Prolog

872 Words
"Bagaimana keadaan calon anak kami, Dok?" Tanya Mas Agam. "Keadaan janin dan ibunya sehat, Pak. Ibu Hani bisa melakukan persalinan normal sesuai yang diinginkan," jawab Dokter Martha. “Alhamdulillah, terimakasih Dok." Mas Agam tersenyum kepadaku mendengar jawaban Dokter Martha, Dia selalu bersemangat saat jadwal check up rutinku. Katanya sudah tidak sabar bertemu calon anaknya. “Iya sama-sama pak, Saya resep kan dulu vitamin untuk Ibu Hani." Setelah itu suster membantu membersihkan perutku, dan meminta Mas Agam membantuku turun dari ranjang. Hari ini aku memeriksakan kandunganku, yang sudah berusia delapan bulan, aku dan Mas Agam tidak pernah bertanya jenis kelamin calon anak kami kepada Dokter Martha, sengaja agar menjadi kejutan saat dia lahir ke dunia ini. Selesai memeriksakan kandungan, Mas Agam langsung mengajakku pulang ke rumah, Dia bilang agar aku bisa segera beristirahat, sedangkan Mas Agam akan melanjutkan kegiatannya mendekor kamar calon anak kami. "Sayang nanti malam pengen makan apa? Biar mas aja yang masak." "Aku pengen soto ayam, boleh gak, Mas?" jawabku sambil mengelus perut buncitku. "Boleh dong, apa sih yang enggak buat Ibuk," jawab Mas Agam sambil mengerlingkan mata jahil kepadaku. *** Setelah Mas Agam berangkat kerja, perutku mulai mulas dan nyeri di bagian punggung namun tingkat nyerinya masih sangat rendah. Aku belum memberitahukan pada Mas Agam, karena aku mengira ini kontraksi palsu lagi seperti kemarin. Sore hari saat interval kontraksi yang semakin sering aku baru menghubungi Mas Agam, memberitahukan padanya kalau sudah waktunya aku melahirkan. "Assalamualaikum, sayang. Ada apa?" Jawab Mas Agam. "Waalaikumsalam, Mas. Kayaknya aku mau lahiran, perutku sudah mulai nyeri dari tadi." "Astaghfirullah, Sayang, yang tenang ya mas pulang sekarang," jawab cepat Mas Agam. Aku sudah tidak tahan lagi, nyeri perutku tak tertahankan. Sedangkan, Mas Agam sudah satu jam belum juga sampai rumah. Aku memutuskan menghubungi Grizelle untuk mengantarku ke rumah sakit. "Hanifa Arsy kenapa baru menghubungi aku sih kebiasaan banget! harusnya saat pertama sakit kamu kabari aku. Biar langsung aku antar kamu ke rumah sakit," omel Grizelle sambil membantuku berjalan menuju mobil. *** Dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku meminta Grizelle terus menghubungi Mas Agam, tapi tetap saja tidak ada jawaban darinya. “Uhhhhh, huuuuu, uhhhh … !” Aku meringis saat kontraksi mulai datang. “Sabar ya Han bentar lagi sampe rumah sakit,” ucap Grizelle menenangkanku. Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung dibawa ke ruang persalinan, ternyata aku sudah pembukaan enam. "Zelle tolong hubungi lagi Mas Agam ya siapa tau diangkat, suruh langsung ke rumah sakit saja," pintaku pada Grizelle, sambil meringis menahan sakit. "Iya, Aku keluar dulu sebentar gak papa kan Han?" Sampai saatnya aku sudah siap melakukan persalinan, Mas Agam belum juga datang. Sebagai gantinya Grizelle yg setia menemaniku selama proses persalinan berlangsung. Setelah hampir 1 jam lebih berjuang mengejan, akhirnya anakku lahir dengan sehat dan selamat. "Selamat ya Han, bayinya perempuan cantik sekali mirip ibunya," ucap Dokter Martha. Aku mengangguk dan tersenyum saat melihat anakku, yang dibawa oleh suster setelah dibersihkan. Grizelle mendekat ke arahku, ikut menatap penuh haru anak perempuanku yang sangat cantik. "Zelle, tolong hubungi Mas Agam lagi ya. Bilang kalau aku sudah melahirkan!" "Aku coba hubungi lagi ya, semoga kali ini diangkat Mas Agam." *** Pintu ruangan bersalin terbuka aku berharap Mas Agam yang datang Ternyata, bukan dia tapi Grizelle bersama Bunda Aisyah dan Tante Dean. Bunda Aisyah mendekat, lalu memelukku. “Selamat ya nak, alhamdulilah persalinannya lancar. Anak dan cucu Bunda sehat.” “Terimakasih Bun, Bunda kesini sama siapa?” “Tadi di jemput Bu Dean, katanya biar cepat sampai rumah sakit. Soalnya Nak Grizelle tadi waktu telpon, bilang Nak Agam belum sampai rumah sakit.” “Iya, Tante tadi khawatir sama kamu. Soalnya Agam belum sampai sini. Takut kamu sendirian, meskipun ada Grizelle tapi Tante gak percaya sama anak pecicilan itu,” saut Tante Dean mendekat ke arahku kemudian memelukku. Grizelle yang merasa tidak terima dengan perkataan maminya hanya bisa mendengkus pasrah, tidak akan pernah juga dia menang berdebat dengan sang mami. “Selamat ya Sayang, sekarang udah jadi Ibu dan Tante udah jadi Nenek.” “Iya Tan, makasih. Udah mau repot kesini dan jemput Bunda.” Tante Dean melotot galak kepadaku. “Apaan sih Han, kamu ini kayak sama siapa aja. Kamu kan udah Tante anggap anak sendiri!” seru beliau. “Iya ... iya Tan maaf ya,” jawabku sambil tersenyum pada Tante Dean. *** Sekarang aku dan anakku sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tadi kami berpisah selama 3 jam. Karena dia harus di observasi terlebih dahulu. Kini hanya ada Bunda yang menemaniku, Grizelle dan Tante Dean pamit pulang karena ada keperluan. “Mas Agam kok belum sampai juga ya Bun, apa terjadi sesuatu padanya?" “Husstt ... gak boleh ngomong gitu nak! berdoa yang baik-baik buat Nak Agam. Siapa tahu sedang macet di jalan.” “Tapi jarak kantor dan rumah sakit kan deket Bun, meskipun macet juga gak bakal selama ini sampainya.” “Berdoa aja ya, semoga Nak Agam cepat sampai sini.” Meskipun Bunda berkali-kali menenangkanku, tetap saja perasaanku tidak enak. Tidak biasanya Mas Agam seperti ini. Sekalipun terjebak macet, setidaknya Mas Agam bisa memberi kabar lewat telepon. Ada apa dengan Mas Agam? Kenapa Mas Agam belum sampai rumah sakit dan tidak memberiku kabar? Apa dia tidak ingin melihat anaknya? Anak yang sudah dinantikannya selama sembilan bulan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD