BAB 8

1016 Words
Mengapa hal yang aku sukai selalu membuatku kecewa. Contohnya, dulu aku mencintainya, sekarang aku membencinya. —Hafshah Mumtaza. --- Kalau dikatakan tidak mungkin, ini terasa nyata. Kalau dikatakan mustahil, ini telah terjadi. Yang aku bisa lakukan saat ini hanya diam, menelan segala kepahitan yang terus mencecarku. Dengan gaun putih seadanya, pulasan make up seadanya, dan senyuman pun seadanya. Sebentar lagi aku bukanlah anak remaja, aku akan menjadi seorang isteri dari laki-laki tampan yang aku benci. Sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah ini. "Hafshah ...." Aku sangat hapal suara lembut itu. Itu suara Kak Farhah. "Kakak mau minta maaf sama kamu, maaf Kakak sempat marah sama kamu karena kamu ...." Kak Farhah menunduk. "Sudahlah tidak usah dibahas, lagi pula ini tidak penting untuk dibahas. Selamat ya, Kak Ali sudah mengikrarkan janjinya, ada namamu di lisannya. Semoga jadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah." Aku menanggapinya dengan senyuman sendu. Aku tidak bahagia dengan pernikahannya, aku sama sekali tidak mengharapkan pernikahan ini. Aku lihat Kak Farhah menunduk. Aku sedang telat mikir, aku tidak mengerti apa yang sedang Kak Farhah pikirkan. Hatiku terlampau kacau untuk memikirkan orang lain. "Kamu tahu, Hafshah? Dia kakak kelasku semasa di pondok, dialah laki-laki yang aku kagumi, dialah laki-laki yang selalu kuuntaikan dalam sujudku. Dan kini, ternyata kamulah yang bisa mendapatkannya. Aku akan berusaha ikhlas dengan semua ini. "Kamu sudah cukup tertekan dengan segala kenyataan ini. Dan aku menambah rasa tertekanmu karena aku merasa tidak rela dia menjadi milikmu. Percayalah, aku sangat menyesal." Farhah hanya bisa mengatakannya di dalam hati. *** Setelah mengikrarkan janjinya, ustadz Ali dipersilahkan untuk pergi ke kamarku. Di saat itu juga tubuhku gemetar hebat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Suara kenop pintu membuat tubuhku menegang. Aku diam di depan kaca rias, tidak sedikit pun aku menoleh. Aku mendengar ada langkah yang mendekat ke arahku. "Ijinkan aku menyempurnakan sunnah-sunnah pernikahan." Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, aku memejamkan mata sebentar. Tolong, aku merasa semua ini benar-benar tidak adil. Diskriminasi, ya aku merasakannya sekarang. "Hafshah ...." Suaranya berat tetapi lembut, seketika tubuhku merinding. Saat aku membuka mata, ada wajahnya di kaca, dia berada di belakang tubuhku. "Maaf, jika selama ini banyak kata-kata keluar dari mulutku yang membuat kamu sakit hati." Jantungku berdegup kencang. "Tolong, bangkitlah sebentar, ijinkan aku menyentuh kulitmu sebagai tanda kamu adalah isteriku sekarang." Aku ingin menangis, tolong aku ibu .... Ustadz Ali menggenggam jemariku erat. Tubuhku lemas seketika, dia laki-laki pertama yang berani-beraninya menyentuhku. Dia menuntunku untuk bangkit, aku hanya bisa menurut dan menurut. Kini kami berhadapan. Wajahnya yang putih bersih dengan kemerahan pada bagian pipinya membuatku tersihir tiba-tiba. Tubuhnya yang tinggi tegap seolah menarik tubuhku untuk memeluknya, aku yakin, dadanya yang bidang itu akan memberikanku kehangatan. Dialah surgaku sekarang. Dia memendekkan jaraknya denganku. Keningku berpapasan dengan dagunya. Dia membungkukkan tubuhnya, aku meraskan ada benda kenyal menyentuh keningku, singkat, tapi memberikan sensasi hebat. Setelahnya ia mengusap kepalaku lumayan lama. "Kamu isteriku dan aku suamimu, aku akan menjadi ibu, ayah, sekaligus suami untukmu. Aku akan berusaha membuatmu bahagia bersamaku, tidak seperti pertama kita bertemu, atau dialog-dialog kita sebelumnya, sebelum aku menyatakan semua janji-janjiku." Airmataku menetes, aku tidak tahu apa sebab airmata ini menetes. "Peluk aku, janji, jadikan aku peneduhmu setelah Allah dan ayahmu." Tubuhku me-respon dengan cepat, aku langsung memeluknya, kehangatan, kenyamanan, ternyata dia tidak seburuk yang aku bayangkan. "Ak-aku, aku merasa tidak pantas menjadi isteri dari laki-laki seperti Ustaz," ucapku di sela isakan. "Kita saling menyempurnakan, Hafshah. Kamu penyempurna kekuranganku, dan aku penyempurna kekuranganmu." Dia benar-benar berubah. Dia tidak seperti sebelumnya. Sikap dinginnya, wajah datarnya, dan ucapan pedasnya, seketika itu semua menghilang entah ke mana. Tersisa kelembutan, aku benar-benar nyaman berada di pelukannya. "Aku akan menemani kamu hingga kamu bisa menggapai apa yang kamu cita-citakan. Aku akan bantu, ingat itu, Hafshah, jangan kamu khawatirkan bagaimana kehidupanmu setelah ini. "Setelah ini kita tinggal di rumah baru, rumah yang aku beli dengan uang hasil tabunganku sendiri, yang aku khususkan untuk isteriku kelak, dan kini, kamulah isteriku yang sebelumnya aku ucap kelak. "Kalau kamu masih belum siap tidur satu ranjang denganku, aku tidak akan memaksamu. Aku akan persiapkan kamar untukmu di rumah baru kita nanti. "Perihal semua perlakuan burukku kepadamu ... pertama memang aku tidak terima, tapi, setelah ini, aku janji akan mengubahnya walaupun kamu masih belum bisa menerimaku." Aku terdiam, airmataku masih menetes tanpa henti. Aku tidak mengerti mengapa aku begitu sedih saat ini, ibu, andai ia ada. Aku pernah bermimpi, menikah dengan seorang laki-laki tampan yang kaya raya, laki-laki tampan yang mencintaiku tanpa harus menyakitiku terlebih dahulu. Bayangan pernikahan indah, ada ayah, ada ibu, sanak saudara, itu hanya sebuah ilusi, semua itu semu. Kenyataannya, seperti inilah takdirku. "Berhentilah menangis." Tangan besarnya menangkup wajahku, dia tersenyum tulus ke arahku, wajahnya sangat tampan, aku sering menghayal bisa menjadi isterinya, sekarang, aku benar-benar sudah menjadi isterinya. Apakah ia melakukan hal ini semata-mata karena kesadarannya, atau ia hanya kasihan kepadaku dan setelahnya ia akan memperlakukanku seperti dahulu lagi? Mataku membulat saat ia mengecup singkat hidungku. Aku tidak bisa berkutik, aku benar-benar membeku dengan perlakuannya yang melampaui batas ini. "Jangan berpikiran buruk tentangku terus, percayalah, aku akan memperbaikinya." Aku menunduk saat ia sudah tidak menangkupkan tangannya lagi di wajahku. *** Tidak ada pesta, hanya syukuran kecil-kecilan antara keluargaku dan keluarga ustaz Ali. Bahkan malam ini kabar buruk harus ustaz Ali terima. Abi kritis di rumah sakit, jantungnya melemah. Saat ini ustaz Ali memilih untuk terus menemani ayahnya di rumah sakit. Sebenarnya aku ingin menemaninya, tapi dia melarang. Dia bilang aku pucat, lebih baik istirahat di rumah saja. Sebelum berangkat tadi dia memelukku erat sekali. Begini ternyata rasanya menjadi seorang isteri dari suami tampan. Astaghfirullah, Hafshah. Entah mengapa rasa benciku sirna, ustaz Ali bilang tadi. "Aku dulu dingin kepadamu bukan karena aku membencimu, aku memang seperti itu kepada semua wanita. Kamu tahu alasannya kenapa? Laki-laki itu mudah tergiur dengan wanita, jadi, lebih baik terbiasa untuk acuh. Hanya isteriku yang berhak mendapatkan perlakuan baik. Karena sekarang isteriku adalah kamu, jadi, i love you." Setelah mengatakan itu ia pergi meninggalkanku. "Hayo ... mikirin apa? Senyum-senyum sendiri," ucap Kak Farhah. Aku hanya tertawa kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD