Let's Be Partner

4226 Words
Langkah mantap baru saja memasuki sebuah rumah tunggal, di mana tiga jam lalu—sebelum tengah malam—telah terjadi pembunuhan, yang dicurigai dilakukan oleh orang yang sama, dengan pembunuhan yang terjadi tiga minggu sebelumnya. Dengan tidak tahu malunya, laki-laki dengan kacamata dan s**u kaleng di tangan itu, menerobos masuk ke dalam ke dalam TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang sudah dipasang garis polisi dan mengacau Tim Investigasi Kriminal yang lebih dulu datang. "Bagaimana dengan korbannya?" tanya Alexon pada rekan satu timnya, saat baru saja melewati garis polisi. Laki-laki itu Park Jinyoung, si maknae yang bergabung tiga bulan sebelum Alexon—mengacau—mendesah pelan. "Masih diautopsi. Tidak ditemukan luka atau lebam di tubuh korban, hanya ada bekas cekikan di leher," jelasnya dengan nada prihatin. "Korban tidak mengenakan pakaian lagi?" tanya Alexon lagi. Dia perlu menggali informasi lebih dalam dari rekannya yang lebih dulu datang. Jinyoung mengangguk kuat. "Sama seperti korban-korban sebelumnya. Tidak mengenakan pakaian, tangan dan kaki diikat ... tapi ada sedikit yang berbeda dengan kasus ini, Hyung." Laki-laki itu mencicit di akhir kalimat, dengan sedikit keraguan yang mengganjal. "Apa?" "Lihatlah ini." Jinyoung menunjukkan gambar yang tadi dia ambil, sebelum polisi membawa korban ke rumah sakit. "Korban masih berada di atas kasur, juga tubuhnya bersih tanpa sayatan apa pun. Biasanya korban akan di tempatkan di tengah lilin hati, dengan sayatan berupa pesan singkat, tapi kali ini tidak ada. Itu artinya pelaku belum sempat menyelesaikan aksinya, 'kan, Hyung?" Alexon mengangguk membenarkan. Dia belum pernah terjun langsung dalam kasus pembunuhan berantai yang satu ini, tapi melihat sisa dari berkas-berkas sebelumnya mengenai kasus yang sudah larut dalam setengah tahun terakhir, Alexon sudah cukup hafal dengan pola pembunuhannya. "Mungkinkah ada seorang yang memergokinya, sebelum dia sempat menyelesaikan aksinya?" Jinyoung meminta pendapat Alexon dan menunggu reaksi profiler itu dengan sabar. Alexon mengangguk kecil. Apa yang diutarakan oleh maknae itu sudah lebih dulu berputar di benaknya, ketika Jinyoung mengatakan tidak ada luka sayat. "Lalu, bagaimana dengan CCTV?" tanya Alexon tanpa memberikan jawaban pastinya. "Tae Il hyung sedang memeriksanya." Baiklah, Alexon sudah mendapatkan poin-poin pentingnya dari kasus pembunuhan ini. Sekarang gilirannya untuk mengupas kasus ini dengan kacamatanya. Alexon menepuk pundak Jinyoung dan memuji kerja keras laki-laki itu, karena sudah mau repot-repot membagikan informasi padanya. Alexon melanjutkan langkahnya untuk masuk lebih dalam lagi, sambil sesekali mengedarkan pandangannya dan memperhatikan beberapa nomor yang tersebar di beberapa tempat, sebagai tanda bukti adanya kejahatan. "Kau terlambat setengah jam, Alexon Black!" Suara itu terdengar kental dengan sindiran, tapi yang disindir sama sekali tidak peduli, bahkan tidak ada rasa bersalah sedikit pun, saat dia menenggak susunya. "Pemeran utama selalu datang belakangan, Ketua Tim Ji," sahut Alexon. Dia melepas kacamata dan menyimpannya ke dalam saku. "Bahkan Broadway tidak memberikan toleransi untuk keterlambatan satu detik," geram Ji Hoon. Tatapannya seakan dia muak dengan segala ocehan Alexon, yang sudah dia dengar sepanjang hidupnya. Alexon menoleh singkat, menilai sosok yang selalu saja sinis padanya, sejak dia bergabung dengan Tim Kepolisian Pusat Korea Divisi Kriminal bulan lalu. "Kau terlalu menyimpan banyak dendam padaku," kata Alexon setengah acuh. "Tolong simpan saja untuk dirimu sendiri." "Alexon, kau—" "Hyung, aku baru saja mendapatkan rekaman panggilan terakhirnya hari ini. Kau harus mendengarnya." Ji Hoon mengurungkan niatnya untuk membungkam Alexon dengan kata-kata sarkasnya dan langsung menghampiri Jaebum yang memanggilnya dari luar. Alexon meletakkan kalengnya di meja dan mulai melakukan pekerjaannya. Mata tajam bak elang yang sedang mengintai mangsa, mulai meneliti tempat kejadian. "Nah, mari kita mulai pencarian harta karunnya," guman Alexon seraya menggosokkan kedua tangannya dengan senyum miring yang bengis. Setiap detail sudut tidak ada yang luput dari pandangannya. Dari ruang tamu, dia berjalan menuju dapur. Semua tampak baik-baik saja, dapur terlihat sering digunakan, karena tidak banyak debu yang menempel, artinya sang pemilik sering berada di rumah. Kemudian beralih ke kamar mandi, beberapa peralatan mandi tergeletak begitu saja di atas wastafel, juga rak. Terlihat seperti sang pemilik tidak memiliki waktu lebih untuk membereskannya. Jika, ingin mengetahui seberapa sering sang pemilik berada di rumah, maka periksalah tempat sampah juga isi kulkasnya dan tidak lupa untuk memeriksa tanggal kedaluwarsanya. Ada sampah baru untuk makanan cepat saji, yang artinya korban menghabiskan sedikit waktunya di rumah hari ini. Lalu, isi kulkasnya hanya penuh dengan makanan kaleng, juga beberapa botol kopi siap minum. Lemari di atas kompor penuh dengan persedian mi instan. Tampaknya, korban menyukai sesuatu yang sederhana dan cepat. Kembali melakukan penyelidikan, Alexon membandingkan satu wallpaper dinding dengan lainnya, yang tidak terlalu kontras untuk satu sama lain. Selain menyukai sesuatu yang cepat dan sederhana, korban juga merupakan tipe orang yang cuek dan tidak terlalu memikirkan keindahan, selama dia nyaman, dia akan melakukan apa yang dia inginkan. Dan perjalanan Alexon berakhir di kamar tempat ditemukannya korban. Di antara semua ruangan yang dia datangi, kamar ini terlihat sangat rapi dan nyaman. Alexon menjelajah dengan hati-hati, menjalankan jari telunjuknya pada benda tertentu, untuk memeriksa apakah ada debu yang menempel atau tidak. Jendela yang terbuka setengah, seprai yang sedikit berantakan, catatan yang menempel pada lemari, susunan buku yang tertata rapi di meja dan lukisan di dinding, semuanya terlihat mencurigakan di mata sang profiler. Ini jelas bukan pembunuhan dengan perlawanan, semuanya terlihat terlalu rapi, terlebih lagi lilin berbentuk hati dengan kelopak bunga mawar di dalamnya, terkesan memberikan nuansa romantis dalam sebuah hubungan asmara, alih-alih pembunuhan. Alexon menutup matanya sebentar, mencoba untuk mencari gambaran tentang apa yang terjadi sebelumnya di sini. Alam bawah sadar Alexon membawanya pada kesibukan seorang wanita yang tidak lain adalah sang korban, Lim Jiyeon. Wanita itu baru saja menerima telepon dan segera pergi ke kamar mandi dengan terburu-buru. Dia jelas sedang diburu oleh sesuatu, yang mengharuskannya untuk bergerak secepat kilat. Jiyeon pergi setelah membereskan sedikit sampah di dapurnya, lalu kembali ke rumah saat matahari sudah tenggelam dan gelap datang dengan sangat pekat. Alexon seakan ditarik pada detik kejadian, di mana dia melihat sepasang anak manusia yang sedang asik b******u, lalu tanpa sengaja menyenggol meja, hingga vas di atasnya berguling. Satu di antara keduanya sedang dalam keadaan setengah sadar, akibat dari pengaruh alkohol, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang peduli dengan vas itu, keduanya tetap melanjutkan ciuman panas mereka, hingga ke kamar. Alexon mengikutinya, di mana dia mendapatkan gambaran yang lain. Wanita dengan anting salib itu jatuh terkapar di atas kasurnya, seperti sedang tidur, tapi sebenarnya wanita itu sedang tidak sadarkan diri, setelah laki-laki yang bersamanya menyuntikkan sesuatu di lengannya. Lalu, laki-laki itu mulai menyiapkan lilin dan bunga mawarnya, terlihat agak bingung dengan apa yang sedang dia lakukan, tapi tetap menyelesaikannya sampai akhir. Dia mulai melucuti pakaian wanita itu tanpa menyisakan sehelai benang pun, mengikat tangan dan kakinya di belakang, kemudian mencekik wanita itu sampai mati lemas, tanpa mendapatkan perlawanan apa pun. Alexon menarik diri dari dalam pikirannya. Dia sudah cukup menganalisis semuanya, untuk saat ini dia perlu mencari siapa sosok terakhir yang wanita itu temui hari ini. Lalu, untuk motif pembunuhan yang terkesan romantis ini? Semuanya akan terungkap, setelah pelakunya tertangkap. Tentu saja. Laki-laki blasteran Amerika-Korea itu beralih pada lemari di belakangnya, memandangnya dengan penuh penilaian, sebelum kembali bereaksi. "Lemari ini tampak sangat usang," katanya sambil mengetukkan jari ke lemari, dengan seringai yang kental. Dia memperhatikan catatan yang tertempel dan membacanya keras-keras. "Mengantar pesanan paman Jung." "Pergi ke penatu." "Membersihkan rumput liar." "Pergi bekerja pukul 17.00." Astaga, Alexon tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca. Tampaknya, wanita yang menjadi korban pembunuhan kali ini, menata kegiatan sehari-harinya dengan sangat rapi. Lantas, apa yang membuat wanita dengan kehidupan tertata rapi seperti ini, menjadi korban pembunuhan dengan nuansa romantis? Bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Hmmm, tampaknya Alexon memerlukan gambaran baru, untuk bisa menyelesaikan pemikiran sebelumnya. Dia pikir, ada banyak hal yang perlu diselesaikan untuk kasus yang satu ini. Ponsel Alexon begetar di dalam saku. Dia mengambilnya dengan malas. "Kami akan pergi ke restoran cepat saji yang korban datangi sebelumnya." Alexon tampak tidak peduli dengan telepon barusan. Dia mulai beralih untuk memindai lukisan di depannya, ketika ada seseorang yang menyelinap dari dalam lemari dan melompat keluar jendela. "Kena kau!" desisnya dengan senyum penuh kemenangan. Sebenarnya, Alexon sudah menaruh curiga pada lemari yang bernapas itu. Dia sengaja berlama-lama di depan sana, hanya untuk mengerjai sosok di dalamnya. Dia ikut melompat keluar jendela dan mengejar penyusup itu. Tampaknya, si penyusup mengenali pola rumah Jiyeon dengan sangat baik, karena berlari ke arah belakang rumah dan melompat melewati tembok, alih-alih melewati gerbang, satu-satunya jalan utama yang terlihat. Selain memiliki ketampanan dan kecerdasan yang luar biasa, Alexon juga dianugerahi ketahanan tubuh yang kuat, hingga berlari di keheningan malam untuk mengejar sosok misterius itu bukanlah hal yang sulit, meski harus melewati satu blok, juga menuruni anak tangga. Sampai akhirnya, Alexon berhasil menyentak tangan itu dan menyeretnya ke dinding tanpa belas kasihan. "Siapa kau?" tuntutnya. Sosok yang ditanya menolak untuk menjawab dan berusaha memberontak, tapi melepaskan diri dari Alexon bukan hal yang mudah. Merasa tidak senang waktunya dibuang percuma, Alexon menyentak tudung kepala yang menutupi sosok itu. Dan betapa terkejutnya Alexon, saat rambut panjang tergerai dari balik tudung itu, dengan poni tebal yang menutupi kening. Sosok di hadapannya ini terlihat 4-7 tahun lebih muda darinya. Tampak seperti pelajar atau mahasiswi. Alexon menurunkan masker hitam yang gadis itu kenakan, memperlihatkan wajahnya secara keseluruhan yang memang terlihat masih sangat muda, tapi jelas memiliki keberanian di atas rata-rata gadis muda seumurannya. Gadis itu menggeleng untuk menyingkirkan helaian rambutnya yang menutupi wajah, juga meniup poninya yang menusuk mata, sambil sesekali mengambbil napas dalam, membuat embusan napas itu sampai pada wajah Alexon. Seakan ingin memberikan waktu, Alexon membiarkan gadis itu mengurus rambut yang mengganggu, tanpa menyentuhnya dengan tangan. "Apa yang membuat gadis cantik sepertimu menyusup ke dalam TKP dengan garis polisi, juga pengawasan yang ketat?" tanya Alexon, tanpa ingin melepaskan cengkeramannya, setelah dirasa cukup memberikan waktu. Gadis itu tidak mengindahkan pujian Alexon barusan, baginya itu hanyalah omong kosong sampah yang tidak ingin dia dengar dari siapa pun. "Lepaskan aku!" Gadis itu meronta, berusaha menarik tangannya dari cengkeraman ketat seorang Alexon Black. "Apa yang kau curi?" Alexon menuduh kejam, tanpa peduli kalau cengkeramannya menyakiti gadis itu. "Aku tidak mencuri apa pun!" Berbohong pada Alexon, sama saja dengan berbohong pada seorang psikolog yang mengetahui setiap gerak-gerik pasiennya. Tanpa melonggarkan cengkeramannya, Alexon mengeluarkan borgol dari sakunya, memasangkannya satu pada si gadis dan satu lagi pada tangannya. "Yak, apa yang kau lakukan?!" protes si gadis berponi. "Hanya ingin memeriksa apa yang kau curi dan mencegahmu untuk kabur." Tanpa permisi, Alexon menurunkan ritsleting jaket si gadis dan menyentak kasar kemeja yang gadis itu kenakan, membuat sang empunya mengeluarkan sumpah serapah. "Yak, Berengsek!" Namun, Alexon melakukannya bukan karena dia c***l, melainkan gadis itu menyembunyikan sesuatu di balik kemejanya. Sebuah catatan harian. Bagaimana Alexon bisa tahu, kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya? Ayolah, gadis itu masih memiliki satu tangannya yang bebas untuk melakukan sesuatu, tapi yang gadis itu lakukan hanya memeluk perutnya, seolah ada yang ingin gadis itu lindungi, alih-alih mendorong Alexon untuk menjauhinya. "Maaf," kata Alexon, lalu dengan sopan dia menarik kembali ritsleting jaket untuk menutupi tubuh sang empunya, yang tadi sempat terekspos bebas. "Kenapa mencurinya?" tanya Alexon lagi. Gadis itu jelas tidak bisa mengelak dari tuduhan barusan. Buku catatan yang tersembunyi di balik pakaiannya, jelas bukan milik gadis itu. "Itu bukan urusanmu!" Gadis itu mendesis tajam dan berusaha untuk mengambil kembali barangnya. Namun, apa yang sudah berada di tangan Alexon, tidak akan bisa diambil dengan mudah, tanpa seizin laki-laki itu. "Katakan alasannya atau aku akan melaporkanmu atas tuduhan pencurian barang bukti," ancam Alexon, sambil menyimpan catatan itu di sakunya celananya. "Atau yang lebih parahnya lagi, kau akan diselidiki sebagai tersangka." Bahkan jika Alexon tidak melaporkannya, sidik jari gadis itu bisa saja tertinggal di dalam TKP. Melihat bagaimana gadis itu bersikap, Alexon yakin kalau si cantik berponi ini pasti meninggalkan jejak di sana tanpa dia sadari. "Katakan padaku yang sebenarnya, maka aku akan membantumu, jika sidik jarimu tertinggal di TKP," tambah Alexon. Dia berusaha berbicara baik-baik pada gadis itu. "Kau pasti tidak menggunakan sarung tangan, saat menyusup tadi, 'kan? Kau mungkin saja menyentuh sesuatu di sana, tanpa kau sadari." Si gadis menelan kasar salivanya. Ancaman Alexon terdengar biasa saja, tapi mampu membuat jantungnya berdebar panik. Si gadis berponi tampak memutar otak, untuk melarikan diri dari cengkeraman Alexon, tapi sama sekali tidak ada jalan. Ke mana pun dia pergi, Alexon sudah pasti akan mengikutinya, sebab tangan mereka yang terikat borgol. "Tidak bisakah, kau melepaskanku dan berpura-pura kita tidak pernah bertemu?" pinta gadis itu tidak tahu diri. "Toh, apa yang aku curi tidak ada hubungannya dengan penyelidikan kalian." Alexon tersenyum sinis. "Jadi, kau mengaku atas pencurian yang tadi kau lakukan?" tanyanya mengejek. Gadis berponi itu merapatkan bibirnya, mengutuk kejujuran barusan dan menyesali keputusannya untuk menyelinap malam ini. Harusnya, dia menahan diri sedikit lebih lama, agar tidak terlibat dengan Alexon. "Katakan padaku sekarang atau aku akan membuat laporan atas pencurian tadi," ancam Alexon sekali lagi. Gadis di hadapannya ini cukup keras kepala, karena tidak berniat menjawab, ketika Alexon masih bersikap lembut dan baik hati. Merasa waktunya sudah dibuang dengan sangat banyak untuk hal yang sia-sia, membuat Alexon kesal bukan main. Dia merogoh sakunya guna mengambil ponsel, lalu memamerkannya pada gadis di hadapannya. "Nikmati kehidupanmu di penjara nantinya," desis Alexon. "Aku mengambilnya untuk kakakku!" Gadis itu berbicara dengan satu tarikan napas yang cepat dan juga lantang, membuat Alexon agak berdebar karena terkejut. "Aish, aku berada tepat di depan wajahmu. Jadi, tidak perlu berteriak," gerutunya. Si gadis berponi mendengus. Dia hanya terlalu panik, karena ancaman Alexon. Itulah sebabnya dia berteriak lantang. "Kenapa kau memerlukan catatan harian dari wanita itu?" Alexon kembali bertanya. Gadis di depannya ini terlihat banyak mengatahui tentang kasus yang sedang dia tangani. Namun, nyatanya si gadis tidak ingin membagi informasi apa pun pada Alexon, dengan memilih untuk bungkam dan membiarkan laki-laki itu menatapnya penuh selidik. "Kakakmu adalah pembunuhnya." Pernyataan itu keluar dari mulut Alexon, ketika dia tidak mendapatkan jawaban apa pun. "Kakakku bukan pembunuh!" bantah gadis itu dengan teriakan. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari Alexon, tapi percuma. Semakin dia menarik tangannya, semakin tergores pula pergelangannya. "Lepaskan aku, Sialan! Gadis itu terlihat sangat marah, karena tuduhan Alexon barusan, padahal laki-laki itu hanya berbicara asal untuk memancing reaksi si gadis, di mana Alexon melemparkan umpan yang tepat dan langsung mendapatkan gigitan pertamanya. Alexon menahan pergelangan tangan gadis itu yang saling terkait dengannya, untuk menghentikan goresan rasa sakit di tangannya. "Lalu, jika dia bukan pembunuh, kenapa kau mencuri catatan harian wanita itu? Bukankah, kau melakukannya untuk menyingkirkan barang bukti?" Nada suara Alexon kental dengan tuduhan, juga tatapannya yang mengintimidasi. Si gadis benar-benar membuang percuma waktu Alexon, karena terus saja bungkam dan hanya akan berbicara, setelah mendapatkan ancaman darinya. "Ceritakan semuanya padaku, jika kau tidak ingin tidur di balik jeruji besi malam ini," desak Alexon. Si gadis tidak memiliki pilihan, selain membagikan informasi pada laki-laki di hadapannya. Keduanya memutuskan untuk berbicara di tempat yang lebih nyaman, ketimbang menempel di dinding seperti cicak, yaitu menggunakan tangga jalanan. "Lim Jiyeon adalah kekasih kakakku—" "Jadi, benar, kakakmu yang membunuhnya?" potong Alexon dengan tuduhan. "Aku bahkan belum selesai berbicara, Berengsek!" umpat gadis itu. Matanya menatap dengan sengit, memantau ketidaksopanan seorang Alexon Black. "Diam dan dengarkan saja, jika kau ingin tahu." Baiklah, Alexon salah karena sudah menyela, tapi gadis itu juga salah, karena memberikan jeda yang cukup panjang. Dan hei, bisakah gadis itu berhenti mengumpat pada Alexon? Mereka belum genap lima menit bersama, tapi entah sudah berapa banyak kata umpatan untuk Alexon, alih-alih pujian yang biasa dia dapat. "Lanjutkan," titahnya pada si gadis. "Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan akhir-akhir ini, tapi keduanya sering mendiskusikan hal-hal yang tidak aku pahami. Mereka berbicara tentang pabrik, limbah, suap, juga sesuatu lainnya yang ilegal untuk dilakukan," lanjut gadis itu panjang lebar. Dia yang tadinya menatap jauh ke bawah, kini menoleh pada Alexon yang sedang menatapnya. "Mereka seperti sedang menyelidiki sesuatu." "Lalu, di mana kakakmu sekarang?" tanya Alexon penasaran. Selama gadis itu bercerita, dia bisa merasakan ketakutan di dalam suaranya. Si gadis tersenyum miris. Tangannya yang masih terborgol dengan Alexon bergerak kaku, untuk meraih tangannya yang lain. "Dia meninggal seminggu lalu, setelah menghilang selama tiga hari dan mayatnya ditemukan di tempat pembuangan limbah yang tidak terpakai," lirih gadis itu. Terlihat gurat kesedihan di wajahnya, ketika memutuskan untuk beralih dari Alexon. "Kupikir, kematian Jiyeon dan kakakku saling berkaitan. Itulah kenapa aku mengambil catatan Jiyeon, setelah mendengar kabar kematiannya." Baiklah, Alexon turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak si gadis, dengan mengutarakan simpatinya. "Tapi, kami pikir mereka dibunuh oleh orang yang berbeda." Alexon berbicara sebagai profiler, bukan lagi sebagai pendengar. "Jika, mereka dibunuh oleh orang yang sama, maka mayat Jiyeon tidak akan diperlakukan dengan spesial. Dia pasti dibunuh dengan metode yang sama dengan kakakmu, jika kematian Jiyeon dikaitkan oleh penyelidikan mereka sebelumnya." Si gadis mendengarkan penjelasan Alexon dengan seksama. Sorot matanya menunjukkan ketertarikan yang sangat dalam. "Kami menduga, kalau pembunuhan Jiyeon dilakukan oleh seseorang pembunuh berantai dengan julukan Sweetest Killer," tutur Alexon. "Sweetest Killer?" Gadis itu membeo dengan ketidaktahuannya. "Seperti yang kau lihat di kamar Jiyeon. Lilin berbentuk hati dengan taburan kelopak mawar di dalamnya adalah tanda kejahatan dari sosok Sweetest Killer itu," jelas Alexon apa adanya. "Dia selalu memperlakukan korbannya dengan manis, sebelum membunuhnya." "Lalu, kenapa Jiyeon menjadi korban pembunuhan?" tanya gadis itu penasaran. Alexon mengangkat bahu. "Ada banyak kemungkinan di balik motif pembunuhan ini dan aku belum menentukan apa motifnya." Si gadis berponi merasa ada yang salah dengan ucapan Alexon barusan, yang terdengar seperti dialah yang memegang kendali penuh atas pembunuhan yang terjadi. "Kenapa kau yang menentukan motif pembunuhannya? Memangnya, kau ini siapa?" "Hei, jangan menatapku seolah akulah pembunuhnya," tegur Alexon mengingatkan. "Aku ini seorang profiler, bukan pembunuh!" Si gadis tidak percaya dengan mudah, terbukti pada sorot matanya yang terus menunjukkan kecurigaannya pada Alexon. Mendadak dia meningkatkan kewaspadaannya pada laki-laki di hapadannya. Dia merasa bodoh, karena sudah membagikan beberapa informasi penting pada orang asing, sementara dia tidak tahu, siapa yang sedang bersamanya ini. Bisa saja 'kan, kalau laki-laki ini adalah pembunuhnya, begitulah pemikiran si gadis sekarang. "Aku mengamati pola pembunuhan, menganalisis setiap detail bukti yang berada di TKP, membaca pergerakannya di masa depan, mencari kesamaan dari kasus sebelumnya, jika pola pembunuhannya pernah terjadi di masa lalu, menyimpulkan ciri-ciri pelaku dengan prinsip-prinsip ilmu psikologi, dan mengerucutkan siapa saja yang mungkin menjadi tersangka," jelas Alexon panjang lebar. Dia perlu menjelaskan apa yang dia kerjakan, agar gadis di hadapannya ini berhenti menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Itulah yang aku lakukan. Jadi, berhenti menatapku, seolah aku adalah pelakunya." Baiklah, sepetinya si gadis sudah cukup mendengar banyak hal dari Alexon, juga sudah banyak berbicara pada laki-laki itu. Jadi, yang harus dia lakukan adalah memisahkan diri dari Alexon dan melakukan pencariannya sendiri. Dia pikir, terlibat jauh lebih dalam bersama dengan Alexon bukanlah sesuatu yang baik. Jadi, lebih baik memisahkan diri secepatnya. "Karena aku sudah memberitahumu segalanya, maka lepaskan aku sekarang juga," pinta gadis itu dengan penuh perintah. Alexon tersenyum penuh arti. Dia tidak akan melepaskan gadis ini dengan mudah, karena bagaimanapun juga, dia sudah menyusup dan mengacaukan pekerjaan Alexon demi mengejarnya. Dan jika dilihat-lihat, gadis ini mungkin bisa memberikan beberapa informasi tambahan lagi padanya mengenai kasus penemuan mayat di pembungan limbah, yang sekarang dialihkan ke tim empat, sementara tim dua memgambil alih kasus dari Sweetest Killer. "Jadilah, partnerku untuk menuntuskan kasus pembunuhan berantai ini, maka aku akan menemukan pelaku pembunuhan kakakmu." "Partner?" Gadis itu membeo, dengan sedikit nada geli di dalam suaranya. Alexon hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa aku harus menjadi partnermu, sementara kita tidak saling mengenal?" tanya gadis itu dengan angkuh. Alexon mendesis, menilai bagaimana karakter gadis di hadapannya, dan mendesah pasrah, ketika alam bawah sadarnya mengingatkan untuk tidak terlibat apa pun dengan si cantik berponi. "Kupikir, kau memiliki informasi mengenai Jiyeon yang tidak kami miliki. Setidaknya, itu akan membantu penyelidikan kami." "Lalu, apa yang aku dapatkan?" "Aku akan menyelesaikan kasus pembunuhan kakakmu." Gadis di hadapan Alexon ini jelas bukan jenis yang mudah untuk dibodohi, mengingat dia berani menyusup ke dalam TKP tanpa sarung tangan, dengan penjagaan ketat aparat kepolisian, membuatnya tersenyum sinis dan menatap Alexon dengan remeh. "Sudah menjadi tugas kalian untuk menyelesaikan kasus pembunuhan kakakku dan sama sekali bukan tugasku untuk membantumu." Si gadis menunjuk d**a Alexon dengan jari telunjuknya yang bebas. "Jadi, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjadi partnermu." Sudah Alexon duga, kalau gadis ini akan menolak mentah-mentah ajakan kerja samanya tadi. "Aku akan membayarmu per jam, setiap kita melakukan penyelidikan," tawar Alexon lagi. "Dengan dana pribadiku." Apa pun caranya, dia harus mendapatkan persetujuan gadis itu untuk bekerja sama dengannya. Alexon tidak ingin pembunuh psikopat itu melakukan aksinya lagi dan memakan korban jiwa yang lebih banyak. "Anggap saja kau sedang bekerja part-time denganku," tambah Alexon. Dia masih berusaha untuk membujuk gadis pemarah ini. "100.000 won per jamnya." Si gadis tampak berpikir, mulai mempertimbangkan tawaran Alexon barusan yang sebenarnya—cukup—menarik. "300.000 won," tawar gadis itu. Senyumnya mengembang, tapi lebih terlihat seperti seringai rubah yang licik. Mata Alexon membulat. Itu bayaran yang cukup kecil sebenarnya, jika gadis itu melakukannya sebagai pekerja part-time dalam sebulan, tapi itu jelas jumlah yang sangat besar untuk part-time per jam. "Yak, 100.000 won saja sudah banyak untuk dihasilkan dalam waktu satu jam!" protes Alexon tidak terima. Bisa-bisanya gadis itu memanfaatkan kebaikan hati Alexon, yang jelas-jelas sudah memberikan kemurahan hati yang luar biasa. "300.000 won atau aku tidak akan memberikan informasi apa pun tentang Jiyeon." Alexon menatap sengit gadis di hadapannya, baru beberapa saat bersama dengan gadis itu, tapi dia sudah bisa menyimpulkan betapa liciknya gadis berponi ini. "150.000 won atau tidak sama sekali!" Sekarang giliran Alexon yang mengancam. Dia tidak akan dengan mudah membiarkan gadis kecil itu mengambil banyak keuntungan darinya, hanya untuk pekerjaan ringan. "150.000 won." Gadis itu menjabat tangan Alexon dengan senyum cerah di wajahnya, yang menjelaskan kalau dia mendapatkan apa yang diinginkan. Alexon menarik kasar tangannya dengan wajah menekuk kesal. Dia merasa ditipu oleh rubah kecil yang tidak berpengalaman. Bukannya Alexon tidak bisa menyelesaikan kasus ini bersama dengan timnya, hanya saja Alexon ingin menyelesaikan semuanya lebih cepat. Kasus ini sudah larut begitu lama, hingga Alexon gatal ingin menuntaskannya secepat mungkin. "Kalau begitu, di mana aku bisa menemui besok?" tanya Alexon setengah malas. "Aku ingin melakukan penyelidikan rahasia secepatnya." "SMA Jaeguk. Kau bisa menungguku di sana jam tiga nanti siang," balas si gadis. "Siapa namamu?" "Kau tidak perlu tahu." "Kau pasti ingin menipuku, 'kan?" tuduh Alexon tanpa berpikir. "Kau tidak mungkin sekolah di tempat elit, jika beberapa saat yang lalu kau mencoba untuk memerasku." Alexon mendekatkan wajahnya pada si gadis, mengintimidasi lawan bicaranya melalui tatapan tajam penuh kecurigaan, dan menghimpit si gadis di antara dirinya dan juga pegangan tangga. "Katakan siapa kau sebenarnya?" Alexon merendahkan suaranya. Tatapannya tak lepas dari manik hazel di hadapannya. "Apa kau kaki tangan dari Sweetest Killer?" "Aku hanyalah aku," balas gadis itu. Dia tidak terlalu terpengaruh dengan tatapan tajam Alexon. Tubuhnya menantang maju, untuk membuat Alexon menjauh darinya. "Saat aku mengatakan, kau bisa menemuiku di SMA Jaeguk, maka itu artinya aku benar-benar ada di sana." "Bagaimana aku bisa memercayaimu?" Si gadis memutar matanya malas. Tampaknya, dia mulai bosan melandeni pertanyaan beruntun dari Alexon, yang terkesa ingin mengorek kehidupan pribadinya. "Ini adalah jaket angkatan tahun ini. Hanya kami yang bersekolah di sana yang bisa memilikinya." Si gadis menunjukkan sebuah logo yang khas berlapis perak, yang Alexon ketahui memanglah identitas dari Yayasan Jaeguk. Namun, Alexon jelas tidak akan mempercayainya dengan mudah. "Bisa saja kau mencurinya, seperti kau mencuri catatan Jiyeon tadi." "Oh, demi Tuhan!" Gadis itu menggeram kesal, sambil menendang udara. "Apa kau terbiasa untuk mencurigai orang seperti ini?!" "Aku seorang profiler. Sudah seharusnya aku mencurigai hal-hal yang mencurigakan, termasuk kau yang menyusup ke dalam TKP," sahut Alexon ringan. Si gadis meniup kasar poninya. Dia hampir kehabisan akal untuk berbicara pada Alexon, yang selalu saja bertanya ini itu padanya, seolah dialah tersangka dari pembunuhan yang laki-laki itu tangani sekarang. "Buku catatan Jiyeon," kata gadis itu dengan gigi terkatup. "Kau bisa membawanya malam ini, sebagai jaminan kalau aku tidak akan melarikan diri darimu. Buku itu sangat penting untukku. Jadi, aku pasti akan mengambilnya lagi darimu." Alexon menimbang sebentar tawaran itu. Dia masih tidak bisa menaruh banyak kepercayaan pada gadis di hadapannya ini. Apa sulitnya memberitahu nama saja, agar Alexon mudah memanggilnya, tapi alih-alih memberitahu, gadis itu malah memilih jalan rumit, seolah tidak ingin identitasnya diketahui oleh siapa pun—yang semakin menambah daftar, kenapa Alexon harus waspada dengan gadis itu. "Jika, aku tidak menemukanmu di SMA Jaeguk, maka kau akan dilaporkan atas pencurian barang bukti," ancam Alexon sekali lagi. Si gadis hanya berdehem kecil, pertanda kalau dia benar-benar bosan berduan saja dengan Alexon. "Sekarang lepaskan tanganku," titah gadis itu. Alexon berdecak. Dia benci diperintahkan, terlebih lagi yang memerintahnya adalah seorang gadis di bawah umur seperti ini. Dengan kemalasan yang luar biasa, dia merogoh saku jaketnya untuk mencari kunci borgolnya, tapi tidak ada apa pun di dalam sana. Tidak kehabisan akal, Alexon merogoh saku celananya. Semua saku tidak luput dari pencariannya, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. "Jangan bilang, kalau kau tidak memiliki kuncinya?!" tebak si gadis dengan nada tinggi. Gelagat Alexon terlihat seperti dia tidak memiliki apa yang dia cari. Alexon berdiri dari duduknya, tanpa mengindahkan pertanyaan si gadis dan masih terus mencari keberadaan kuncinya. "Diamlah, aku sedang mencarinya," gerutu Alexon, saat si gadis terus saja merengek menanyakan kunci. Oh, sial! Sepertinya, Alexon memang tidak memiliki kuncinya, karena seingatnya Jinyoung memang hanya memberikan borgol, tanpa menyerahkan kunci padanya. Dengan sangat amat terpaksa, Alexon mengatakan hal yang sejujurnya pada si gadis pemarah, dengan suara mencicit yang terdengar seperti bisikan angin. "Aku tidak memiliki kuncinya." Namun, rupanya si gadis memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, hingga bisikan yang harusnya hanya terdengar oleh nyamuk bisa sampai pada telinganya. "Kau tidak memilikinya?!" Sontak saja, teriakan barusan membuat Alexon membungkam mulut berisik gadis itu. "Apa kau sudah tidak waras?" geramnya dengan mata melotot. "Ini sudah lewat tengah malam dan teriakanmu akan membangunkan orang-orang." Alexon mengedarkan pandangannya, memastikan kalau tidak ada satu pun yang keluar rumah, karena teriakan gadis yang bersamanya ini. Si gadis yang tidak merasa bersalah, segera menepis tangan Alexon yang membungkamnya. "Lalu, bagaimana dengamu?" tantangnya balik. Dia mengangkat tangannya yang terborgol dengan Alexon untuk berada di tengah-tengah mereka. "Apa kau pikir, memborgol tangan kita seperti ini adalah tindakan yang waras, sementara kau tidak memiliki kuncinya?" Baiklah, Alexon akui kalau ini adalah kesalahannya, karena memiliki borgol tanpa kunci, tapi ini juga bukan sepenuhnya kesalahan laki-laki itu, melainkan murni kesalahan Park Jinyoung yang hanya memberikan borgol padanya. "Jika, aku tahu tidak memiliki kuncinya, maka aku tidak akan memborgol tangan kita berdua. Aku hanya akan memborgolmu dan memasangkannya dengan tiang," sahut Alexon berapi-api. Si gadis berdecak kesal. Tertulis jelas di keningnya, kalau dia muak bersama dengan Alexon saat ini. Rasanya, seperti dikurung dalan ruang kosong yang hampa, tanpa berikan penerangan apa pun. Sesak dan suram! "Lalu, bagaimana aku bisa pulang, jika tangan kita seperti ini?" tanya gadis itu setengah kesal. Dia benar-benar menunjukkan aura permusuhannya sekarang, lalu menyentak borgol di tangannya, yang secara otomatis juga menyentak tangan Alexon, membuat laki-laki itu mengaduh, karena terkejut dengan tarikan yang tiba-tiba. Alexon menggaruk tengkuknya bingung. "Kau bisa tidur di rumahku—bersamaku," gumamnya. Mungkin kalian bakalan bosan bacanya, karena nanti akan ada banyak penjelasan detail untuk setiap kasus. Yang gak suka sama genre semacam kriminal gini, mungkin bakalan langsung ngantuk pas baca awal kalimat  Tapi semoga suka sama alurnya. 26 Oktober 2020

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD