Bab 2. (Jangan Panggil Aku Korea)

1069 Words
Zulian terus melangkahkan kakinya dengan cepatnya. Bahkan terkesan berlari kecil, meninggalkan pemakaman di atas bukit itu. Untuk menuju ke rumah neneknya. Seakan dirinya sedang dikejar-kejar oleh setan di pemakaman desa itu. Hingga diperhatikan oleh orang-orang yang berpapasan dengan dirinya, yang tak dipedulikan sama sekali oleh Zulian. Pemuda berwajah Korea itu terus berjalan cepat seperti itu, layaknya seorang atlet jalan cepat. Hingga hanya dalam beberapa puluh menit saja. Pemuda berwajah Korea itu, telah tiba di depan rumah neneknya. Yang tak seberapa besar untuk ukuran desa itu. Yang rata-rata memiliki rumah gedung besar. Atau pun model minimalis yang sedang ngetrend di pasaran saat ini. Rumah itu terkesan tua, dengan mayoritas bangunan terdiri dari kayu jati. Akan tetapi walaupun rumah itu terlihat tua, namun tampak masih kokoh. Dengan keadaannya yang seperti itu. Rumah itu di cat toska, warna yang dipilih oleh Zulian. Di saat ia mengecat rumah itu, 1 tahun yang lalu. Di depan rumah itu, tumbuh beberapa pohon mangga. Dengan tinggi 5 meteran. Yang tampak telah berbuah, dan menjuntai hingga 2 meteran dari tanah. Hingga dengan mudah dapat dengan mudah dijangkau oleh jangkauan orang dengan standar. Apalagi dengan tinggi Zulian yang 185 cm, di atas rata-rata tinggi penduduk Cikoneng. Zulian lalu masuk ke dalam rumah itu, melewati motor kakaknya yang terparkir di halaman depan rumah itu. Di dalam ruang tamu, ia lihat kakak dan neneknya. Yang sedang duduk berdampingan, menunggu kehadiran dirinya sejak dari tadi. Dengan perasaan mereka masing-masing. "Assalammulaikum ...," ucap Zulian, memberi salam kepada keduanya. "Walaikumsalam ...," jawab neneknya, sedangkan Rudy hanya terdiam. Seakan ia tak ingin menjawab salam itu, salam yang seharusnya ia jawab. Walaupun di hatinya sedang dipenuhi oleh kekesalan yang begitu besar terhadap adiknya. Karena sudah membuat dirinya, menunggu terlalu lama. Zulian lalu duduk di sofa di hadapan kakak dan neneknya. Dengan melepaskan senyum termanisnya kepada dua orang yang sangat disayang nya itu. Sebelum dirinya berkata kepada Zulian. "A, jadi ke Jakartanya sekarang?" tanya Zulian, dengan suara lembutnya. "Ya, jadilah Korea!" jawab Rudy dengan ketusnya. Seakan mengejek Zulian. Yang memang wajahnya mirip dengan orang Korea, daripada mirip orang lokal kebanyakan. Bahkan dengan Rudy sendiri, tidak mirip sama sekali wajah di antara kakak beradik itu. Mendengar perkataan itu. Zulian hanya terdiam. Tampak wajahnya berubah menjadi bermimik sedih, mendengar perkataan kakak semata wayangnya itu. Yang terlihat begitu jelas di mata neneknya, yang dipanggil nini oleh Zulian dan Rudy. "Kenapa sih, kakakku sendiri mengatakan aku, Korea. Aku benci panggilan itu, aku benci orang memanggilku dengan sebutan itu ...!" jerit Zulian, di dalam kalbunya. "Hal itu merupakan salah satu faktor pendorong bagi diriku, untuk pergi ke Jakarta. Aku sudah muak dengan kebanyakan orang di desa ini, yang memanggilku 'Lian Korea'. Mungkin di Jakarta, orang tidak akan mempermasalahkan fisikku yang seperti orang Korea ini. Karena aku yakin orang Jakarta bisa lebih berpikiran terbuka dalam segala hal, daripada orang desa ini. Seperti dulu, saat aku sempat tinggal di Jakarta," ucap Zulian masih di dalam kalbunya, dengan segala kepedihannya itu. Melihat Zulian hanya terdiam atas perkataan Rudi. Neneknya lalu angkat bicara. Wanita tua berusia 70 tahun itu pun, lalu menegur Rudy. Atas ucapannya tadi. Yang tak ia sukai sama sekali. "Rud, kamu ini bagaimana sih? Memanggil adikmu satu-satunya dengan kata itu? Apa adikmu itu tidak memiliki nama. Coba kamu pikir, kalau keadaanmu seperti Lian?" ucapnya tegas. Yang membuat Rudy tampak tegang mendengar perkataan neneknya itu. Rupanya Rudy sangat takut dengan neneknya, yang mengurus dirinya sejak ibunya meninggal dunia. Karena baginya, neneknya itu sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Yang harus dihormati sekaligus sangat ia takuti. "Maksud Rudy bukan seperti itu Ni, Rudy hanya bercanda saja. Lian nya saja yang terlalu sensitif ...," bela Rudy atas dirinya. "Ya, tapi lain kali jangan diulangi lagi," timpal neneknya, dengan nada kesal. Mendengar nada suara neneknya yang ketus terhadap kakaknya. Zulian lalu angkat bicara. Untuk meneduhkan suasana yang sedang memanas itu. "Ni, A Rudy memang benar. Aku memang terlalu sensitif. Seharusnya aku tidak seperti ini." ucap Zulian, yang membuat keadaan menjadi tenang kembali. "Ya, sudah kalau kamu mau ikut Aa, sebaiknya kamu kemasin pakaian kamu sekarang," kata Rudy, dengan nada pelan tak ketus seperti tadi kepada Zulian. "Kalau masalah pakaian, Lian sudah kemasin dari subuh. Tapi A, apa Aa tidak kangen sama desa ini. Masa baru satu hari. Aa sudah mau balik lagi ke Jakarta lagi?" tanya Zulian, yang membuat Rudy tampak tak senang dengan pertanyaan itu. "Kalau Aa tidak ingin menjemput kamu, Aa juga malas pulang Kampung. Lagian siapa yang mau jadi orang udik, enakan jadi orang kota." timpal Rudy dengan mimik serius, berusaha menahan nada bicaranya agar tak ketus seperti tadi. Akan tetapi walaupun nada bicara Rudy tak ketus lagi. Itu sudah membuat Zulian tak ingin berbicara lagi dengan kakaknya. Karena ia tahu, kalau ia terus berbicara. Maka urusannya akan semakin panjang, dan tak akan ada akhirnya nanti. Zulian lalu bangkit dari duduknya, menuju ke dalam kamarnya. Tetapi baru beberapa langkah ia melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja Yulia, yang merupakan anak pamannya masuk ke rumah itu. Dan langsung mendekap Zulian dari belakang. Ia terlihat sangat manja terhadap Zulian. Padahal usianya hampir mendekati 17 tahun. Dan telah duduk di kelas 12 SMA. Tingginya sekitar 170 cm, dengan kulit putih mulus. Yang disertai oleh wajahnya yang cantik. Walaupun tanpa make-up. Ia pun sudah berpakaian seragam sekolahnya. Bersiap untuk pergi ke sekolahnya pagi itu. "A Lian, dicari'in Ce Sari tuh. Aa ditunggu di tempat biasa ..," ucap Yulia, lalu melepaskan dekapannya kepada sepupunya itu. "Iya, tapi Aa mau ke Jakarta," jawab Zulian dengan nada santai. "Sekarang?" tanya Yulia., dengan penuh selidik. "Ya, iyalah masa tahun depan," jawab Zulian, lalu tersenyum. "Ya, sudah. Pokoknya sekarang A Lian, temui Ce Sari lebih dulu. Baru nanti ke Jakartanya. Dan jangan lupa, kalau sudah sukses. Beli'in Lia, smartphone keluaran terbaru!" ucap Yulia, dengan nada manjanya. "Iya, iya.... Sekarang cepat kamu sekolah sono!" sahut Zulian. Yulia lalu mencium tangan kanan Zulian, lalu neneknya dan setelah itu Rudy. "Dah semuanya ...," ujar Yulia dengan berlari kecil, meninggalkan rumah itu. Zulian lalu berbalik arah, dengan terlebih dulu pamit kepada nenek dan kakaknya. "Ni, A. Lian mau menemui Sari dulu." kata Zulian dengan suara lembut. Tanpa meminta persetujuan dari keduanya. Ia pun tetap pergi meninggalkan mereka berdua, yang hanya saling tatap dan membisu dengan pikiran mereka masing-masing. Zulian terus melangkahkan kakinya, meninggalkan rumah neneknya. Pemuda berwajah Korea itu lalu melangkahkan kakinya, menuju ke sebuah pos ronda di desa itu. Yang terletak cukup jauh dari rumah neneknya. Disertai oleh Matahari yang semakin bersinar dengan terangnya di langit tanpa batas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD