10. Dating

2201 Words
"Akhirnya ... kondisi Uncle Alex bisa kembali pulih seperti sedia kala," kata Arsene seraya berseru senang saat mengunjungi Ayah Edward di rumah sakit. Setelah mendengar kabar kalau hari ini Alexander Edgar Cullen akan pulang ke rumah, buru-buru saat jam makan siang Arsene menuju rumah sakit. Bersama Kenzie dan Richard, ketiganya bahkan sengaja membawakan bingkisan khusus untuk dinikmati pria yang sudah mereka anggap seperti orang tua sendiri itu. Arsene tampak senang. Begitu sampai di rumah sakit, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Alex sudah bisa duduk dengan santai. Bahkan bergerak bebas layaknya orang sehat pada umumnya. Rasa khawatir yang kemarin sempat hinggap, kini terganti dengan ucapan syukur yang tidak terkira. Sebahagia itu Arsene melihat kesahatan ayah Edward yang berangsur-angsur membaik. "Uncle bisa sehat kembali seperti sekarang berkat doa kalian semua. Sekali lagi terima kasih atas doa, support, bahkan kunjungan kalian setiap harinya. Edward beruntung punya sahabat yang begitu menyayanginya," ungkap Alex dengan tulus. Matanya yang sendu tampak berkaca-kaca karena haru dan senang atas perhatian yang diberikan kepadanya. "Mereka semua memang baik dan bisa diandalkan, Pa." Edward yang tengah duduk mengupas buah di sebelah sang ayah ikut menimpali. "Terkecuali Richard. Kehadirannya benar-benar tidak penting di dunia ini. Entah kenapa Tuhan sampai melahirkannya ke dunia," cemoohnya dengan sengaja. Tidak ada sejarahnya Edward berbaikan dengan Richard. "Ya ampun, Edward Cullen. Bukannya di antara kami bertiga, kau begitu menyanyangiku? Bukannya kau tidak bisa hidup tanpaku, hah?" debat Richard tidak mau kalah. "Jangan gila, Richard Delano. Ketimbang menyayangimu, lebih baik aku menyayangi Arsene yang jelas-jelas lebih berguna kehadirannya. Dari dulu, kerjaanmu hanya satu. Selalu saja menghina atau mencibir apa pun yang aku kerjakan. Mana ada sahabat yang kelakuannya seperti dirimu." Kenzie dan Arsene langsung geleng-geleng kepala. Memang tidak heran kalau Edward dan Richard selalu terlibat perdebatan. Dari dibalik itu semua, keduanya saling menyayangi satu sama lain. Dulu, Richard bahkan pernah bolos kuliah selama dua hari karena sengaja menunggui Edward yang masuk rumah sakit. Pun Edward juga pernah melakukan hal yang sama. Ia rela tidak tidur semalaman demi membantu Richard menyiapkan kejutan untuk Claire yang sedang berulang tahun. "Harusnya, sebagai teman yang baik, kalian bantu Uncle untuk segera mencarikan Edward pasangan agar bisa segera di nikahkan," celetuk Alexander tiba-tiba. "Jujur, Uncle bosan melihat kelakuannya yang setiap hari masuk berita karena bergonta ganti teman kencan. Sungguh, itu bukan prestasi yang membanggakan. Yang ada, hanya mencoreng nama baik keluarga." Edward yang sudah selesai memotong buah langsung mendekati sang ayah. Dengan wajah yang dibuat kesal, ia langsung melayangkan protes. "Bukannya aku playboy seperti ini karena menurun sifat dari Papa? Jangan lupa, Mama pernah cerita kalau dulu Papa juga dikelilingi banyak wanita. Bedanya dulu Papa tidak seterkenal diriku. Dan lagi, belum ada paparazzi juga yang membuntuti. Jadinya tidak sampai masuk berita seperti zaman sekarang." "Tapi pada akhirnya, Papa bertemu Mama dan langsung menikah, Ed," debat Alexander. "Sementara kau sendiri? Seperti tidak ada tampang ingin serius menjalin hubungan dengan wanita di luar sana. Lagi pula, terlihat jelas yang mendekatimu itu hanya mengincar popularitas dan kekayaan yang kau miliki." Edward kembali berdecak lalu tak lama memasang ekspresi wajah tampak serius. "Papa tenang saja. Saat ini aku sedang dekat dengan seorang wanita. Aku bahkan bermaksud untuk melamar. Dan mungkin tahun ini juga ku nikahi." Semua orang di ruangan langsung terperanjat. Untuk Kenzie, Richard, dan Arsene, sangat tahu soal Edward yang berkeinginan melamar Olivia. Tapi mereka tidak pernah menyangka kalau pria itu bermaksud untuk menikahinya di tahun yang sama. Sementara Alexander awalnya nampak terkejut tapi tak berapa lama pria itu mengulas senyum. "Papa akan sangat bahagia kalau kau benar-benar membuktikan ucapanmu itu. Semakin cepat kau menikah, semakin cepat pula jabatan CEO AlpaBeta kau terima, Ed," ucap Alexander sungguh-sungguh. "Dan jangan lupa, kalau kau berhasil melamar wanita incaranmu, tolong segera kenalkan pada Papa dan Mama." "Tenang saja," sahut Edward dengan yakin. "Begitu berhasil melamarnya di hari Valentine nanti, aku akan segera membawanya kehadapan keluarga besar untuk dikenalkan." Wajah Edward nampak berseri-seri. Bayangan Olivia menerima lamarannya saat valentine nanti sudah menari-nari di otaknya. Edward benar-benar tidak sadar kalau sahabatnya sendiri kini tengah bersusah payah menggagalkan apa yang menjadi impian terbesarnya sekarang. Ya, Arsene memang tidak akan pernah membiarkan Edward menjalin hubungan dengan Olivia apalagi sampai menikahinya. *** Arsene terlihat tampan dalam balutan kemeja hitam yang melekat sempurna di tubuh kekarnya. Malam ini, rambut pria itu bahkan dengan sengaja di tata dengan model undercut demi menunjang penampilannya agar terlihat semakin maskulin. Aroma spicy dari parfum kenamaan yang Arsene kenakan bahkan menguar tajam memenuhi seisi ruangan. Memfokuskan pandangan, sekali lagi Arsene memastikan penampilannya dari balik cermin. Setelah merasa sempurna, ia memutuskan untuk keluar kamar agar bisa segera menuju mobil lalu menjemput Olivia di apartemennya. Berjalan santai menuruni anak tangga, sebuah suara lembut seorang gadis menyapa pendengaran Arsene. Begitu menoleh, ia mendapati Kimora yang tengah berdiri tepat di depan kamarnya seolah hendak menghadang. "Arsene?" Kimora memasang mimik wajah datar. Begitu didekati, wanita itu kembali bersuara. "Mau ke mana kau serapi ini?" selidiknya ingin tahu. "Menjemput Olivia lalu mengajaknya makan malam," jawab Arsene dengan santai, membuat Kimora langsung terkesiap. "Menjemput Olivia, lalu makan malam bersama?" Kimora memaku netra biru Arsen lekat-lekat seraya melayangkan tatapan tidak percaya. "Maksudmu, kalian akan berkencan malam ini?" Arsene mengangguk penuh yakin. "Iya, Kimora. Sesuai dengan yang sudah direncanakan sebelumnya, malam ini aku akan berkencan dengan Olivia." "Tidak bisa kah kau hentikan permainan konyol ini?" Kimora menarik napas dalam-dalam hingga dadanya kembang kempis. Perasaan bercampur aduk langsung menggerayangi otaknya begitu saja. Mau melayangkan protes, tapi dirasa percuma. Kimora meyakini Arsene pasti tidak sedikit pun mau mendengarkan apa yang ia ucapkan. "Aku sudah sejauh ini, Kimora. Tidak mungkin rasanya kalau tiba-tiba saja aku berhenti di tengah jalan lalu melepaskan semua yang hampir ku genggam," ujarnya dingin. Arsene tentu saja tidak ingin apa yang sudah ia lakukan menjadi sia-sia belaka. Sudah banyak yang ia korbankan demi menarik hati dan perhatian Olivia. Tinggal beberapa langkah lagi, ia bisa mendapatkan wanita itu seutuhnya. "Jujur, aku tidak akan pernah sanggup membayangkan bagaimana kau bersikap manis dengan wanita lain," ucap Kimora lirih. Ekspresinya seketika saja berubah sendu. Menengadakan wajahnya ke atas, Kimora berusaha untuk menahan diri agar tangisnya tidak pecah. Ia sudah bertekad untuk tidak boleh terlihat lemah di hadapan Arsene. Akan tetapi, semua dirasa percuma. Lebih-lebih ketika calon suaminya itu dapat membaca gerak geriknya yang tidak biasa. "Kimora, aku tahu kau sedang menahan tangis." Ditegur demikian, Kimora tidak dapat lagi membendung laju air mata. Pandangannya langsung mengabur, bahkan napasnya hampir tercekat. Lebih-lebih saat Arsene menariknya ke dalam pelukan pria itu. Mendekap erat seraya memasang ekspresi wajah khawatir. "Kenapa harus menangis seperti ini? Harus berapa kali lagi aku meyakinkanmu kalau ini semua ku lakukan demi satu tujuan penting agar segera terwujud. Aku hampir berhasil. Tentu saja tidak mungkin untuk mundur begitu saja." Dalam pelukan Arsene, Kimora bergeming. Bukannya tenang, ia semakin terisak. Yang mana kelakuannya ini membuat Arsene tertegun. Di peluknya lagi tubuh Kimora yang bergetar hebat. Sembari mengusap lembut punggung wanita itu, Arsene tak henti-hentinya berbisik. "Ku mohon, hentikan tangisanmu. Kau membuat hatiku sedih Kimora." Direnggangkannya pelukan. Meraih dagu Kimora, Arsene mengecup lembut pipi kanan wanita itu. "Aku janji, setelah semuanya selesai, aku akan segera menikahimu." Arsene kemudian membawa bibirnya demi mengecup lama kening Kimora. Mengurai pelukan, ia lantas beranjak pergi untuk segera menjemput Olivia yang mungkin sudah menunggu di apartemennya. Begitu sampai di Marylebone Square's Penthouses, Arsene langsung membawa kakinya untuk buru-buru sampai di unit milik Olivia. Mengetuk pintu sekali, ia sempat dibuat terperangah ketika melihat penampilan wanita yang ingin dijemputnya itu. Olivia begitu stunning dengan balutan Little Back Dress berwarna hitam mengkilap. Di padukan dengan clutch dan heels berwarna senada, menambah kesan glamour pada wanita itu. Belum lagi rambutnya yang hitam dibiarkan terurai, membuatnya terlihat pas dan semakin seksi. "Arsene?" Panggilan Olivia langsung menarik kesadaran Arsene yang sempat berkelana jauh. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya memastikan. Arsene diam sejenak menatap lekat wajah Olivia sebelum kemudian menyahut pertanyaan wanita itu. "Tentu saja. Kita pergi sekarang juga." Menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, keduanya sampai di The Shard yang berada di distrik Thomas St, London. Malam ini, Arsene memang sudah mereservasi Aqua Shard yang berada di lantai 31 gedung pencakar langit tersebut untuk menikmati makan malam sambil menikmati view kota London dari ketinggian. Menuruni mobil, Arsene langsung mengulurkan tangan bermaksud untuk mengajak Olivia bergandengan. Begitu keduanya sampai di restoran, seorang waitress langsung menuntun mereka ke areal VIP yang terletak tepat di pinggiran kaca gedung. Olivia bahkan sempat dibuat terkagum-kagum karena bisa melihat indahnya pemandangan serta kerlap kerlip lampu kota London dari atas ketinggian. "Kau pintar sekali bisa memilih tempat indah seperti ini," ungkap Olivia dengan kagum, setelah keduanya selesai memesan menu makanan. "Aku memang harus ekstra kerja keras mencari tempat terbaik untuk membawa wanita spesial seperti dirimu, Olivia," ujar Arsene sambil menyunggingkan senyum. Detik kemudian meraih pergelangan tangan wanita itu lalu menggenggamnya lembut. Lagi, seluruh tubuh Olivia membeku. Begitu Arsene menggenggam tangannya, seperti ada sengatan listrik yang langsung menyerang. Selalu saja perlakuan sederhana Arsene berhasil memporak-porandakan isi hatinya. Olivia mengangkat sedikit wajahnya hingga kedua mata mereka saling bertubrukan. "Kalau aku boleh jujur, kau benar-benar cantik malam ini, Olivia. Penampilanmu membuatku tidak bisa berpaling sedikit pun," gumam Arsene dengan jujur. Kedua manik birunya seolah tenggelam dalam pesona yang Olivia tunjukkan malam ini. "Ck." Olivia langsung berdecak. Sambil tersenyum wanita itu menanggapi. "Jangan menggombal. Apa kau pikir sebelum-sebelumnya aku tidak secantik malam ini?" tuduhnya dengan wajah dibuat sedikit cemberut. "Tidak." Arsene menggeleng cepat. "Kau cantik setiap harinya. Aku akui itu. Tapi malam ini, kau memang benar-benar berbeda. Kau tampak begitu sempurna," ucap Arsene lalu mengedarkan pandangan matanya sekeliling restoran. "Aku yakin, pria-pria yang ada di restoran ini pasti tampak iri melihatku karena berhasil jalan bersama bidadari sepertimu." "Arsene!" Olivia kembali berdecak. "Kau sungguh berlebihan." Arsene langsung terkekeh pelan. Lalu memasang ekspresi meyakinkan. "Demi Tuhan, aku tidak bercanda. Kau benar-benar cantik." Olivia hanya tertawa kecil. Keduanya lantas memilih untuk menyantap hidangan yang sudah tersedia. Diiringi alunan musik, Arsene dan Olivia tampak nyaman menikmati ritual makan malam mereka yang begitu intens. "Ku tebak, pasti sudah banyak wanita yang kau ajak makan malam seperti ini. Dan semuanya berakhir dengan tempat tidur?" seloroh Olivia seraya menyantap steak tenderloin di tangannya. "Kau salah. Bahkan salah besar," sanggah Arsene. "Sampai detik ini, aku bahkan tidak pernah meniduri satu wanita pun." "Are you seriously?" Demi mendengar ucapan Arsene, Olivia langsung mendongak dan bertanya seolah tidak percaya. "Oh come on, jangan bercanda, Arsene Geraldo." Wanita itu lalu mencondongkan sedikit wajahnya lantas tak lama berbisik sangat pelan. "Jadi kau masih perjaka, hmm?" Sambil meneguk air putih di gelasnya, Arsene mengangguk. "Bukan hanya aku. Tapi Kenzie, Richard, dan Edward pun sama seperti diriku. Kami memang tidak pernah sekali pun terpikirkan untuk membawa wanita ke atas tempat tidur sebelum memiliki ikatan pernikahan yang sah." Olivia sampai menghentikan makannya. Antara kagum dan masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Sulit sekali baginya di zaman sekarang mencari pria yang tidak having s*x dengan pasangan mereka. "Jadi, Edward juga masih perjaka?" tanya Olivia. "Ah, maaf kalau pertanyaanku terlalu frontal dan terkesan ingin tahu." Buru-buru Olivia meralat ucapannya. "It's, ok. Tapi mau kau percaya atau tidak, kenyataannya memang seperti itu. Kami semua, termasuk Edward, never making love before married." Olivia mengangguk-angguk. Dalam hati ia bergumam tidak salah selama ini aku sudah mengenal mereka, terutama Arsene. "Oh, ya ... " ucap Olivia kemudian. "Soal pertemuan dengan Papa dan Mama, aku sudah menceritakan kepada mereka. Dan tampaknya mereka juga sangat antusias ingin bertemu." "Aku juga tidak sabar ingin bertemu dengan orang tuamu, Olivia. Aku tentu saja ingin mengenal secara langsung orang tua dari wanita cantik sepertimu." Lagi, Olivia menyunggingkan senyum. Walaupun sudah berkali-kali dipuji oleh Arsene, tetap saja wajahnya selalu memerah karena tersipu malu. Entah pesona apa yang Arsene miliki hingga mampu menghadirkan getaran-getaran dalam dadanya. Padahal, sebelumnya, ia tidak pernah merasakan hal aneh seperti ini. Apakah ia benar-benar sudah masuk perangkap cinta yang Arsene tebarkan? "Olivia ... " tegur Arsene setelah keduanya menyelesaikan makan malam. "Sebelum mengakhiri pertemuan ini, ada satu hal penting yang ingin aku sampaikan padamu." Olivia memandangi seksama wajah Arsene yang berubah serius. Ia lantas mengangguk kemudian memusatkan pandangannya pada pria itu. Menunggu dengan sangat, hal apalagi yang kali ini ingin Arsene sampaikan padanya. "Silakan, aku akan mendengarkanmu dengan seksama," ucap Olivia lirih. "Jujur, aku senang dengan takdir Tuhan yang tiba-tiba mempertemukan kita berdua. Seumur hidup, tidak pernah aku memiliki ketertarikan pada wanita seperti aku tertarik padamu saat ini," kata Arsene. Menghela napas sejenak, pria itu menyambung kalimatnya. "Kau berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal. Belum lagi banyaknya kesamaan yang kita miliki membuat diriku yakin kalau kita sebenarnya cocok satu sama lain." "Tunggu dulu," sela Olivia. "Apa ini maksudnya kau menyukaiku?" Arsene langsung mengangguk, membenarkan tebakan wanita di depannya. "Bahkan sangat menyukaimu." Mata Olivia sukses membola. Sepersekian detik ia dibuat terbengong dengan kenyataan yang baru saja didengarnya. Ia tahu, selama ini Arsene sering kali bercanda mengenai perasaannya. Tapi ia tidak menyangka kalau pria itu benar-benar serius dengannya. "T-tapi sejak kapan?" Olivia sampai tergugu karena masih syok dengan apa yang baru saja ia dengar. "Entahlah." Arsene mengedikkan kedua bahunya. "Aku juga tidak tahu kapan pastinya memiliki rasa ini. Yang ku yakini, aku benar-benar jatuh cinta padamu, Olivia." Lantas detik kemudian Arsene kembali meraih pergelangan tangan kanan Olivia. Menariknya sedikit lalu mengecup lembut punggung tangan wanita itu sambil berbisik pelan. "Olivia, maukah kau menjadi kekasihku yang sesungguhnya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD