BAB 2

1209 Words
            “Tiiiinnn...Tiiiinnn...Tiiiiinnnn....”             “Suara klakson siapa sih pagi-pagi berisik!” gerutuku, kemudian menguap lebar. Aku mengerang halus seraya meregangkan tangan dan kaki. Beranjak dari tempat tidur lalu membuka tirai jendela kamar untuk melihat motor siapa yang berani-beraninya mengganggu gendang telingaku sepagi ini.             “Agni,” gumamku, setelah membuka gorden. Pupilku melebar sempurna.             Dengan terburu-buru dan mengabaikan keadaanku yang baru bangun, aku menghampiri Agni yang tampak santai nangkring di atas motornya.             Agni mengangkat sebelah alisnya, “Kamu mau ke kafe pakai baju tidur?” tanya Agni dengan terheran-heran.             “Aku baru bangun. Kamu tunggu di sini. Aku mandi dulu ya.” kataku dengan nada  cepat dan berbalik badan, berlari masuk ke rumah. Aku sempat mendengar Agni mendecakkan lidah dan mendengus kesal. ***             “Ni, hari ini aku tidak lembur, kan?”  tanyaku sesaat setelah sampai di kafe.             “Kamu shift pagi, Git.” jawabnya seraya memakai topi. Lalu, Agni memasangkan topi hijau dengan tulisan Ama-G di atas kepalaku.             “Anak baru ya?” tanya seseorang dengan ramah.             “Iya.” sahutku melempar senyum semanis mungkin.  Aku membaca name tag-nya, Sarah.             “Ya sudah, nih, kamu bawa ini ke meja 18.” Gadis itu memberikan nampan yang sudah diisi dua cangkir milk tea. Apa-apaan ini? Baru datang sudah disuruh seenaknya. Aku menatap Agni. Tatapan mataku itu bisa diartikan, ‘apa aku harus menurutinya atau tidak?’ Agni yang cukup cerdik membaca bahasa mata, mengangguk. Aku meraih nampan itu.             “Kamu, kan, telat. Jadi anggap saja ini perkenalan.” katanya dengan senyum sinis.             Telat? Oh ya, aku terlambat 30 menit. Oke, tidak masalah. Anggap saja ini perkenalan karakter, Sarah.             Setelah diphp-in puluhan perusahaan selama berbulan-bulan dan kemungkinan besarnya ditolak, aku merasa lemah dan tidak percaya diri. Penolakan itu membuatku merasa menjadi manusia yang paling tidak dibutuhkan di bumi. Khususnya dunia kerja. Sampai akhirnya, Agni membawaku ke tempat kerjaannya. Menjadi seorang pelayan kafe. Di hari pertama ini, aku terlambat 30 menit. Meskipun masih pagi tapi pengunjung sudah banyak yang datang. Sepertinya kafe ini memiliki daya tarik tersendiri untuk menarik pengunjung.             Aduh! Aku merasa sepatuku seperti menginjak permen karet. Terasa sepatuku menempel di lantai ketika berjalan. Aku menghentikan langkahku dengan nampan masih di tangan. Aku menoleh ke arah kaki kanan yang  terangkat. “Ah, iya, permen karet.” Seruku melankolis. Dengan mata yang belum sepenuhnya terfokus, aku melangkah.             “BRAAAKKK...!!” Mataku melotot melihat nampan terjatuh kasar dari tanganku. Bahkan, aku nyaris terjatuh seperti nampan dan dua gelas cangkir itu. Sontak semua mata tertuju kepadaku. Aku belum bisa menggerakkan anggota tubuhku karena masih terkejut.             “Ma’af.” Lelaki bertubuh jangkung dengan rahang kukuh dan kulit putih seputih s**u menatapku dengan tidak fokus, sebuah ponsel menempel di telinga kanannya. Dia tampak acuh tak acuh seakan apa yang terjadi barusan seperti angin lewat saja.             “Ma’af, ya.” katanya lagi dengan wajah menampakkan sedikit penyesalan, penyesalan itu tertutup oleh ekspresi wajahnya yang mayoritas tenang dan datar. Aku masih memelototinya tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tidak tahu apa yang menggumpal di dadaku sampai kalimat bernada tinggi keluar.             “Anda itu bagaimana sih?! Kalau jalan lihat-lihat dong!” Kataku marah setelah sadar atas apa yang terjadi barusan. Dan aku juga sadar kalau gumpalan di dadaku itu adalah emosi.             “Ma’af, saya tidak sengaja.” Dia berlalu tidak memedulikan aku dan dua cangkir milk tea yang jatuh itu. Karena merasa diabaikan, aku menarik pergelangan tangannya dengan kasar.             “Anda mau pergi?! Tidak mau bertanggung jawab, hah?!” Aku masih mencengkeram pergelangan tangannya. Pupilku melebar ngeri. Aku tahu saat ini semua mata tertuju pada aku dan dia. Aku tidak memedulikannya. Ini masalah harga diri!             “Nanti saya ganti kok. Saya lagi buru-buru ada urusan, Ma’af.” katanya lagi. Entah berapa kali dia bilang ma’af, tapi wajahnya tampak arogan dan menyebalkan.             “Gita, ada apa?” tanya Agni yang tiba-tiba muncul di sampingku. Dia tampak panik.             “Orang ini sudah memecahkan dua cangkir milk tea, Ni.” Jawabku sebal. Agni menatapku dan laki-laki itu secara bergantian dengan tatapan bingung.             “Nanti saya ganti kok, Mba. Saya lagi buru-buru ada keperluan.”             “Oh iya, Mas. Git, mending kita beresin itu dulu, deh.” Agni menunjuk tempat di mana cangkir-cangkir itu pecah. Aku masih menatap laki-laki ini dengan tatapan tajam. Dia menoleh ke arah pergelangan tangannya yang tanpa sadar masih aku cengkeram. Refleks, aku langsung melepaskannya. Dia tersenyum tipis dengan salah satu ujung bibirnya.             Kalau kejadian seperti ini dilihat dari jarak jauh pasti di pikiran orang adalah aku pacar si pria jangkung ini dan pria jangkung ini menghamiliku. Dia menolak bertanggung jawab, aku mencengkeram tangannya, menahan kepergiannya sebelum ada kepastian dengan status ayah dari janin yang kukandung. Kurang lebih seperti itu persepsi orang kelika melihat aku dan si pria jangkung ini dari jarak jauh.             “Awas ya, kalau kamu kabur.” Aku menatapnya penuh ancaman. ***             “Makanya kalau kerja hati-hati, ceroboh!” kata Sarah, berlalu pergi ketika aku hendak masuk ke ruangan pemilik kafe yang sekaligus merangkap sebagai manajer kafe.             Saat aku masuk ke ruangan manajer kafe sekaligus pemilik kafe Ama-G. Aku mendapatinya sedang mengobrol asyik dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Setengah wajahnya tertutupi  rambut bergelombang aneh. Semakin mendekat, aku merasa wajahnya tidak asing.             Aku membelalak terkejut ketika melihat wajahnya dengan begitu jelas.             “Dia?” Aku terperangah tak percaya. ***              “Hahaha...” Dia tertawa puas.                                                   Gladys masih sama seperti tujuh tahun yang lalu. Mencemoh dan mengejek segala apa yang terjadi denganku. Teman sekelas semasa SMA yang paling menyebalkan di dunia. Gladys pernah mengejek mantan kekasihku semasa SMA dulu. Dia mengatai mantanku itu, ‘Mumi Modern’. Apa-apan dia? Mengatai orang seenaknya saja!             Aku sengaja kuliah di universitas yang berbeda dengannya agar tidak bertemu dengan seringai jahatnya lagi. Tapi Tuhan mempertemukan aku dan dia kembali setelah terpisah tujuh tahun. Cerita ini agak mirip dengan sinetron. Dua orang yang berbeda kasta dipertemukan kembali dalam keadaan gadis yang satunya miskin dan gadis yang satunya kaya. Biasanya di dalam sinetron, gadis miskin itu pemeran utama yang baik hati dan tidak sombong. Sedangkan si gadis kaya, anatagonis yang selalu ingin menjatuhkan si gadis miskin, tanpa aku memberitahu dunia, harusnya dunia sudah tahu itu. Ckck.             “Kamu itu kan sarjana kok bisa ya, kerja di kafeku sebagai seorang pelayan,” Gladys mendecakkan lidah sebelum meneruskan kalimatnya, “Aku prihatin dengan apa yang terjadi sama kamu.” katanya dengan mimik wajah yang mengekspresikan rasa puas karena melihat aku sebagai pelayan kafe miliknya. Dia mengibas-ngibaskan rambut bergelombang aneh miliknya.             “Terima kasih sebelum dan sesudahnya. Tapi, asal kamu tahu ya, aku ini sebenarnya sedang belajar untuk menjadi seorang entrepreneur seperti kamu.” ucapku dengan cukup santai, jelas aku berbohong.             “Entrepreneur?” Sebelah alis Gladys terangkat.             “Aku sedang melakukan riset lapangan. Bukankah mahasiswa dari jurusan ekonomi selalu dididik untuk menjadi seorang Entrepreneur.” Aku sengaja memanas-manasinya. Aku sadar ini kebohongan yang bisa saja akan menjatuhkanku kapan pun jika takdir menginginkannya. Aku tidak mau diam saja seperti dulu, aku sudah dewasa bukan anak SMA lagi. Setidaknya, aku bisa membalas sindirannya dengan kalimat yang cerdas dan berkelas.             “Kamu masih mengizinkan aku kerja di sini, kan?” tanyaku, mencondongkan wajah ke wajah Gladys.             “Ma’af. Tapi, aku tidak akan mengizinkan pesaingku untuk mencuri banyak hal di kafe Ama-G.” Galdys mundur satu langkah dan melipat tangannya di d**a.             “Aku ini temanmu, sebagai seorang teman sudah kewajibanmu untuk membagi ilmu padaku. Aku tidak mencuri, hanya belajar kok.” Aku tersenyum secantik mungkin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD