Mulai Sadar

1736 Words
Sedari pagi hingga siang menjelang semua karyawan disibukkan dengan rapat tentang trand baju dibulan – bulan yang akan datang. Mereka membahas gaya pakaian anak zaman sekarang dengan perkembangan mengikuti zaman modern. Semester awal untuk babak baru setelah event yang rutin diadakan di akhir tahun. Karena seiring berjalannya waktu, trand baju berubah – ubah mengikuti selera target pasar mereka yaitu anak remaja, atau yang sudah beranjak dewasa. Perusahaan menuntut para karyawan untuk membuat mode baru untuk pakaian kedepannya. Setidaknya pakaian mereka kan menjadi ikon seperti tahun lalu. Ya, perusahaan pakaian ini adalah perusahan yang memegang derajat paling tinggi brand dalam negeri. Tahun – tahun lalu mereka sangat berjaya, seolah berada pada puncak tertinggi kekayaan. Maka untuk mempertahankan itu, para karyawan menanggung begitu besar beban tugas. Begitu juga dengan Gladis, dia adalah salah satu perancang baju yang bisa dibilang sangat pintar dan kreatif. Banyak dari desain nya yang lolos untuk dipasarkan, serta tampil dalam beberapa fashion show diluaran sana. Gladis berbakat dan pintar dalam waktu bersamaan. Ia pintar dalam menarik para konsumen dengan rancangan yang ia buat. Tugas Gladis sangat banyak memang. Dirinya bahkan melupakan jam makan siangnya lagi hari ini. Padahal kalo diingat suaminya akan selalu marah jika mengetahui hal itu. Kehamilannya memasuki bulan keempat dan akan beranjak menuju bulan ke lima, badannya mulai berat dan mudah lelah. Setiap malam dia akan menyuruh Artha untuk mengelusi punggungnya sambil berusaha untuk tidur. Hamil memang tak nyaman, tapi Gladis menikmatinya. Ada kesenangan lain ketika mengetahui jika didalam tubuhnya terdapat kehidupan kecil yang akan menemani dirinya kelak. Menyenangkan bukan jika mengingat hal itu?? “Dis, dipanggil Bu Hana ke ruangannya.” Putri yang baru saja dari toilet memberitahu saat mereka bertemu setelah makan siang. Bu Hana adalah supervisor dari Divisi Gladis, umurnya hanya terpaut lima tahun dari Gladis. Dialah yang bertugas dalam finishing untuk setiap rancangan yang dibuat oleh karyawan seperti Gladis, serta yang menjadi pimpinan bagi divisi mereka. Gladis memang beberapa waktu lalu sudah mengajukan permohonan cuti untuk melahirkan, Artha terus mengomelinya karena melihat Gladis kelelahan setiap hari. Meskipun pekerjaannya hanya menggambar, tapi tak semudah itu membuat sebuah desain baju untuk perusahaan besar. Artha khawatir. Gladis mengetuk pintu ruangan sang pimpinan setelah sampai didepan pintu ruangan Hana. Tempat mereka berkerja dekat karena memang satu divisi, ruangan Hana ada di paling depan sedangkan milik Gladis di tengah – tengah tempat para desainer. “Masuk!” Mendengar perintah untuk masuk, Gladis membuka pintu dan mengucapkan salam pada Hana. Gladis akui jika perempuan itu sangat ramah, dialah yang mengajukan Gladis untuk mengantikan jabatannya setelah dia menjadi pimpinan mengantikan pimpinan sebelumnya. “Duduk, Dis” perintah Hana setelah Gladis masuk. Gladis menurut dan mendudukkan diri di hadapan Hana. “Soal permohonan cuti mu.” Bu Hana berbicara sambil membuka laptopnya, lalu menghembuskan nafas berat, “Gak bisa, Dis. Pimpinan cuma ngasih sepuluh bulan waktu untuk cuti, itu aja Mbak udah mohon – mohon banget.” “Yah gak bisa ya Mbak, padahal cuma selisih dua bulan” Gladis memang menyematkan panggilan “mbak” karena permintaan Hana. “Masalahnya kamu kan perancang baju ya, Dis, jabatan mu itu tinggi dan penting. Apalagi desain mu banyak disukai petinggi. Itu sepuluh bulan, kamu cuma free dari tugas enam bulan selebihnya kamu work from home” jelas Hana memberi pengertian pada Gladis. Gladis diam. Dia sebenarnya meminta cuti satu tahun, berlebihan sih sebenarnya tapi dia ingin menemani anaknya sampai masa MPASI dan bisa ditinggal dengan menyewa baby sitter. Rencananya Gladis akan cuti saat kandungannya memasuki bulan ke lima, beberapa minggu lagi. “Emang kamu mau cuti mulai kapan Dis?” Hana bertanya setelah lama Gladis diam. “Bulan depan, Mbak, terus niatnya masuk lagi waktu anak ku umur delapan bulan,” jelas Gladis. “Gini aja, kamu cuti waktu kandungan kamu delapan bulan itu kan dua bulan setelahnya kamu lahiran dan sisa delapan bulannya kamu nungguin anak mu di rumah.” saran Hana. “Iya sih, Mbak, tapi aku gak tau kuat apa gak berangkat kerja kalo udah delapan bulan.” Gladis mengutarakan kegelisahannya yang menjadi beban pikiran sejak lama. “Bisa pasti bisa, dulu Mbak Hamil malah sampe delapan bulan lebih baru cuti soalnya waktu itu ada event yang mbak pegang.” "Yaudah deh, Mbak aku ambil cuti kayak gitu aja.” Gladis memutuskan setelah mendengar pengalaman Hana. Tak ada salahnya jika dia cuti disaat kehamilannya mencapai usia delapan bulan , lagi pula kerjanya hanya duduk dan menggambar kalo jalan pun cuma sebentar. Lebih penting dia bisa menemani tumbuh kembang anaknya di awal kelahiran. “Oke deh mbak urusin selanjutnya, kamu yang hati – hati jaga kandungan ya. Kalo boleh tau laki – laki ato perempuan?” “Niatku sih gak mau liat gender mbak, biar jadi kejutan.” “Hahaha iya seru juga ya, besok kalo mbak hamil lagi mau buat kejutan juga deh.” “Nahh gitu juga bagus, Mbak! Oh iya mbak, akhir – akhir ini kenapa keliatan sibuk banget ya? Emang sih kita lagi di semester awal, tapi sebelum – sebelumya gak sesibuk ini deh.” “Oh itu,” Hana menghela nafas beratnya lagi untuk yang ke dua kali “Ada pembukaan cabang di Aussie, Mbak di suruh nyari karyawan yang mau ditempatkan di sana” “Wah susah kalo itu, Mbak, kenapa gak cari yang dari sana aja?” “Yang dari sana udah lengkap semua, cuma yang dari divisi kita belum ada.” Hana menetap tepat pada manik mata Gladis “ Sebenarnya aku mau ngajuin kamu, tapi...” “Aku hamil." “Iya itu... Tapi kalo kamu mau juga gak apa-apa, Mbak cuma butuh persetujuan dari kamu.” Hana diam, kembali bersandar pada kursinya “Lagian cuma ngontrol waktu pembukaan, kamu jadi supervisor bisa work from home terus kan pimpinannya gak kamu.” “Oh beda ya sama yang disini? Tapi emang lama?” “Dua tahun penugasan, itu cuma buat awal – awal peresmian aja biar perusahaan bisa ngeliat kerja karyawan dari sana. Kamu cuma ngontrol, lumayan loh Dis gajinya.” “Emang dari kapan?” “Kalo aku prediksi sih satu bulan dari kamu lahiran, mepet banget sama cuti kamu.” “Tapi kerjanya dari rumah?” “Ya sesekali ngecek ke perusahaan dong!” “Em.. aku pikirin dulu deh mbak.” “Iya deh, masih lama juga. Nanti kabarin kalo kamu mau.” “Iya” >> Sore hari ini Gladis harus mengantarkan makan malam untuk Artha, lelaki itu bilang jika harus lembur dan mau di buatkan bekal untuk makan malam. Jadinya Gladis pulang dan langsung memasak sebelum berangkat lagi mengantarkan bekal di kantor Artha. Hanya bisa sampai resepsionis karena dia diberitahu jika Artha sedang dalam meeting. Maka dari itu Gladis menerima ajakan Flora datang ke restoran untuk makan malam bersama. Katanya mau ada yang dibicarakan, Gladis mau – mau saja kerena memang sudah lama mereka gak ketemu. Setelah sampai disana, dia bisa melihat jika Flora tak sendirian. Ada Dante yang tengah makan disampingnya. Gladis melambaikan tangan pada Flora saat masuk ke dalam restoran. Lebih tepatnya warung apung yang ada dipinggiran kota, langanan mereka sejak SMA dulu. “Udah lama, Flo?” Basa basi Gladis setelah duduk menghadap pada Flora. “Baru kok.” Flora melambaikan tangan memanggil pelayan agar Gladis memesan makanan. Malam ini dia memilih ikan bakar dengan sambel matah, dengan teh hangat manis. Menu yang Gladis sukai sejak dulu. Gladis memang beberapa kali mengajak Artha untuk datang kesini, namun karena sering lembur Artha belum bisa memenuhi ajakan Gladis. “Sehat, Dis? Ponakan gue sehat juga kan?” Flora bertanya sambil menikmati makanannya. “Sehat kok! Lagian lo pasti udah tau dari Dante.” “Tau tuh, Dis, gak percayaan kalo sama gue,” sahut Dante dari sebelah Flora. “Yeee kamu mah banyak bo’ongnya” “Mana ada” “Ada!” Dante mencibir. Setelahnya mereka berbincang – bincang membahas kabar dan kandungan Gladis hingga pesanan Gladis sampai dan memilih untuk larut menikmati makanan masing – masing. Flora dan Dante selasai lebih dulu dan bilang jika ingin berbicara serius pada Gladis, maka secepatnya Gladis menyelesaikan makanannya juga. “Sebenarnya gue cuma mau ngasih tahu elo, berhubung lo sahabat kesayangan gue.” Flora memulai setelah Gladis mencuci tangan. “Aku?” “Ya elo bedalah setan, elo pacar mauan banget jadi sahabat!” “Ya kalo sahabat emang kenapa?” “Ya putus lah b**o! Udah ah mau bicara serius sama Gladis nih.” “Emang kenapa?” tanya Gladis mengabaikan perdebatan sejoli itu. “Artha selingkuh, lo jangan mau sama dia lagi,” ucap Flora sekali tarikan nafas. “To the poin banget anjir?!” Dante protes. “Ya gimana?! Dari pada elo koda – kode mulu, emang detektif mecahin kode?!” balas Flora kesal. Gladis diam, mencerna ucapan Flora Artha selingkuh? Beneran? Tapi kenapa semua orang tahu tapi dia tak menaruh curiga sama sekali pada Artha? Apa mereka semua salah paham? Atau emang Gladis yang gak peka? “Beneran? Lo salah paham kali.” Gladis masih tak percaya ucapan Flora. “Beneran, Dis! Masak gue bo’ong sama lu sih? Ngapain ege?” jawab Flora. “Bener, Dis! Lo mah gak peka padahal gue udah liat gelagatnya dari lama.” Ini Dante ikut menambahi. “Gak tau gue mah, dia kalo didepan gue baik banget gak kayak orang selingkuh,” jawab Gladis. “Ya kalo tipe-tipe cowok selingkuh tuh ada dua macem, satu yang cuek benget gak bakal perduli sama pasangan aslinya, satu lagi yang nutupin pake perlakuan manis.” “Lo tahu dari mana?” “Yah sering itu mah, anak – anak juga udah pada tahu kalo Artha sering keluar sama Helena.” Dante bersuara sambil tersenyum sinis. “Mending lo cere abis lahiran, gak mau gue sahabat gue disakitin. Lagian lo udah tau kalo cinta pertamanya Artha itu Helena. Udah susah itu mah!” Sakit? Entahlah Gladis hanya merasa kosong pada hatinya, responnya memang kelewat biasa saja cuma rasa hatinya tak bisa dibohongi. Seolah ada ruangan yang dulu terisi penuh sekarang kosong dalam sekejap. Semua perlakuan manis Artha berputar dalam ingatan, waktu dimana lelaki itu mengelusi perutnya, menciumi wajahnya, membantunya membuatkan sarapan, mengajaknya menghabiskan sore hari dengan menaiki motor, menemaninya menonton Drakor, semua hari yang sudah ia lewati terulang kembali dan berakhir dimana bayangan Artha dan Helena berjalan berdua meruntuhkan pertahanan Gladis. Ia memang sudah memikirkan perkataan Edward dan Bagas, tapi belum sepenuhnya percaya dan masih terus berpikir baik tentang Artha. Mungkinkah dirinya terlalu naif karena Artha begitu baik? Gladis bahkan tak bisa menangis lagi. Dirinya hancur. >>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD