Z-2

1940 Words
“Tidak akan ada surga, sampai keadaan yang seperti neraka ini berhasil diatasi.” John telah selesai berpakaian. Lelaki berpostur tubuh kurus itu, mengenakan sebuah celana jeans, dengan kaos berwarna kuning, lengan panjang kesayangannya. Di tengah-tengahnya, terdapat tulisan “survive”, seolah mengiisyaratkan, apa yang diinginkannya sekarang. Selama ini, dia mengira, dunia adalah medan perang antara hidup dan mati, untuk terus membuatnya bertahan hidup, dari kejam dan kerasnya dunia yang tidak pernah adil untuknya. Hidup terasa sulit untuk dilalui, bahkan, pernah, dia berpikir untuk mati. Akan tetapi, dia tak pernah tahu, kalau pemikiran itu, pada akhirnya, benar-benar menjadi tempat pertempuran hidup dan mati sebenarnya. Berbeda dengan game, di mana, dia bisa mengulanginya lagi jika mati atau game over. Sedangkan di dunia nyata, dia akan benar-benar died, jika tertangkap dan tergigit. Dia tak mau menjadi santapan Zombie, ataupun menjadi zombie. Yups, manusia memang banyak keinginan. Namun, John, memang tak menginginkan hal itu. Semua orang, selain dia, tentu juga akan berpikir demikian. Mereka hanya ingin selamat dari kiamat yang saat ini terjadi. Kalaupun ini adalah mimpi buruk, mereka berharap bangun lebih cepat dan tak perlu mengalaminya sama sekali. Ini adalah hal yang sangat menakutkan dan membuat jiwa seakan diterjang sesuatu tak pernah mereka bayangkan dan inginkan terjadi dalam hidup mereka meskipun hanya sekali. John mengamati kamarnya, bergegas mencari sesuatu untuk bisa dijadikan alat bertarung untuk melawan zombie nanti. Akan tetapi, dia tak bisa menemukan apapun yang bisa membantunya. Di kamarnya, ada dipenuhi barang-barang tidak berguna, terutama sampah yang menumpuk—dan bau menyengat, yang sekarang, menusuk hidungnya. Sekarang, dia bingung, mengapa dia tidak bisa mencium bau-bau sampah itu sebelumnya. Sedangkan sekarang, dia bisa menciumnya dengan jelas, seolah indera penciumannya baru saja kembali. Lolos dari demam, yang bisa saja membuatnya tadi malam, membuat tubuhnya bekerja terlalu keras atau mungkin, dia baru saja mengalami keajaiban—meningkatnya ketajaman penciuman—karena berhasil lolos dari maut, baik karena demam atau nyaris menjadi santapan zombie. John berpikir, makluk mengerikan itu, hanya ada dalam buku fiksi atau film horror-thriller, yang pernah ditontonnya dulu, tetapi melihat betapa seriusnya situasi sekarang, jelas, dia tak berpikir kalau zombie itu tidak ada. Satu-satunya hal, yang menjadi petunjuk sekaligus harapan untuknya saat ini, petunjuk dari Presiden, sebelum pengumuman itu berakhir, kalau mereka harus pergi ke kota Fier. Satu-satunya teman, orang yang bisa dipercaya, untuk bisa membawanya ke sana, hanyalah Annie, adik perempuan yang selama ini, enggan diajak bicara. Walau ini sungguh mmebahagiakan untuknya, bisa berbicara banyak dengan Annie, mengingat lamanya mereka tak saling bicara selama ini, John tak pernah berharap kalau dia dan adiknya, akan berada di situasi mengerikan seperti ini. Dia hanya ingin kehidupan damai, tanpa adanya zombie, sehingga dia bisa berinteraksi secara lebih nyaman, dengan adiknya, Annie. “John!” John nyaris terpekik, saat sebuah sentuhan di bahunya, membuatnya berbalik dan mundur dengan cepat. Insting bertahan hidupnya, membuatnya lebih peka dari sebelumnya. Annie, adik perempuannya yang cantik, sudah berdiri di depannya, dengan jeans dan baju lengan pendek berwarna kuning, senada dengannya. Oke, John nyaris terharu, karena memiliki selera yang sama. Namun, tidak ada waktu untuk membahas hal itu sekarang, terlebih di situasi seperti saat ini. Dia mungkin akan dianggap gila oleh Annie. Meski sepertinya, dia sudah dianggap demikian tanpa perlu adanya peristiwa ini. “John, kamu sudah siap?” tanya Annie dengan berbisik, seolah tidak ingin suaranya sampai terdengar oleh manusia ataupun non-manusia, zombie misalkan. John hanya mengangguk pelan. “Aku memberimu waktu lima menit, kenapa lama sekali? Kamu tidak mau pergi?” Annie protes, masih dengan bisikan pelan, tetapi dengan ekspresi wajah yang cukup menyeramkan, membuat John meneguk ludahnya pahit. “Maafkan aku, tetapi aku sama sekali tak bisa menemukan senjata yang bisa membantuku untuk bertahan hidup, Annie,” jelasnya. Annie berpikir sejenak, “Aku akan mengambilkan senjata yang aku pikir cocok untukmu, sekarang, bawa tas ranselmu, isi dengan makanan kaleng atau yang tahan lama, jangan banyak-banyak, yang penting cukup untuk dua-tiga hari. Kita bisa mencari makanan di jalan nanti. Juga, bawa obat-obatan, John. Kamu bisa kan?” Annie menatap lekat John. Lelaki berkulit pucat itu menganggukkan kepala pelan. “Bagus, lakukan dengan hati-hati dan jangan berisik, oke?” Annie memperingatkan. John hanya mengangguk sekali lagi lalu melakukan apa yang Annie minta. John keluar dari kamar, menuju ke ruang tamu, mengambil beberapa obat di kotak P3K. Dia sempat tertegun saat melihat mayat nenek Marta dan paman Frans. Mereka benar-benar dalam keadaan yang cukup membuatnya mual. Namun, John bertahan. Dia tak mau sampai terdengar oleh zombie lain. Dia belum siap untuk bertarung hidup dan mati, dengan makluk mengerikan itu lagi. Dia perlu jeda waktu, kalau perlu selamanya. John pun bergegas, tak ingin berpisah lama dari Annie. Bagaimanapun, dari segi kekuatan, keberanian dan kemampuan bertahan hidup, adiknya jauh lebih unggul darinya. Bahkan, meski Annie adalah seorang perempuan, tak mampu mengubah kenyataan kalau adiknya jauh lebih bisa diandalkan dibandingkan dirinya saat ini. John segera menuju dapur, mengambil beberapa makanan kaleng, pembukanya dan makanan siap makan, roti dan beberapa air minum. Setelahnya, dia bergegas menuju ke kamar Annie. Adik perempuannya itu menyambutnya, dengan sebuah alat bertarung, yang sepertinya, akan sangat cocok untuknya. “Kamu bisa menggunakannya,” ujar Annie saat John merasa ragu untuk mengambil pemberiannya. John hanya mendesah kasar. “Dengar. John. Ini mungkin terdengar kasar, tapi kita tak bisa mengandalkan orang lain, hanya diri sendiri. Kamu harus bertahan hidup dengan kemampuan sendiri. Tentu saja, aku akan melindungimu, semampuku. Namun, kamu juga harus berusaha keras melindungi dirimu. Kamu tahu dan mengerti kan? Sekali tergigit, kamu akan menjadi santapan atau salah satu dari mereka. Jika itu terjadi, mungkin, aku harus membunuhmu. Kamu mengerti maksudku kan?” Annie terlihat bersungguh-sungguh. “Ya, bunuh aku jika aku berubah.” John berucap lirih, seolah dia mengerti, kalau dia nanti tidak selamat. Bagaimanapun, dia tak bisa menyalahkan Annie, kalau dia tidak bisa selamat dari kematian. Dia harus berusaha untuk tetap hidup dengan kemampuannya sendiri, tak bisa melulu hanya mengandalkan Annie dan bergantung dengan adiknya. Bagaimanapun, dia jauh lebih tua, 6-7 tahun. Seharusnya, itu cukup menjadi alasannya untuk bisa menjadi lebih dewasa dan bijaksana, terutama di situasi tidak terduga dan tidak menguntungkan seperti saat ini. Meskipun nyatanya, Annie yang banyak mengambil keputusan dibandingkan dirinya, seolah menegaskan kalau dia adalah seorang pengecut. John, tak ingin menjadi seperti itu lagi. Dia yakin, bisa menjadi lebih baik daripada dirinya sekarang. "Kamu bodoh, maksudku bukan begitu." Annie membuang napas kasar, "Yang jelas, kita harus pergi saat pagi." John melirik jam tangannya, "Masih dua jam lagi, sebelum matahari terbit. Apa yang akan kita lakukan?" Annie berpikir sejenak, segala persiapan, sudah dilakukan. Namun, dia mulai merasa keroncongan. "Kita makan?" usulnya ragu. "Di mana?" "Kamarku." John mengangguk lemah. Bagaimanapun, perjalanan mereka akan sangat panjang. Tentu, mereka tidak boleh pergi dengan perut kosong. Akan sangat konyol, saat mereka bertarung dengan perut lapar, tentu tenaga mereka akan terkuras dengan cepat dan segala tekad mereka untuk hidup hanya akan menjadi lelucon saat mereka mati dan berakhir menjadi santapan zombie. Meski ini situasi yang tak menguntungkan, mereka butuh makan dan minum, ke toilet juga sepertinya. Ah, sudahlah. John merasa bingung sendiri dengan pikirannya saat ini. John dan Annie menuju ke kamar Annie, mengunci pintunya. Ada dua buah roti, dua buah apel dan dua buah botol air mineral. Mereka menyantap dengan nikmat, seolah itu adalah makanan lezat terakhir mereka. Tentu saja dengan tidak bersuara, meminimalkannya. Annie, bahkan mencelupkan roti ke dalam air sebelum memakannya. Meskipun itu tidak berlaku untuk apel. Namun, mereka berhasil menyelesaikan makanan mereka. Tidak ada percakapan yang terjadi. Listrik telah mati. Penerangan tidak ada, bahkan meski hanya api kecil, hanya menggunakan layar ponsel, yang akan segera padam, beberapa jam lagi atau mungkin, sebentar lagi. Ponsel yang dulu, tidak bisa lepas darinya, sekarang, sama sekali akan menjadi barang tak berguna. Demikian pula dengan semua uang yang dikumpulkannya. Hidup di dunia ini, pada akhirnya, hanya perihal hidup dan mati. Selain itu, seperti kekasih, makanan enak, kekayaan dan lain-lain hanya bonus. "Kamu memiliki kekasih, John?" Pertanyaan yang asing di telinga John. Menurutnya, Annie, tidak akan pernah menanyakan pertanyaan sekonyol itu, tetapi John berpikir, mungkin, itu adalah cara Annie untuk memecah keheningan di antara mereka. "Tidak, bagaimana denganmu?" John bukannya kepo, hanya ingin tahu, meskipun tidak terlalu penasaran. "Tidak ada." Jawaban yang cukup mengejutkan, mengingat betapa cantiknya Annie, John berpikir, mungkin adik perempuannya, sudah memiliki kekasih 2 sampai 3 orang dalam waktu yang sama. Ya, dia bukannya menganggap Annie sebagai playgirl, hanya saja, adiknya terlalu cantik dan dominan untuk bisa dikuasai satu orang lelaki. Mungkin, pemikirannya terlalu dangkal, atau John hanya terlalu naif, sehingga dia bisa berpikir demikian. "Kamu terkejut?" Annie seolah bisa menebak pemikiran John. Bahkan, dalam kegelapan, kepekaannya tak bisa diremehkan. "Ya," jawab John singkat. "Aku sibuk mengumpulkan uang dan semuanya menjadi tidak berguna sekarang." Annie terkekeh pelan, mengejek dirinya sendiri. "Tapi, ya, tidak terlalu buruk, karena sangat sibuk, aku tidak tahu soal kejadian mengerikan tadi malam, sehingga kita bisa berbincang seperti ini sekarang, tidak sedang bertarung, entah kamu atau aku, atau kita berdua, yang akan berubah menjadi zombie, seperti dua tetangga kita tadi." "Ya, aku senang kamu tidak berubah," ujar John jujur. "Jadi, apa rencanamu? Bagaimana caranya kita meninggalkan kota ini? Tidak, bagaimana kita meninggalkan daerah komplek perumahan ini?" "Kita akan pergi lewat pintu belakang, menerobos arena kosong, mengikuti aliran sungai, sampai ke jembatan, melintasinya dan semua akan baik-baik saja. Kita akan keluar dari sini, John." Tidak terdengar keraguan sedikit pun di dalam nada suara Annie, membuat John, entah bagaimana, merasa lega. "Percayalah padaku." Annie menambahkan. "Iya, aku percaya," sahut John. "Namun..." Keraguan yang terdengar jelas. "Kenapa?" Annie penasaran. "Apa menurutmu, aku bisa selamat? Aku tak pernah menggunakan pedang sungguhan selama ini. Aku hanya atlet anggar, maksudku..." "John!" Annie memotong ucapan John, membuat lelaki itu segera membungkam mulutnya, membisu dengan badan membeku. Jantungnya bahkan berpacu dengan sangat cepat. Rasanya, dia juga harus menahan napas saat telinganya mendengar suara derap langkah. John bisa mendengar derap langkah, lambat pada awalnya, lalu bergerak semakin cepat, melewati rumahnya, disertai teriakan, jeritan dan berakhir dengan keheningan yang dasyat. Tangan John bahkan gemetar dan dia nyaris terkencing-kencing, seandainya, Annie tidak memegang tangannya. Mereka mematung, diam, dengan tubuh bergetar, mungkin hanya John yang seperti itu, mengingat, Annie terlihat sangat tenang. Krisis terlewati, sepertinya, manusia yang tadi lewat, sudah mati, atau mungkin, selamat. Entahlah. Mereka tak bisa keluar dan menolong. Bukan tidak berprikemanusiaan, tetapi situasi tidak menguntungkan. Jika zombie yang mengejar mungkin hanya satu, Annie bisa membereskannya, kalau lebih? John tidak mau berakhir seperti nenek Marta. Tidak! Annie menghela napas, membuat John kembali bernapas. "Sudah aman, John." Annie menjelaskan situasinya. "Kamu yakin?" "Ya." Jawaban singkat yang memuaskan. "Apa menurutmu, jika aku tak selamat, aku bisa masuk surga?" Annie mendengkus, "Tidak akan ada surga sampai neraka ini berakhir, John." Jawaban yang masih akal. Mereka diam lagi, mematung dalam diam. "Sudah pukul lima, saatnya kita pergi." Annie bangun dari duduknya, diikuti John, mereka berjalan mengendap-endap, sembari memeriksa sekeliling. "Kamu siap?" tanya Annie sembari memegang knop pintu. John mengangguk. Mereka kan keluar dari rumah, yang selama ini mereka tempati. "Ayo!" Annie memimpin di depan. Mereka pergi dengan mengedap-edap, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara agar tidak menarik perhatian zombie. Hari sudah pagi saat mereka pergi, sehingga tidak kesulitan dalam penerangan. John memakai katana, perang samurai warisan ayahnya sebagai pertahanan, sebilah pedang Ninja Toh 3000. Meskipun penakut, dia berusaha untuk bangkit dan melawan, meski ragu, masih setia bergelayut dalam jiwanya. Sedangkan Annie, masih setia dengan busur panah dan anak panahnya. Dia membawa panah Hanzo, dan sejumlah anak panah di punggungnya. John juga ikut membawakan anak panah untuk Annie, berjaga-jaga jika persediaan anak panah adiknya habis. Anie juga melengkapi dirinya dengan pisau dan golok di pinggang, sebagai persiapan seandainya dia harus menyerang zombie secara cepat di dalam jarak dekat. Dengan ini, petualangan hidup dan mati mereka baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD