Tersingkap

1173 Words
"Aarrqqhhhhh ... arhgggghhh ...." Ibu itu terus berteriak sekencang-kencangnya hingga habis suaranya. Hingga sampai pada akhirnya ia pun tidak bisa mengucapkan apa-apa. Sepuluh menit dalam penyiksaan, akhirnya perempuan jahat itu meninggal, terbakar bersama anak laki-lakinya. Sungguh miris kejadian yang menimpa mereka, tak ada yang mendengar ketika meminta pertolongan. Hingga akhirnya para penduduk sekitar bisa merasakan ada hawa sangat panas yang membuat rumah mereka terasa sempit. Seolah sesak dan sulit bernapas. Ini semua karena kabut dari api yang berkobar-kobar di rumah Anjana Lestari. Sementara di lingkungan tempat Lestari tinggal ada beberapa rumah warga yang berjejer namun agak berjauhan. Ada beberapa tetangga yang merasakan tidak nyaman karena banyak keringat dan merasakan hawa panas. "Pak bangun! Apa bapak tak merasakan gerah? Aku basah kuyup karena keringat. Rumah kita terasa panas banget l. Aku kesulitan bernapas, Pak!" Perempuan ini mendorong tubuh suaminya. Ia berulang kali membangunkan laki-laki yang tertidur pulas. "Ehhhh," suaminya menolak untuk bangun. "Pak! Buka mata, ayo bangun dulu. Ini loh, kenapa panas begini." Ia terus mendorong tubuh suaminya. Memukul punggung suaminya berkali-kali. "Nyalain kipas saja." Masih terlihat malas dan matanya masih terpejam karena sangat mengantuk. "Pak, bangun dulu! Bapak nyium aneh tidak? Masak ya, larut malam ada bauk gini ya." "Ha! Bau aneh, kok seperti bau gosong-gosong.'' Ia membuka matanya dan terbangun. "Iya, kayak bau sate tapi gosong." "Tapi, gak tahu buk! Bisa jadi orang nyate tapi gosong," sahut suaminya. "Bukan kalau nyate," sahut istrinya. "Coba Ibu cari. Siapa tahu, ibu lupa matiin kompor." "Enggak, Pak! Ini masih tengah malam, Ibu tidak sedang memasak." "Lalu apa?" tanya laki-laki itu. "Coba lihat keluar, jangan-jangan ada kebakaran." "Waduh! Apa jangan-jangan ada kebakaran?" "Buruan kita lihat," ajak sang istri. "Iya, kayaknya kebakaran. Bapak juga mendengar suara ledakan." "Ibu juga, seperti ada barang terbakar." Mereka segera bangkit dari tempat tidurnya dan mencari sumber aroma itu. Membuka jendela dan menyaksikan kobaran api di rumah Lestari. "Astaga, ada kebakaran itu, kan rumahnya Lestari. "Iya, Bu!" "Pak, buruan minta bantuan warga." Istrinya histeris melihat ada kebakaran. "Iya, Buk! Bapak cari bantuan," sahut bapak itu. Bapak itu segera keluar dan memukul kentongan di pos penjagaan yang kebetulan tidak jauh dari rumah.. "Ibu takut, Pak." Ibu itu mengikuti suaminya karena ketakutan. "Minta tolong ke warga Buk!" "Iya, Pak!" "Kebakaran ... kebakaran ... kebakaran ...." Memukul kentongan di pos ronda, memberikan pengumuman kepada lingkungan sekitar. Waktu itu malam sudah sangat larut dan warga sekitarnya sudah tertidur pulas. Kejadian baru diketahui warga sejam kemudian. Dan warga berusaha memadamkan api namun tidak bisa. Karena angin terlalu kencang membuat api semakin membesar, jelas saja warga harus menjauh untuk menyelamatkan diri. "Tidak mungkin selamat itu, api saja sudah menggunung. Mustahil kita bisa menembus api itu," kata bapak RT. "Iya, Pak RT, tidak mungkin mereka bisa selamat. Api semakin membesar tertiup angin." "Iya itu." "Di dalam rumah itu banyak korden jendela, jelas saja cepat menyambar ke beberapa arah. Atap plafon rumah juga dari papan kayu, tembok kamar di rumah itu juga dari papan. Gimana ini nasibnya Nak Anjana, kasihan," kata tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumah Lestari. "Tapi listrik sudah padam, jadi api tidak merembet ke rumah Bapak to!" sambung pak RT. "Sudah di matikan dari PLN. Syukur gak sampai ke rumah warga lainnya." "Kita sudah berusaha memadamkan api tapi gak bisa Pak," kata warganya yang berkerumun di sekitar rumah Anjana. "Pemadam kebakaran dalam perjalanan, agak lama karena kondisi jalan di sini agak sulit di jangkau mobil pemadam." Pak RT menjelaskan kepada warganya. "Syukurlah, biar memadamkan api supaya tidak merembet ke pemukiman warga," kata pak RT. "Tapi nyawa Lestari dan ibunya tidak mungkin diselamatkan," lanjut ibu RT. "Benar Bu, abangnya juga tidak mungkin tertolong," sambung warganya. "Aduhhhh, ngeri aku. Takut banget Pak, mana bisa tidur kita, kalau ada warga kita yang meninggal dengan cara seperti ini," kata bu RT sembari ketakutan. "Kita berdoa saja, buat seluruh penghuni rumah itu," ucap salah satu sesepuh di situ. "Iya, Pak!" sahut istrinya. "Pak, mereka bakal jadi hantu loh, ibu takut." "Ibu ini kok mikir seperti itu," kata pak RT. "Kan, meninggalnya seperti itu loh, gimana gak jadi hantu," lanjut ibu RT. "Ibu RT malah bikin kami ikutan takut!" celetuk ibu-ibu di sebelahnya. "Saya ini jireh, penakut buk." "Sama Bu, saya juga penakut!" "Bakal susah tidur dan tidak berani keluar malam," ucap bu RT. "Sudah-sudah! Malah ngobrolin yang tidak-tidak. Eh, Bu. Yang bikin takut itu dari pikirannya Ibu sendiri. Sebenarnya tidak ada apa-apa, berhubungan Ibu sudah mikir aneh-aneh, bisa muncul hantu! Hantu yang di ciptakan pikiran Ibu sendiri," sambung pak RT. Warga yang berkumpul masih menunggu pemadam kebakaran datang. "Bapak ini malah nakutin Ibu, marahin juga." "Bapak itu tidak marahin atau nakutin Ibu tapi Ibu sendiri yang sudah punya pikiran takut. Malu didengerin warga, masak iya, istrinya Pak RT kok penakut," lanjut pak RT. "Pokoknya kalau Ibu mau ke kamar mandi, anterin Pak. Tunggu di depan pintu," ucap bu RT. "Oalah Bu, sampai segitunya. Orang kok mikirnya takut, banyak doa biar selamat. Biar gak penakut,"kata pak RT. "Jangan bantah, pokoknya Bapak harus nurut." "Nurut saja Pak, nurut itu enak," sambung warganya. "Nah itu sarannya bagus," kata bu RT. "Ya, Bu!" jawab suaminya. "Pak itu, sudah datang mobil pemadam." "Oh iya Pak! Ayo kita bantuin. Ibu-ibu minggir dulu, jangan dekat-dekat ke api," sahut pak RT. "Iya Pak! Ibu-ibu ayo kita minggir dulu." Segera ibu RT mengajaknya para ibu-ibu untuk minggir. Sementara bapak RT dan bapak-bapak lainya mendekat ke mobil pemadam untuk bergotong royong. Bantuan datang namun tidak bisa menyelamatkan apapun yang berada di dalam rumah itu. Warga sekitar berpikir jikalau semua penghuni rumah itu sudah hangus terbakar. Termasuk Lestari yang sampai saat ini di duga meninggal karena kecelakaan kebakaran di rumahnya itu. Ibu dan anak laki-lakinya ini memang bisa selamat dari hukum penjara dunia karena tidak ada yang mengetahui perbuatan mereka yang telah menghabisi nyawa Anjana. Tetapi meski demikian, ibu dan anak laki-lakinya ini tidak mampu menyelamatkan dirinya dari hukum alam. Semoga Tuhan memberikan pengampunan kepada kalian, ucap di dalam batin Samana untuk mendoakan ibu dan abang tirinya Lestari. Samana mencoba memperjelas penglihatannya untuk bisa menyaksikan kejadian sebelum kebakaran terjadi. Dia melihat serta mengamati sekitarnya. Pandangannya berhenti tepat di pohon asam yang besar di belakang rumah seperti yang dia lihat di mimpinya. Pohon itu rindang dengan sekitarnya di penuhi ilalang-ilalang. Ia mulai mengamati dengan seksama sambil merasakan getaran energi dari Anjana Kayshila Lestari. Betapa kagetnya saat ia melihat kejadian yang teramat sangat memilukan. Samana meneteskan air mata sebagai rasa kesedihan yang mendalam. Ia sebenarnya tidak sanggup menyaksikan kejadian itu. Namun dirinya seolah tidak diizinkan untuk menghentikan apa yang dilihatnya, sebelum kisah-kisahnya tuntas. Perih hatinya melihat gadis yang baik seperti Lestari harus merenggut nyawa dengan cara sadis. Tidak menyangka saja ibu dan abang tirinya tega menghabisi nyawa orang lain demi mendapatkan harta dan kekuasaan. Harta telah membuat mata hatinya menjadi buta. Kekejaman dan ke biadabnya telah membuat nyawa seseorang bisa menghilang. Harta memang membuat orang bisa hilang kewarasannya. Tega memakai segala macam cara untuk meluluskan niatnya. Tak peduli cara buruk, asalkan itu menghasilkan uang pasti akan dia lakukan. Seperti halnya ibu dan abang tiri Lestari juga tega melakukan hal yang tidak pantas di lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD