saja, dia tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Terlebih lagi menjadi orang yang dibenci oleh sahabatnya sendiri. NO WAY! Lebih baik dia mengubur dalam-dalam perasaannya pada William. Hingga suatu waktu, Lily mengalami sebuah kejadian yang membuatnya semakin sering menghindar dari William. Tepat seminggu setelah mengenal William, mereka tidak sengaja bertemu di koridor kampus yang sepi. Lily sangat terkejut ketika William tiba-tiba menarik tangannya dan memasukkannya dalam salah satu ruang kelas yang kosong. Dan sebelum Lily membuka mulut untuk bertanya ada apa pada William, pria itu sudah menciumnya. Demi Tuhan! Itu adalah ciuman pertama Lily. Dan yang menciumnya saat itu adalah kekasih sahabatnya. Otak Lily menyuruh untuk langsung mendorong pria itu menjauh darinya, akan tetapi tubuh dan hatinya malah menikmati. Tidak bisa ia pungkiri, jika perasaannya pada William masih tetap sama. Meskipun Lily sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengubur dalam-dalam perasaannya dan menghindari pria itu setiap kali bertemu, tapi Lily masih tetap menyukai pria itu. Sangat! Lily pun tak menolak lagi. Ia memasrahkan tubuhnya. Melingkarkan kedua tangannya ke leher William dan memejamkan mata, ikut larut dalam ciuman panas dari William. Lily bahkan membiarkan ketika lidah William mencoba masuk dan mendominasi dalam rongga mulutnya. Membelit lidahnya dengan ahli dan mengabsen barisan gigi Lily tanpa terkecuali. William baru melepas ciumannya ketika kehabisan napas. Begitu juga dengan Lily. Napas mereka tersengal-sengal dengan dahi saling menempel satu sama lain. William menatap dalam manik mata Lily yang membuat darah Lily berdesir hebat dan jantungnya bekerja ekstra. Pria itu bahkan sudah hendak mencium Lily lagi ketika tiba-tiba ponsel William berdering. Tanpa diberi tahu pun Lily tau jika itu pasti Britney. Dan itu membuat hatinya merasa bersalah seketika. Setelah kejadian itu, Lily berusaha mati-matian untuk tidak menampakkan dirinya di depan William. Jika William mampir ke apartemennya untuk menemui Britney, maka Lily akan mengurung diri di kamar. Dia tidak akan turun sama sekali meskipun Britney membujuknya untuk ikut bergabung dengannya. Lily tidak ingin jika perasaannya semakin tumbuh dan melakukan kesalahan seperti kemarin. Seperti seorang jalang yang menikmati ciuman dari pria yang sudah memiliki kekasih. Keadaan itu terus berlanjut beberapa hari hingga pada suatu hari, ketika Lily hendak berjalan keluar dari gedung kampus, tak sengaja ia melihat William berada di sebuah ruang kelas yang sedang kosong bersama seorang wanita. Wanita yang jelas ia tau bukan Britney. Dan Lily membekap mulutnya tidak percaya melihat William sedang melakukan adegan dewasa di sana. Sambil berdiri dan mengeluarkan desahan menjijikkan dengan wanita itu. Dari situlah Lily tau jika William adalah b******n b******k yang mempunyai banyak simpanan wanita. William sering menggunakan uangnya dan tentu saja tampangnya yang sialan tampan itu untuk menjerat dan meniduri wanita-wanita yang dia inginkan. Saat itu pula, Lily menyesal. Menyesal telah menyukai pria b******k itu dan hampir saja memasrahkan tubuhnya pada pria itu. Lily menceritakan semuanya pada Britney. Dan yang membuat Lily tercengang kehabisan kata-kata adalah kenyataan bahwa Britney mengetahui itu semua. Dia bilang jika ia tidak keberatan dengan kelakuan William karena memang saat itu dia merupakan salah satu simpanannya! Huh, Lily sungguh tidak percaya itu! "Mom. Aku tau jika Daddy menjodohkanku dengannya karena kepentingan bisnis," ucap Lily dengan nada malas. "Oh, gosh, Lily! Berhenti berpikir seperti itu. Kau tau jika Daddy-mu tidak seperti itu!" Lily memutar bola matanya. Memang benar. Christian bukan orang yang seperti itu. Dia tidak akan mengorbankan kebahagiaan keluarganya hanya demi uang. Christian sosok ayah yang baik. Lagipula tanpa adanya pernikahan itu pula perusahaan keluarganya tidak akan jatuh bangkrut dengan mudah. Keluarga Lily merupakan pemilik dari salah satu perusahaan properti di kota New York. Bahkan perusahaan keluarganya menduduki peringkat ketujuh perusahaan properti terbesar di Amerika. Tentu saja masih kalah jauh dengan keluarga Zavier, yang berhasil menduduki peringkat ketiga atau termasuk dalam 30 keluarga terkaya di dunia. Oke, cukup membahas soal kekayaan. Hanya satu yang menjadi masalah di sini, yaitu pria yang dijodohkan dengannya. William Zavier. Sampai kapanpun, Lily tidak akan mau menikah dengan pria b******k itu. Titik, tanpa koma atau kata-kata to be continued. "Mom. Ini sudah malam dan aku mengantuk. Aku juga yakin Daddy tidak akan senang menunggu Mommy lebih lama lagi di atas ranjang." Lily berusaha mengalihkan pembicaraan. Kepalanya berdenyut. Dia benar-benar ingin segera tidur dan tidak memikirkan perjodohan konyolnya itu. Atau Daddy-nya yang bahkan sama sekali tidak khawatir padanya, terbukti sampai saat ini Christian belum mau berbicara dengan Lily. Ayahnya memang keras kepala sama seperti dirinya. "Well, pengalihan yang bagus, Nona," kekeh Jessy. "Tapi Mom belum selesai berbicara denganmu." Lily mendesah. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang keras-keras. "Apa lagi, Mom?" Terdengar kekehan dari Jessy sekali lagi dan suara decak-decak. Iyuh, Lily tau suara apa itu. Christian pasti saat ini sedang mencium Jessy habis-habisan. "Mom ...," tegur Lily dengan nada kesalnya. Merasa terabaikan. "Maaf, Lily. Daddy-mu sedikit nakal," sahut Jessy, membuat Lily memutar bola mata jengah. "Jadi, Lily. Apakah kau baik-baik saja di sana? Err ... tidak ada masalah bukan? Aku yakin apartemenmu – maksudku kontrakanmu sangat tidak nyaman dan-" "Tenang saja, Mom. Aku sangat nyaman di sini dan juga tidak ada masalah apapun." Bohong. Karena pada kenyataannya, setiap dia berangkat dan pulang kerja, tepat di depan pintu apartemennya yang kecil ini, selalu ada sebuah surat dengan amplop merah muda lengkap dengan setangkai bunga mawar di atasnya. Dan sampai sekarang Lily tidak tau siapa yang meletakkan benda itu di sana. Masalah yang lain adalah kenyataan bahwa Lily sangat merasa tidak nyaman pada seorang pria yang tinggal di lantai bawah apartemennya. Sering kali Lily menjumpai pria itu berdiri di depan pintunya dan mengamati Lily sejak keluar dari apartemen hingga berjalan menuruni tangga dengan tatapan yang mengandung makna aku-mengundangmu-ke-kamarku-ayo-kemari-dan-bersenang-senanglah-denganku. "Kau yakin, Sayang?" tanya Jessy memastikan. "Lily, kau bahkan bisa menyewa apartemen yang lebih bagus dan lebih layak dari pada di sana. Tempat tinggalmu itu terlalu—" "Tidak, Mom. Tidak jika aku harus menggunakan uang Daddy." Lily berkata tegas. Jika dia sedikit saja menggunakan uang dari Christian, bisa dipastikan ayahnya akan tersenyum penuh kemenangan dan semakin kekeuh untuk menjodohkannya dengan William. Lily sangat mengenal Christian karena sifat-sifat Christian kebanyakan dimiliki olehnya. Berbeda dengan Jessica yang memang notabene adalah wanita lemah lembut dan berhati emas. Lily bahkan sudah bisa membayangan seringaian menyebalkan Cristian jika dia sampai sekali saja menggunakan kartu kreditnya. Serta suara itu! "Bukankah Daddy sudah bilang jika kau tidak akan bisa hidup tanpa menggunakan uang Daddy sedikit pun? Menikahlah dengan William karena dia bisa memberikanmu hidup yang lebih dari cukup." Gezzz... Tidak! Lily tidak akan membiarkan ayahnya menang darinya. Dia akan membuktikan jika dia bisa hidup mandiri. Tanpa uang Cristian, tanpa bantuan Cristian, dan yang lebih penting lagi dia bisa bekerja dengan kemampuannya sendiri. "Astaga! Kau sama-sama keras kepalanya seperti Christian," desah Jessy. Ia tidak habis pikir, kenapa Lily tidak mewarisi sifatnya saja? Kenapa sifat keras kepala dari suaminya yang justru dimiliki oleh Lily, anak semata wayangnya? "Baiklah kalau begitu. Jangan lupa untuk segera menelpon Mom jika ada masalah apapun itu. Okey?!" "Iya, Mom." "Mom tutup telponnya ya, Sayang. Astaga, Daddy-mu bahkan sudah merajuk." Lily tersenyum simpul ketika mendengar kekehan dari Jessy di seberang sana. Dia bisa membayangkan wajah cemberut ayahnya saat ini. Meskipun usia Cristian sudah menginjak 48 tahun, pria itu masih terlihat gagah dan tampan. Crhristian juga sering berperilaku seperti anak kecil jika sedang berhadapan dengan Jessy. Dia masih suka merajuk dan bahkan cemburu ketika mendapati istrinya mengobrol dengan kolega bisnisnya. Terkadang Lily heran pada ayahnya sendiri. Padahal usianya sudah tidak lagi muda, tapi Christian semakin lama tampak semakin mencintai Jessy. Terlihat dari sorot matanya yang selalu hangat ketika bertatapan dengan istrinya itu. "Baiklah, Mom. Love you," ucap Lily mengakhiri pembicaraan. "Love you too, Sayang. Ingat pesan Mommy! Jika ada apa-apa segera hubungi Mommy. Mengerti?" Lily menjawab dengan deheman singkat. "Okey. Bye, Sayang." TUUUUT ... Lily mendesah lega ketika akhirnya panggilan telepon itu berakhir. Tak butuh waktu lama, kegelapan menyerang Lily. Matanya terasa berat dan saat itu juga sebuah mimpi sudah datang menyapa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD