FLASHBACK 12 JAM SEBELUMNYA...
Lily melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, dan gadis itu hanya bisa mendesah pelan.
Sudah terbayang di pelupuk mata betapa empuk kasur di kamarnya, apalagi pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke kantor Lily baru saja mengganti seprai dengan material sutra halus berwarna broken white kesukaannya.
Aah, betapa inginnya dirinya pulang ke apartemen!
Sayangnya, ia tidak bisa.
Pak Trevor alias CEO alias bosnya meminta Lily untuk mengatur dinner meeting dengan salah satu klien besar dari Kalimantan yang tertarik untuk bekerja sama dengan Bradwell Company.
Ck. Yaaa, mau gimana lagi. Resiko bekerja di perusahaan besar ya begini, harus siap bahkan selama 24 jam penuh. Pernah juga Pak Trevor menelepon Lily jam 11 malam hanya untuk bertanya apakah jadwal makan siang Beliau besok bisa dikosongkan, karena si bos sedang ada keperluan mendadak yang sangat urgent lebih dari meeting dengan klien paling penting sekali pun.
Yaitu menghadiri pentas seni putra semata wayangnya yang berusia lima tahun, Ethan.
Yap, Pak Trevor Bradwell adalah seorang duda dengan satu putra (yang bandelnya minta ampun, pula). Istri Beliau telah tiada ketika mengalami komplikasi saat melahirkan satu-satunya buah hati mereka.
Kadang kalau dipikir-pikir kasihan juga sih nasib Ethan, sejak bayi tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
Tapi kalau dipikir lagi tentang kelakuan tengil si anak setengah bule itu, rasanya ingin sekali Lily menggeplak kepalanya--kalau saja Ethan bukan anak dari bosnya.
Bagaimana tidak? Entah punya dosa apa Lily kepada Ethan, sejak pertama kali mereka bertemu selalu saja anak kecil itu bikin gara-gara dengannya.
Pak Trevor pernah meminta Lily untuk menjaga Ethan karena pengasuhnya resign, dan pengasuh penggantinya baru akan datang sekitar dua jam lagi.
Dua jam yang bagai neraka bagi Lily.
Ethan pun membuat Lily kelelahan dengan bermain kereta-keretaan, dimana Lily adalah kereta dan Ethan adalah masinisnya. Bisa dibayangkan selama dua jam Lily harus merangkak berkeliling ruangan CEO dimana Ethan terus berada di atas punggungnya.
Belum puas membuat pinggang sekretaris Daddy-nya serasa mau patah, setelahnya Ethan minta ditemani Lily tidur siang. Kebetulan memang di ruangan CEO ada ruang istirahat yang biasa digunakan Pak Trevor untuk rehat sejenak di kala lembur.
Awalnya tak ada yang aneh, Ethan malah terlihat manis sekali ketika minta didongengkan cerita oleh Lily.
Namun karena gadis itu kelelahan menjadi Thomas The Train, malah Lily-lah yang lebih dulu tertidur dibandingkan Ethan.
Dan puncaknya, saat Lily terbangun karena mendengar ponselnya yang bergetar di saku roknya. Ternyata itu adalah telepon dari Pak Trevor yang sedang berada di ruang meeting, dan lelaki itu minta dibawakan berkas-berkas draft perjanjian yang berada di atas meja kerjanya.
Tanpa sempat merapikan diri, Lily pun hanya mengecek Ethan yang masih terlelap, lalu bergegas mencari dokumen yang dimaksud di atas meja kerja Pak Trevor.
Di sepanjang jalan menuju ruang meeting, Lily merasa agak aneh ketika orang-orang menatapnya sembari menahan tawa. Semula ia mengira kalau itu hanya imajinasinya saja, dan memutuskan untuk tak menghiraukan mereka.
Ia terus mengayunkan langkah kakinya menuju ruang meeting yang tidak begitu jauh karena berada di lantai yang sama.
Dan selanjutnya adalah momen-momen paling memalukan sepanjang 24 tahun hidupnya.
Semua orang di ruang meeting menertawakan dirinya saat Lily masuk. Termasuk Celline, si cewek sok cantik bagian keuangan yang juga fans berat Pak Trevor yang ikut menertawakan dirinya dengan gaya yang dibuat-dibuat dan seperti mencari perhatian.
"Kamu baru bangun? Nyenyak tidurnya?"
Lily mengernyitkan keningnya tidak mengerti ketika Pak Trevor menyapa dengan suara baritonnya sembari tersenyum.
"Maksudnya ap--aaa!!!" Lily hanya bisa berteriak kaget ketika pandangannya tak sengaja tertuju pada bagian dinding yang berupa kaca, dimana dia melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi coretan spidol!
Keningnya bahkan ada tulisan cakar ayam, "awas tukang ngorok!"
Ini pasti perbuatan Ethan!
Hei, tapi dia baru tahu kalau ada anak lima tahun sudah bisa menulis, bukannya lima tahun itu masih TK?
Hm, mungkinkah Ethan itu jenius? Eh, terus kenapa aku malah jadi memuji si anak setan?
"Sa-sayaa... permisi dulu, Pak!!" Dan tanpa menunggu jawaban dari bosnya, Lily pun lari terbirit-b***t dari ruang meeting diiringi tawa dari semua orang.
Dasar bocah tuyul! Bisa-bisanya dia menghancurkan harga diriku!!
Ingin rasanya Lily mencubiti kulit putih Ethan sampai bocah setan itu menangis jejeritan biar kapok. Taaapiii~~ mana mungkin??
Ish, dia masih menyukai salary dan benefit yang besar di Bradwell Company!
Terpaksalah Lily hanya bisa mengelus d**a dan menahan geram atas tingkah nakal anak bosnya itu.
Meskipun Pak Trevor menyuruh Ethan untuk meminta maaf pada Lily, sayangnya hal itu malah menjadi permulaan dari rentetan perbuatan jahil bin tengil si anak setan itu.
Setiap kali mereka bertemu, ada saja kenakalan Ethan yang membuat Lily menahan diri untuk tidak menjewer kuping bocah bule menyebalkan itu.
Permen karet yang sengaja ditempelkan di rambut Lily, lem di kursinya, bubuk merica yang ditaburkan di mejanya dan membuat Lily bersin-bersin hingga hidungnya memerah seperti badut.
'Tuhaan, berikanlah aku kesabaran tingkat tinggi, please!!' Doa Lily dengan khusyuk setiap kali menerima kesialan itu.
"Lily, kamu sudah siap?"
Suara bariton maskulin itu melemparkan lamunan Lily kepada kenyataan saat ini.
Tanpa sadar ia malah melamun dengan pikiran melayang kemana-mana sembari menunggu Pak Trevor bersiap untuk berangkat bersama menuju acara rapat.
Lily segera berdiri dengan membawa tas dan beberapa map berisi dokumen yang diperlukan. "Siap, Pak. Kita berangkat sekarang?"
Trevor mengangguk tanpa suara. Lily memang sudah terbiasa dengan bosnya yang memang irit suara ini. Pak Trevor tipe yang pendiam, lebih suka banyak bertindak daripada bicara.
Kelihatannya saja sih orangnya menyeramkan, meskipun teramat sangat tampan. Tapi kalau sudah mengenal Beliau, akan tahu kalau Pak CEO ini sangat baik dan cukup perhatian dengan orang lain.
Lily memperhatikan manik biru safir Pak Trevor yang terlihat sedikit lelah dari balik kacamata LV-nya yang mahal dan modis.
"Saya bawakan latte hangat untuk Anda," ucap Lily seraya menyerahkan sebotol termos kecil kepada bosnya. Latte adalah jenis kopi yang disukai bosnya itu, yang telah sengaja Lily siapkan sebelumnya karena telah mengira kalau Pak Trevor pasti lelah bekerja tanpa henti sejak pagi.
"Thanks, Lily. Kamu perhatian sekali," ucap Trevor seraya terkekeh kecil menerima termos kecil berwarna putih itu.
Lily hanya membalasnya dengan senyum, seraya bersama-sama melangkah menuju lift. Tidak banyak percakapan yang terjadi selanjutnya, hingga mereka sama-sama memasuki mobil dan menuju salah satu hotel milik Bradwell Company dimana acara rapar terlaksana.
***
"Cincin di jari manis sebelah kiri? Jadi kamu sudah bertunangan ya?"
Lily menatap jemarinya dimana sebuah cincin berlian tengah melingkar di sana, dan mengulum senyum saat mulai membayangkan Rama, lelaki yang sangat ia cintai yang juga tunangannya.
Pertanyaan barusan dilontarkan oleh salah satu kolega bisnis Bradwell Company, saat acara rapat sekaligus makan malam mereka barusan telah selesai.
Kesepakatan kerjasama telah tercapai dengan harga yang pantas dan sangat memuaskan kedua belah pihak, hingga klien tersebut mengajak Trevor dan Lily untuk menikmati sedikit minuman red wine sebagai selebrasi kerjasama mereka.
Pak Trevor memang sudah biasa menenggak minuman beralkohol, namun tidak halnya dengan Lily. Maka gadis itu pun menolak secara halus ketika dirinya diajak minum.
"Benar, Pak Ken. Saya memang sudah bertunangan," sahut Lily sambil tersenyum kepada Kenneth Johan, CEO dari Johan Constructions, perusahaan jasa konstruksi yang akan membangun hotel baru milik Bradwell Company di daerah Kalimantan.
"Waah... selamat, Lily! Aku jadi penasaran bagaimana rupa calon suami dari wanita secantik kamu," ucap Ken sambil terkekeh pelan.
"Ayo kita rayakan. Hanya seteguk saja, Lily. Ayolah," bujuk lelaki bermata sipit itu sembari memaksa Lily menerima segelas cairan merah pekat.
"Baiklah. Hanya seteguk." Lily pun akhirnya menyerah karena sejak tadi Pak Ken memang selalu memaksanya.
Sementara dari meja seberang, Trevor hanya mengernyit melihat sekreatarisnya yang menerima gelas berisi minuman dari Kenneth.
"Seharusnya dia tidak menerimanya," guman Trevor seraya menghela napas.
Semoga saja Lily bisa membatasi diri dan tidak lepas kontrol.
***
"Pak Trevor, kenapa kok bisa sih punya anak laki-laki kelakuannya tengil banget kayak tuyul magang? Padahal Bapak kan baik, sopan, ramah, ganteng lagi! Yakin Ethan itu anak Bapak? Bukan hasil mungut di pojokan rak barang diskonaan??"
Trevor hanya bisa mendesah lelah mendengar racauan sekretarisnya yang sedang teler hanya karena menenggak tiga gelas red wine.
Kadar toleransi alkohol Lily ternyata rendah sekali, Trevor saja yang telah menghabiskan tujuh gelas masih bisa tegak berdiri meskipun agak sedikit pusing.
Saat ini Trevor sedang memapah gadis itu menuju ke salah satu kamar di hotel milik Trevor. Karena Lily mabuk, maka Trevor selaku pemilik gedung pun memutuskan untuk membiarkan Lily menginap di salah satu kamar daripada membawa gadis itu pulang ke rumahnya.
Trevor hanya tidak ingin repot-repot mengantarkan Lily pulang ke apartemennya yang cukup jauh dari lokasi meeting.
Lelaki itu membuka pintu kamar dan membawa Lily masuk ke dalam, untuk dibaringkan di atas ranjang empuk.
Namun lelaki tampan berkacamata itu pun sontak terkesiap kaget ketika sepasang tangan berkulit kuning langsat halus menarik lehernya mendekat, hingga jarak wajah Trevor kini kurang dari setengah jengkal dari wajah Lily.
'Cantik,' guman lelaki itu dalam hati, saat dirinya menatap seraut wajah yang begitu dekat dengannya.
"Pak Trevor belum jawab pertanyaanku, loh. Jadi hukumannya..." Lily kini mengalungkan kedua tangannya di leher Trevor, yang membuat lelaki itu kewalahan menjauhkan tubuh mereka yang kini telah saling menempel.
Jantung Trevor berdegup dengan kencang kala melihat sorot sayu di manik coklat Lily yang rupawan.
"Hukumannya... Pak Trevor harus cium aku. Sekarang," bisik gadis itu dengan suaranya yang renyah menggoda membelai telinga Trevor.
Seorang lelaki normal tentu saja tidak akan menolak tawaran seorang gadis cantik, termasuk juga Trevor. Namun ia juga tahu bahwa Lily sedang mabuk dan tak sadar akan semua perbuatannya.
Seharusnya Trevor menolak. Ya, seharusnya.
Namun lelaki itu sejatinya memang tidak kebal akan pesona sekretarisnya, dan selama ini dirinya pun diam-diam mengagumi Lily.
Maka ketika Lily meminta dirinya untuk mencium bibir gadis itu, maka itulah yang dia lakukan.
Sayangnya, Trevor merasa bahwa ciuman saja tidak cukup untuk meredakan hasratnya yang telah lama terpendam kepada Lily.
Ia harus memiliki tubuh gadis itu, persetan dengan apa pun yang terjadi esok hari. Persetan dengan Lily yang telah bertunangan dengan lelaki bernama Rama.
Ya, malam itu... sesungguhnya Trevor sama sekali tidak mabuk. Ia melakukannya secara sadar, menyentuh tubuh Lily dengan beringas untuk melepaskan kehausannya akan tubuh wanita.
Meskipun Lily telah mengira bahwa mereka berdua sama-sama mabuk sehingga tak ada yang bisa dipersalahkan di sini, dan Trevor pun tak berkata apa pun untuk menampik hal itu.
Karena sejak semalam, Trevor pun tahu... bahwa ia akan melakukan apa saja untuk merebut Lily dari tunangannya.