11. Harga diri

785 Words
Mencoba kuat di tengah keterpurukan, kucubit lengan hingga membekas saat tak tau kemana rasa itu harus kutorehkan. Aku menangis sejadi-jadinya, berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini juga. Mengapa harga diri harus dinilai dengan materi? Apakah semurah itu diriku? Mereka semakin merendahkan. Lonceng berbunyi pertanda masuk kelas, mataku yang sembab menjadi pusat perhatian. Sekarang adalah mata pelajaran favorit-Bahasa Inggris. Dimana setiap kali aku belajar bahasa Inggris ibu guru Mila memujiku karena aku yang cukup pandai dalam berbahasa Inggris. Namun, aku semakin kacau. Saat guru favoritku memasang wajah masam kala melihatku. Senyum yang biasa terukir di bibirnya, lisan yang sering memanggil namaku kini hanya terdiam. Aku pun kecewa, hal itu tak luput dari sahabatku. "Sabarlah." Kata Pricilia, aku tersenyum "Memang sudah sepantasnya." Kataku menjawab, walau dengan air mata yang berlinang. Aku kacau, saat semua orang menyudutkan ku. Desas-desus kasus yang mengenaiku dengan Irgan sampai ke permukaan. Siswa-siswi membicarakan ku, tak jarang guru pun seperti itu. Saat aku berjalan hendak mencari angin diluar, telingaku mendengar mereka yang mengatakan bahwa aku murahan. Kedua orangtuaku menjualku, dan mengatakan gila harta. Ku pejamkan mataku yang perih menahan tangis, desakan didada tak karuan rasanya. Mehanah rasa sakit sendirian itu sangatlah sulit, meski bagaimanapun inilah pilihanku. Melanjutkan pendidikan, ketimbang membina rumah tangga bersama pengecut. Kini aku menjadi gadis yang pendiam, tertumpuk beribu masalah. Mengikhlaskan adalah jalannya, melupakan adalah tekadku. Tuhan pasti memberiku jalan yang baik, melalui masalah ini aku bisa melihat mereka yang tulus mengenalku. Bersamaan dengan air mata yang jatuh, aku mulai bangkit melawan semuanya. Mereka yang menghujat, menindas dan menganggapku remeh. Mereka hanya tidak pernah berada di posisi sepertiku, seandainya aku bisa memilih hidup. Aku ingin hidupku selalu bahagia dan baik-baik saja tanpa luka. Inilah garisku, sekarang waktunya aku melewati garis yang berkelok-kelok. _________________________________________________ Pulang sekolah seperti biasanya. Satu rumah yang mendiamkanku. Aku terima semuanya, toh aku memang salah. Ku letakan tas itu di atas ranjang, mengganti pakaianku dengan pakaian santai. Rasanya enggan keluar kamar, saat mereka tak mempercayaiku lagi. Ingin rasanya menanyakan hal tersebut pada ibu. Mengapa aku harus dijual? Apa itu alasan aku harus memanipulasi semuanya?. Aku menggeleng, air mata membanjiri pipi. Dulu, aku selalu bermimpi menjadi mereka yang senantiasa di kagumi. Tuhan menjawab doaku, kini aku menjadi pusat perhatian pada keburukan. Ya Tuhan, andai saja aku dapat memutar waktu. Akan kuhapus tiap perjalanan hidupku bersama Irgan. Kakiku berjalan melihat kalender yang terpajang di dinding kamar. Harusnya hari ini aku sudah datang bulan. Ini sudah lewat tiga hari dari jadwalku, ku gigit bibirku karena takut. Aku benar-benar bodoh mengenai hal tersebut. Yang kutahu, hanya Irgan melakukanya padaku. Aku benar-benar tidak memanipulasi semuanya. Irgan benar-benar melakukannya padaku. Mengapa mereka tak percaya? Dan justru membela lelaki b***t itu? Haruskah aku membuktikannya? Benar-benar ketakutan jika aku akan mengandung anak Irgan. Terlebih lagi kedua orang tua kami telah memutus hubungan. Ibu mendatangi ku di kamar, ia menanyakan hal yang sangat sensitif bagiku. "Minumlah ini agar kau cepat datang bulan." Aku hanya mengamati botol kaca yang bertulisan nama produk. Setahuku, produk itu memang untuk melancarkan datang bulan. Mungkin, ibu memikirkan apa yang ku pikirkan. "Besok Tante mu akan membawakan buah nanas muda untukmu." Aku terkejut, tetapi ekspresi ku tetap sama saja. Kututup segala keterkejutan itu, mengapa mereka ingin membunuh jika memang terdapat janin di perutku. Ya Tuhan, ku mohon jangan. "Ya." Jawabku seadanya. Ibu meninggalkanku yang lagi-lagi menahan sesak di d**a. Aku memang salah tapi apakah tidak ada cela sedikitpun keberanian dalam diriku? Mengapa mereka benar-benar memojokkan. Ku genggam dengan erat botol itu, mau bagaimana lagi minuman ini harus ku tenggak sampai habis. Rasanya seperti ramu-ramuan yang membuat lidah ku merasakan rasa yang asing. Disini aku hanya bisa terdiam mengamati suasana di luar melalui jendela, ponselku telah di teras oleh ayah dan ibu mereka membiarkanku dalam kesendirian dan kesedihan. Padahal aku benar-benar butuh teman curhat, setidaknya mengerti di keadaanku dan tak melihat keburukan yang kulakukan. Rasanya hari berjalan sangat lambat, masalah dalam hidupku seiring bertambah. Namun aku mulai bisa bangkit secara perlahan. Mungkin saja Tuhan ingin menjadikanku sosok yang kuat, bukan si anak manja lagi. Mungkin seperti itu.. _________________________________________ Hancur hidupku menuruti segala angan-angan Irgan. Aku tak habis pikir akan diriku yang mudah di tipu daya olehnya. Ku pikir Irgan mencintaiku dengan tulus ternyata hanya karena nafsu. "Ingin ke kantin?" Aku menggeleng menjawab pertanyaan Mila "Kenapa?" Tanya Niluh "Kalian duluan saja." Kataku, mereka mengerti dengan keadaanku sekarang dan memilih mengangguk lalu meninggalkanku yang lagi-lagi hanya berdiam diri di kelas. Kirana menjadi sangat membenciku, yang dulunya masih ingin mengobrol walau sedikit namun sekarang nihil. Namun, mereka semakin melupakan masalahku dan bersikap acuh, aku senang. Walau tak jarang ada yang terang-terangan menghujatku semua kutelan bagai tak perlu memilahnya lebih dulu. Kelak aku yakin, hidupku pasti akan bahagia dan mereka yang menghujatku terbelalak melihat kebahagiaan yang ku sandang. Ini hanya masalah waktu, takdir dan tekad.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD