Chapter 19

1501 Words
Seorang pangeran akan dengan gagahnya menggendong sang putri menuju istana. *** Sasi memilih mengenakan dress berkerah yang panjangnya sampai di bawah lutut dengan model A-line. Warnanya putih, ada semacam ban pinggang lebar yang membuat lekukan tubuh Sasi tidak sepenuhnya tersembunyi. Model kerahnya adalah melipat dengan bagian ujung yang semakin meruncing. Ada bordiran bunga-bunga warna ungu dan hijau. Bagian lengannya sedikit menggembung. Sederhana tanpa tambahan aksesoris. Sasi menggerai rambutnya dan membiarkan sebagiannya ke depan. Tas kecil diselempangkan miring. Ia sudah siap pergi ke "Bright Moon" restoran untuk bertemu Felix dan untuk makan siang bersama yang lain seperti Janu dan Doni. Pintu kamar terbuka dan Elard sudah siap berdiri di depan. Sasi sempat terkejut karena adanya Elard. Tadinya ia mengira Elard akan menunggu di bawah, bukan depan kamarnya. Sasi masih selalu terpukau dengan penampilan Elard yang tanpa jas. Elard mengenakan kemaja putih yang dilipat sebagian di bagian tangan. Kemejanya dimasukkan dalam celana panjang model fit slim berbahan kain warna khaki. Elard menggunakan sepatu kets warna putih yang ternyata sama warna dengan sepatu kets yang dikenakan Sasi. "Kenapa bengong? Kagum?" tanya Elard dengan senyum dikulum. "Kenapa pakai putih?" Kan jadi seperti couple, lanjut Sasi dalam hati. "Memangnya kenapa?" "Kan saya pakai putih. Kenapa kamu pakai putih juga?" "Ya apa saya tahu kamu pakai putih?" tanya Elard kalem, padahal dalam hati tertawa kecil dan berterima kasih pada Adia. Ada hal yang membuat Elard bahagia siang ini. Tak lain tak bukan adalah informasi dari Adia bahwa Sasi terlihat biasa saja. Bahkan kata Adia, Sasi memilih pakaian sederhana. Kesederhanaan yang justru menonjolkan kecantikkan Sasi. "Ya, sudah. Saya ganti baju." Saga segera menahan Sasi dengan memegangi lengannya. "Kenapa? Kamu gak suka kalau kita sama-sama putih?" Sasi melengos. Warna putih dan putih mengingatkannya akan baju pernihakan meski konsepnya beda. Membayangkan itu saja wajahnya sudah memerah apalagi menyampaikan pikirannya. "Ah, taulah." Sasi menyentak tangan Elard dan melangkah duluan. Pintu kamarnya ditutup Elard. Sasi tak melihat jika Elard tertawa tanpa suara, mengepalkan tangan, dan mengucapkan, "Yes!" juga tanpa suara. Di ujung tangga, lagi-lagi lengan Sasi dipegang Elard. "Apa lagi?" tanya Sasi sewot. Elard tersenyum manis. Mengambil kurk dan meletakkan di pagar tangga. Tanpa aba-aba, Elard sudah menggendong Sasi. "Elard!" "Hmmm...?" Elard menatap Sasi lembut. Yang ditatap justru belingsatan. Sasi jelas kesusahan berontak. Salah satu kakinya di gips dan itu membuatnya tak mungkin melakukan gerakan pemberontakan yang berlebihan. "Turunkan!" "Iya. Itu kurknya tolong dibawa." "Sekarang!" "Nanti kalau sudah di bawah. Ayo, kurknya diambil," pinta Elard sekali lagi masih dengan senyum terkembang. "Gak mau. Turunkan saya!" Elard menatap ke arah lain sembari menghela napas. "Ya sudah. Saya juga gak masalah gendong kamu ke mana-mana." "Maksudnya apa?" "Kalau kurknya tidak kamu bawa, maka saya akan gendong kamu ke mana-mana. Kan gak mungkin saya biarin kamu jalan dengan menjijit." Elard menatap ke dalam mata madu Sasi dengan senyum kemenangan. Sasi tidak mau membayangkan di gendong Elard terus-menerus. Bisa mati di tengah jalan kalau di gendong Elard setiap saat. Wangi after shave Elard, hanya membuat Sasi menggila. Apalagi melihat warna biru samar di seputar dagu, menggoda jemari Sasi untuk menyentuh dan merasakan dagu yang habis dicukur. Buru-buru Sasi mengambil kurknya dan memegangnya, sedangkan Elard dengan tenang menggendongnya turun. Sasi melihat Ceu Lilis dan Mang Yana baru keluar dari ruangan Mahesa, tak lama Mahesa juga keluar. Ketiganya terkejut sesaat, dengan cepat berubah menjadi tawa kecil. "Turunkan saya cepat," desis Sasi. Elard diam saja. "Aduh, pas jadi penganten," ujar Ceu Lilis setelah sejoli sampai di bawah. "Kalau begini kan enak liatnya." Mahesa menyahut dengan mengerling. "Mau pergi?" tanya Elard. "Iya. Mau lihat vila itu lagi. Juga mau ke rumah lama. Mau memastikan sesuatu." Elard mengangguk. "Kita pergi dulu." "Ke rumah sakit, jadi?" tanya Mahesa yang sekaligus pengingat. "Iya. Setelah dari restoran," jawab Elard. Mahesa mendekati Elard dan Sasi. Menatap Sasi dengan sayang. Setangah geli karena melihat wajah Sasi yang putih sudah berubah merah. Melihat Sasi dalam gendongan Elard, hatinya juga sendu. Teringat saat-saat Sasi masih bayi bahkan balita. Untuk menidurkan gadis itu, Mahesa menggendongnya seperti Elard menggendong Sasi saat ini. Dicubitnya kedua pipi Sasi lembut. "Jangan nakal, ya. Turuti Elard meski dia brengsek." Mahesa tertawa dan mengusap sekali kepala Sasi dengan sayang teramat sangat. Elard mendapat julukan 'b******k', sontak mendelik. Tapi, Mahesa tak peduli dan hanya cengengesan. Sasi sendiri justru tertawa geli. "Abdi bantu buka pintu mobilnya, Mas." Mang Yana menawarkan diri dan bergegas keluar sembari mengambil kunci mobil. "Kita pergi dulu, ya. Ceu, pergi, ya," pamit Elard diikuti Sasi yang juga berpamitan. *** Suasana restoran awalnya ceria. Di depan sudah dipasang papan bertuliskan "Tutup". Di dalam, terutama di dapur, Janu sudah selesai dengan masakan istimewanya, Doni pun sudah selesai menata meja. Kini Janu, Doni, dan Adia duduk di salah satu meja dekat jendela dan bercanda. "Itu mereka!" seru Adia sembari menunjuk ke arah luar di mana mobil Elard sedang diparkir. "Saya panggil, Bos." Doni berdiri dan bergegas memasuki ruangan Felix tanpa mengetuk. Janu tersentak saat melihat yang keluar pertama dari mobil adalah Elard. Ia menoleh ke arah Adia dan menatap tajam. "Kamu gak bilang kalau orang itu datang juga?" Adia kini ganti yang tersentak dan menepuk jidatnya. "Saya lupa bilang." Janu mengalihkan pandangan ke arah ruangan Felix dan kembali menatap Adia gemas. "Kok, bisa lupa? Berapa usiamu, ha?" Adia menatap tepat ke manik mata Janu dengan dongkol. "Kenapa bawa-bawa usia, sih." "Hanya orang tua yang selalu lupa menginformasikan hal yang sepenting ini." "Iya! Iya saya lebih tua dari kamu. Tapi, pelupa gak harus milik orang tua, 'kan?" Perteraungan mata yang konyol. Janu selalu gagap jika mata Adia yang seperti kucing menatapnya tajam. Ia segera mengalihkan pandangan kembali ke arah luar. Elard menggendong Sasi. Ini akan jadi bencana bagi bosnya jika melihat adegan manis itu. Janu menggaruk kepalanya kasar. Ia kemudian berdiri. Saat hendak keluar dari kursinya, telapak tangan Janu dipegang Adia yang masih duduk. "Mau ke mana?" tanya Adia penasaran. "Ke luar." "Hah? Mau apa?" Adia ikutan berdiri dan menatap ke arah luar. Elard dan Sasi sudah semakin dekat. "Minta orang itu menurunkan Teh Sasi." "Jangan kekanak-kanakan!" "Kamu tega liat Bos Felix melihat adegan itu?" tanya Janu sengit dan juga gelisah karena jarak Elard sudah semakin dekat. "Adegan apa?" Sontak Adia dan Janu menoleh ke arah asal suara. Felix tampak rapi dengan kemeja putihnya dan ini membuat Adia makin merasa bersalah. Sama dengan Elard, Felix juga meminta informasi pakaian warna apa yang dikenakan Sasi. Dengan polosnya Adia menginformasikan pada dua pria yang sedang jatuh hati pada satu orang yang sama. Belum sempat Adia dan Janu mencegah Felix untuk melihat kemunculan Elard bersama Sasi, pasangan itu justru sudah masuk dan berdiri di ambang pintu. "Lho.... I...i...itu...." Doni yang berdiri di belakang Felix, menunjuk kedatangan sejoli dengan suara terbata-bata. Ia menatap punggung bosnya. Meski tak tahu bagaimana raut wajah Felix, tetapi Doni yakin bosnya juga sama terkejutnya dengan dirinya. Felix menatap nanar pada Elard dan juga Sasi yang masih dalam gendongan Elard. Emosi dan perasaannya bermacam-macam saling menumpuk. Membuatnya hanya terpaku diam dengan mata melebar. Perlahan Elard menurunkan Sasi dan membantu gadis itu dengan kurknya. Dengan kaku, Sasi tersenyum pada semua. "Hai," sapanya kikuk. Sasi tahu, jika suasana ini menjadi aneh karena kemunculannya dibarengi Elard. Tak hanya perihal Elard, tetapi di gendongnya itu juga pasti membuat semua menjadi kagok. Sasi menoleh ke arah Elard dan memberikan tatapan setajam pisau dapur milik Janu. Mencoba mengirim telepati melalui matanya. 'Lihat! Gara-gara kamu maksa gendong, suasananya jadi kacau begini, 'kan!' Elard bukan tak mengerti kekesalan Sasi, tetapi dia memilih tak acuh saja. Ia hanya sedikit kesal kenapa Felix ikut-ikutan memakai kemeja warna putih. Elard melangkah dulu mendekati Felix dan mengulurkan tangan. "Bagaimana kabarmu?" Tatapan Felix penuh dengan nafsu ingin meninju Elard. Namun, demi melihat sikap laki-laki Elard yang menyapa dulu sembari mengulur tangan, Felix meredam kesalnya. Ia tak mau terlihat kekanak-kanakan di depan banyak orang terlebih di depan Sasi yang sudah lama tak ditemuinya. Felix menyambut tangan Elard. "Baik. Apa kabar?" "Selalu baik," jawab Elard sumringah sembari melepas jabatan tangannya. "Bagus. Terima kasih sudah mengantar Sasi kemari." "Sudah kewajiban saya." Jawaban kalem tetapi sarat makna. Menegaskan pada Felix bahwa segala sesuatu perihal Sasi, harus selalu terkait dengan dirinya yang entah apa statusnya. Felix tak peduli. Dengan senyum manis, Felix menghampiri. Matanya tak lepas menganggumi cantiknya Sasi. Kerinduan yang tak terbendung, membuat Felix mengabaikan semua. Ia langsung memeluk Sasi. Sedang yang dipeluk hanya bisa mendelik dan menatap semua dengan perasaan makin tidak nyaman. Apalagi saat matanya bersirobok dengan mata hitam Elard yang melotot. "Apa kabarmu, Sasi?" tanya Felix pelan. "Baik, Felix." "Saya merindukanmu." Kali ini Sasi memilih diam, tak menanggapi. Ia tak mau menambah perkara. Felix melepaskan pelukannya. "Ayo, Sas. Janu sudah masak makanan favorit kamu. Spagheti dengan kerang dan keju di dalamnya." Seketika Elard tersenyum semakin lebar. Spagheti dengan kerang dan keju adalah makanan yang dulu pernah Elard pesankan khusus untuk Sasi. Masih ingat Elard bagaimana ekspresi Sasi saat menikmatinya. Ternyata selama pelariannya, Sasi tak benar-benar melupakannya. Felix memegangi jemari Sasi dan membimbingnya ke meja yang sudah disiapkan. Saat berhadapan lagi dengan Elard, Felix berkata, "Sasi nanti saya yang antar pulang. Terima kasih." Elard tersenyum manis. "Terima kasih juga. Tapi Sasi akan pulang bersama saya. Lagi pula saya sudah lapar. Saya juga akan makan di sini." "Porsinya sudah cukup untuk kami berlima." "Makan saya sedikit. Saya bisa makan sepiring berdua Sasi." Felix dan Elard beradu mata. Pecikan api seolah keluar dari masing-masing mata. "Kita tanya Sasi, apakah dia keberatan atau tidak makan bersamamu?" desis Felix. "Oke. Bagaimana, Sas?" tanya Elard. Sasi terkejut karena lagi dan lagi ia dilibatkan pada keributan dua pria dewasa yang sebenarnya kekanak-kanakan. Dia menatap Felix dan Elard bergatian. Wajahnya jelas kesal juga bingung menjadi satu. Dirinya diminta membuat keputusan sulit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD