rindu

723 Words
Kuputuskan untuk tidak memandang pada Mas Fendi daripada membuat kesalahpahaman pada istrinya, kupilih memiringkan badan selalu menutup wajah dengan selimut. Masih bisa kudengar wanita itu terus menggumam manja, minta dibelai, dipijiti, diambilkan minum dan dipeluk. Masya Allah, sungguh manja wanita itu. "Apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa kecil hati atau iri," gumamku dalam hati, "hubungan kami sudah berakhir, jadi akan kuanggap Mas Fendi sebagai batu dan batang kayu saja." Pertolongan itu akhirnya datang, seorang perawat dan rekannya menyapaku dan mengajakku pindah kamar. Sungguh lega perasaan ini bisa meninggalkan UGD dan pemandangan menyakitkan mata itu. "Ayo, Bu, kita pindah." "Iya, terima kasih," jawabku. Kurapikan posisi, juga rambutku yang terurai panjang, brankar didorong, ketika melewati Mas Fendi pria itu nampak melihatku lagi, menatapku dengan pandangan sedih, aku tertegun namun aku hanya bisa diam saja. "Ibu, kalau butuh sesuatu, panggil saja ya," ucap Perawat kala sudah meletakkan ranjang di ruangan baru. "Iya, terima kasih." "Oh ya, tidak punya kerabat ya?" "Tidak, anak saya sekolah di luar kota," jawabku. "Oh, baik, Bu. Istirahatlah ya Bu, saya permisi dulu," balas perawat berbaju biru itu. Karena sejak tadi masih terus bergelut dengan perut melilit dan.kepala yang pusing, maka kuputuskan untuk memejamkan mata dan merehatkan sejenak pikiran ini. Kupasang badan ke posisi nyaman, membiarkan selang infus mengalir lancar lalu aku melenakan diri dengan mata terpejam. Entah kenapa mau tidur saja bayangan Mas Fendi kembali datang ke pelupuk mata, dalam keadaan setengah sadar dan sudah mau tidur saja tiba tiba kelebatan memori tentang hal hal indah dan kemesraan kami berkelebat. Ada ingatan tentang peluk, cium dan bagaimana luar biasanya percintaan yang pernah terjadi di antara kami. Bayangan di tempat tidur saat tubuh dan napas kami saling beradu. Tiba tiba aku tersentak kaget, seolah terdorong dan ingin jatuh dan langsung mengucapkan istighfar. "Astagfirullah hallazim," ucapku sambil membuka mata. Baru sedetik buka mata, orangnya sudah ada di depanku. Dia berdiri dan menatap mataku dengan pandangan sendu penuh rindu. Lagipula, kalau bukan rindu, apalagi? nafsu? Tidak mungkin, kami sudah bercerai! "Ka-kamu?' dadaku berdegup kencang mendapati orang yang baru saja tak hadir dalam mimpiku berdiri di depanku dan itu pun tanpa menghadirkan suara apa-apa. "Iya, aku, aku membawakan roti dan minuman," jawabnya. Aku yang tak mau terus beradu pandang langsung mengalihkan wajah dan melihat tembok di sekitarku. Mau kerja apa aku tidak mau kerinduan itu semakin melecut-lecut dan keinginan liar dalam hatiku kembali tercipta lagi. Ah tidak, maksudku bukan keinginan liar untuk berbuat di luar batas, seperti contoh mengulang cinta dan b******a ... namun begitulah, aku ingin menghindarinya. "Jangan hadir di sekitarku karena aku tidak mau dilihat orang lain dan menimbulkan gosip terlebih di sini ada istrimu!" "Apa salahnya aku hanya menjengukmu," balasnya pelan. "Aku berterima kasih tapi sekarang pergilah,"jawabku sambil masih melihat dinding. "Hmm, setidaknya lihatlah wajahku sekali saja," bisiknya sambil mendekatkan wajah. Jangan tanya debaran dadaku saat dihampiri cinta pertama dan cinta masa kecil dalam hidupku. Meski aku kecewa dan menyimpan duka, tetap saja cinta itu tak bisa kubendung. Sungguh, aku tak mau menghadirkan rasa aneh di hatiku lagi. "Aku tidak ingin menatapmu!" "Kumohon, Fatimah," ucapnya pelan, mendayu dan seolah membuka tabir perasaanku yang selalu tersentuh jika suara lembut itu menyapa pendengaranku. Perlahan aku melihatnya, mengumpulkan keberanian agar dia segera menjauh dariku, pandangan mataku bertemu dengan netra coklat yang dibingkai alis tebal yang menegaskan wajah maskulin, yang dulu diidolakan oleh gadis-gadis satu kampung. "Aku masih mencintaimu," ucapnya sambil perlahan mundur dan menjauh dariku. Ucapan seperti itu membuatku langsung terhenyak dan kaget tidak terima sekaligus senang juga karena dia masih menyimpan rasa yang sama. Ah tidak, rasa itu seharusnya tidak boleh sama karena posisi kami sudah berbeda. Aku masih menjanda sebentar statusnya adalah suami orang. Kami tidak boleh menghadirkan rasa yang dulu Ada ke masa sekarang karena itu bukanlah pilihan yang tepat. Sebaiknya cinta yang pernah hadir dalam hatiku, cinta yang begitu besar untuknya, kusimpan sendiri saja. Kami sudah berpisah dengan cara begitu dramatis dan menyakitkan, seharusnya itu sudah cukup untuk menjadi alasanku membencinya. "Aku tidak mendengarmu," ucapku sinis. "Aku merindukanmu dan rasa itu tidak pernah pudar di hatiku sampai sekarang." Aku yang gengsi tentu saja merasa bahwa kalimat itu hanya melecehkanku. Aku kesal dan tidak ingin mendengarkan kalimat cinta lagi meski sebenarnya hatiku haus kasih sayang dan kesepian. "Terima kasih atas puisimu sekarang Tolong biarkan aku tidur dengan tenang. Uruslah istrimu dan jangan temui aku lagi karena itu akan membuatku lebih nyaman!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD