Kita Tau Kan?

1062 Words
Gladis Gue mau ketemu Jam 2 siang, cafe Jelangga, meja no.06 Awalnya Artha ingin mengabaikan pesan yang Gladis kirim dan menemani Helena berbelanja, namun hatinya seolah tergerak untuk memenuhi permintaan Gladis. Lagian Gladis yang tak pernah sekalipun berkirim pesan pada Artha, namun tiba – tiba mengajak bertemu seperti itu menandakan ada yang penting. Seenggaknya lebih penting dari acara belanja Helena. Setelah memarkir mobilnya Artha turun dan memasuki cafe, matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Hingga ia melihat perempuan yang memakai kemeja putih bermotif garis – garis tengah memainkan ponselnya. Segera Artha menghampiri meja yang sudah Gladis duduki. “Gak pesen?” tanya Artha yang sudah duduk didepan Gladis, Gladis sedikit berjingkat kaget, tempat mereka berada paling pojok dekat pintu masuk. Disampingnya juga kosong, hanya terdapat beberapa yang masih ada di cafe itu, karena waktu istirahat siang sudah selesai. “Gue kira lo gak dateng,” ucap Gladis tanpa menjawab pertanyaan Artha, “Awalnya, tapi yah tiba – tiba gue pengen dateng,” jujur Artha. “Jadi ada apa? Tumben lu ngajak ketemu gue?” “Lo gak pesen dulu? Udah makan siang?” Gladis meletakkan ponselnya di meja, mulai memberi atensi penuh pada Artha. “Udahh, perhatian banget lo sama gue. Emang ada apa?” Artha terkekeh remeh, “Gue cuma gak mau lo jantungan aja.” Artha menaikkan sebelah alisnya, sebegitu masalah ya? “Emang ada apa?” “Gue hamil.” Artha membulatkan matanya, dia menatap Gladis yang menyodorkan satu test pack beserta satu amplop surat bertuliskan salah satu rumah sakit di kota mereka. Lama Artha menatap garis dua pada test pack itu tanpa berniat membuka amplop sebagai bukti yang lain. Tangannya tampak sedikit bergetar memegangnya, wajahnya total blank tanda ia masih tak percaya pada apa yang terjadi. Gladis menatap Artha, ia tau jika lelaki didepannya ini shock berat, tapi mau bagaimana lagi? Toh ini juga perbuatannya. Disangkal bagaimanapun, itu kenyataan yang harus Artha terima. Seminggu kebelakang Gladis mempertimbangkan apakah harus memberi tahu Artha atau tidak, dan akhirnya ia memilih memberi tahu Artha. “Gue Cuma ngasih tau aja, lo berhak tau. Tapi gue gak nuntut tanggung jawab kok, gue mau gugurin aja” jelas Gladis enteng sambil membereskan tasnya, ingin segera pergi dari hadapan Artha namun belum sempat sepenuhnya Gladis berdiri, tangganya ditarik pelan oleh Artha hingga dia kembali duduk. Artha kini menatapnya dalam, hingga dahi Gladis mengeryit heran. “Jangan.” Gladis paham, tapi dia berpura – pura bodoh dan tetap diam seolah tak mengerti ucapan yang Artha lontarkan padanya. Dia hanya ingin memastikan “Jangan gugurin, gue mau tanggung jawab, Dis,” ucap Artha mantap. Gladis tersenyum remeh setelah mendengar ucapan Artha, alasan konyol yang kadang malah akan ia sesali diwaktu yang akan datang. Gladis tau Artha belom dan tak akan pernah siap. “Gak! Gue nolak,” jawab Gladis, “Kenapa? Gue kurang apa di mata lo? Kurang kaya? Ganteng? Mapan? Atau apa?” cecar Artha menatap intens wajah Gladis. “Ck! Lo tuh ngambil keputusan sedetik! lo belum mikirin apa yang bakal kejadian kedepannya” sejenak Gladis mengatur nafas “Pikir kalo lo tanggung jawab, lo bakal ngadepin orang tua elo, minta restu keluarga gue, lo bakal gak bebas karna lo udah punya tanggungan dan yang pasti elo harus ninggalin Helena. Lo siap?” Artha kembali diam. Dia memang tak memikirkan kearah itu, yang ia pikir dari siapapun anaknya nanti tak boleh sampe nasibnya buruk apalagi harus mati sebelum terlahir. Dalam kasus ini kesalahan ada diorang tua, anak itu tak punya dosa apapun. Pikirannya langsung tertuju kesitu, dia bahkan tak meragukan kebenaran anak siapa itu. Dan soal Helena, Artha bahkan baru bisa mendapat perhatian balik beberapa hari kebelakang ini, pun dengan menguras isi dompetnya untuk wanita itu. Perjuangan Artha untuk mendapatkan Helena baru dimulai, tapi hal ini bahkan lebih penting. Anak itu darah dagingnya, keturunan Nugraha yang terpandang di kota ini. Pastinya Ayahnya akan senang, walaupun cucunya hasil hubungan diluar nikah. Lagi pula Ayahnya memang sudah lama meminta Artha untuk menikah, katanya penerus perusahaan cuma dirinya, satu – satunya anak dari marga Nugraha. “Gue bakal nikahin elo, secepatnya,” putus Artha sambil menatap mata Gladis tepat pada manik kelam itu, “Lo mikir pendek Tha, Lo bahkan Gak ngeraguin dia anak lo atau bukan” Gladis mencoba mengelak agar Artha merubah keputusannya. “Emang lo pernah tidur sama cowok lain?” Gladis diam tak menjawab, nyatanya memang hanya Artha. “Gak pernah kan? Lagian gue juga yakin lo gak pernah sudi tidur sama cowok, selain waktu itu sama gue-“ Walaupun terpaksa- Artha meneruskan dalam hati, menolak mengakui secara terang – terangan kalau Gladis mabuk saat melakukannya. Gladis diam, ia kehilangan kata – kata. Awalnya Gladis kira Artha akan membiarkan, tapi dugaannya melenceng jauh. Artha justru ingin bertanggung jawab. “Jadi udah berapa minggu?” tanya Artha sambil membuka amplop berisi hasil pemeriksaan Gladis , “Lima minggu dihitung dari terakhir mens!” Artha mengerti, semakin yakin jika itu memang anaknya. Ia pikir meninggalkan Helena tak akan masalah, ia akan mendapat Gladis yang terkenal pintar dan mandiri. Bahkan ia bakal memiliki anak dari wanita itu. “Besok gue ke rumah lo, minta ijin ke keluarga lo,” "Lo bisa gak si, gausah dadakan? Gue belum siap!" Gladis tentu saj protes, dia juga tak ingin membuat sang Nenek jantungan akibat ulah dirinya. "Mau sampe kapan? Hah? Mau sampe perut lo keliatan gede?" Artha tampak tersulut, menatap tajam ke arah Gladis. Gladis jadi ciut, dia merengsek menjauh dari posisinya sebelum. Meskipun pada akhirnya kursi milik perempuan itu malah ditarik mendekat ke arah Artha "Kalo gue bilang itu, yaudah lu tinggal setuju. Gue sebenernya gak usah nunggu elu mau atau enggak, sekarang pun kalo lo mau gue dateng ke rumah elo," Artha menjeda sebentar ucapannya, beralih melirik Gladis hati-hati. "Karena gue ngehargain elu, makanya gue minta izin elu duluan. Semuanya emang gak bakal gampang, Dis! Seengaknya lebih ringan klo kita emang kompak," sambung Artha. Gladis mengangguk, lantas mengalihkan pandangannya dari Artha. Beberapa menit lagi jamnya masuk kantor, jadi ia punya alasan untuk meninggalkan lelaki ini. "Gue balik dulu ke kantor," tanpa berucap apapun lagi, Gladis segera menyahut tasnya dan berlalu meninggalkan Artha. Membiarkan Artha terus melihat seliut badannya dari tempat duduk, Gladis tau ini pasti sulit untuk lelaki itu. Namun, heyy dia yang lebih sulit disini. Tak mau pusing memikirkan hal itu, Gladis memilih mempercepat langkahnya agar segera sampai kantor, ia pasti sudah terlambat. <<<°°>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD