Bandung

1863 Words
Gladis turun dari mobil setelah mobil sampai didepan pintu kantonha, lali melihat ke arah Artha yang masih menatapnya dari kursi kemudi “Nanti gak usah jemput.” “Kenapa?” “Lembur” “Gak. Nanti tetep gue jemput, telepon aja kalo mau pulang.” “Yaudah.” Gladis menutup pintu mobil yang masih tetap diam tak bergerak, Artha menungguinya sampai tepat berada didepan pintu masuk loby baru Artha melajukan mobilnya keluar dari area kantor Gladis. Gladis melambaikan tangan ketika mobil tersebut berjalan sebelum akhirnya masuk ke dalam kantor. Sedikit mengukir senyum, awalnya memang ada niatan untuk naik taksi atau numpang pada temannya saat pulang kerja. Mungkin Artha juga merasa jika Gladis sangat sibuk. Gladis mengingat beberapa waktu lalu Artha mengeluh selalu diabaikan oleh Gladis, wanita itu akan sangat fokus pada pekerjaannya ketimbang Artha. Bukan tanpa alasan, Gladis harus mengejar deadline untuk event tahunan. Atasan selalu mendorong Gladis menyetorkan lebih banyak desain, belum dengan persiapan acara yang melibatkan Gladis sebagai panitia sekaligus. Walaupun begitu, Artha selalu membantunya. Ikut memberi ide saat Gladis sibuk menggambar selepas makan malam, atau sesekali akan membantu mengetik surat laporan untuk Gladis. Beruntung Artha mengerti tentang surat laporan. Gladis berjalan memasuki lobby kantor setelah selesai memastikan mobil Artha hilang di perempatan. Langkahnya menuju lift untuk ke lantai dimana ruangannya berada. Namun belum sampai dia di depan lift, sebuah tangan menepuk bahunya membuat dia berbalik dan menatap si empunya tangan. “Dante?” “Kita harus ke Bandung, Dis, cepet siap – siap.” “Sekarang?” “Iya.” Dante lantas berjalan cepat keluar, meninggalkan Gladis yang masih menatap lelaki itu tak mengerti. Dirinya harus ke Bandung? Sekarang? Memang ada satu kantor cabang di kota tersebut, biasanya juga mereka akan ke sana untuk survei, namun kali ini terlalu mendadak. Pikiran Gladis masih berkecamuk, tapi langkahnya kembali menuju lift. Lebih baik dia segera bersiap supaya bisa menyelesaikan tugasnya di Bandung. >> Arthanda (alumni SMA) Dis jangan lupa makan siang Dis? Makan siang Kok gak dibales? Lagi sibuk ya? Dis? Udah makan siang? Jadi mau dijemput jam berapa? Pukul 3 sore rapat baru usai, Gladis bisa melihat bagaimana wajah letih para pekerja keluar dari ruang rapat. Bersyukur karena berakhir dengan memuaskan. Semua orang satu persatu mulai meninggalkan ruangan, sedangkan dirinya masih betah duduk di kursi tempat sejak awal dirinya datang, sambil menunggu Dante selesai dengan pekerjaannya. Tadi pagi dirinya langsung berangkat setelah Dante memberitahu Gladis akan tugas mereka di Bandung. Mereka harus menyusun semua agenda event yang akan di adakan di kota tersebut, sekaligus melihat gedung yang akan di tempati. Tepat pukul sepuluh rombongan yang terdiri dari lima orang termasuk Gladis dan Dante sampai, langsung memulai rapat setengah jam setelahnya. Ada beberapa argumen dari para petinggi perusahaan, yang dengan mudah dapat diatasi para pekerja. Hingga mereka dapat mempersiapkan event dengan matang sempurna. Gladis menatap ke arah Dante, temannya itu masih fokus pada laptopnya maklum saja karena dialah yang berperan penting dalam rangkaian event tahunan ini. Bahkan lebih memilih melewatkan makan siang dan terus melanjutkan rapat. Padahal biasanya Artha selalu mengingatkan untuk ma– Gladis baru ingat jika Artha selalu mengirim pesan padanya saat jam makan siang, Gladis segera mencari ponsel dari dalam tas. Ia sengaja men-silent benda tersebut disaat rapat berlangsung, ponselnya diam dalam tas sejak mereka sampai di Bandung. Terlalu fokus pada pekerjaan membuat lupa akan Artha yang menunggu kabar darinya. Gladis segera membuka notifikasi dari Artha, sekilas tersenyum saat merasa Artha sedang khawatir padanya. Anda Tha? Sbb Dirinya masih mengetik balasan untuk pesan Artha saat ada panggilan masuk dari suaminya itu. Menggeser ke atas ikon berwarna hijau, dan menempelkan ponsel pada telinga. “Halo, Gladis!” Gladis terkekeh, suara Artha kentara akan kecemasan. “Iya, apa?” “Kemana aja??? Kok gak bales chat gue sih?!” “Gue ada rapat dari pagi, sorry banget baru buka hp” “Udah makan siang?” “Belom.” “Kok belom sih?! Jangan telat makan, sekarang lo ke kantin makan!” “Lagi nungguin Dante kelar ngerjain proposal dulu.” “Kok sama Dante?” “Oh gue lupa! Gue lagi di Bandung, nyiapin event disini” Artha tampak menghembuskan nafas berat dari sana, mungkin sedang menahan amarah lantaran Gladis tak memberitahu akan keberangkatannya ke Bandung. “Kok gak bilang?” “Dadakan banget, tadi aja gue langsung berangkat.” “Gitu ya? Terus nanti pulang jam berapa?” “Nan–“ Belum sempat Gladis menjawab pertanyaan Artha, Dante yang sudah menyelesaikan pekerjaannya menepuk pundaknya pelan membuatnya menengok ke arah lelaki itu. “Kita nginep, Dis, gak mungkin pulang hari ini,” ujar Dante. “Nginep??!!” Mendengar teriakan Artha, tangannya langsung menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Artha membuat gendang telinganya berdengung nyeri, bisa – bisanya berteriak seperti itu. “Iya, gue mau nginep sama Gladis.” ini bukan Gladis yang menjawab, melainkan Dante yang mendekatkan mulutnya pada ponsel Gladis. “Kurang ajar ya lo, Dan! Bawa-bawa istri orang sembarangan, pulangin istri gue!” “Apaan sih?! Orang kerjaannya masih banyak.” “Pulangin sekarang gakk!!!” “Nyenyenye.” Setelah itu Dante berlalu keluar ruangan, menyisakan Gladis sendiri. Kembali ia mendekatkan ponselnya pada wajah bukan di telinga, trauma jika harus mendengarkan teriakan Artha lagi. “Pulang!" “Masih ada survey gedung, gak bisa kalo pulang sekarang.” “Terus pulangnya kapan?” “Besok pagi” “Padahal besok hari sabtu, mau ngajak elo makan bubur pagi.” “Minggu aja.” “Yaudah deh, sana lo makan! Belom makan kan?!” “Iya ini mau nyusulin Dante.” “Hm. Entar malem gue telepon lagi.” “Iya” >> Rombongan Gladis memutuskan menginap di hotel dekat gedung yang akan menjadi tempat acara digelar. Karena biaya di tanggung oleh perusahaan mereka harus berbagi kamar satu sama lain. Ada tiga kamar, Gladis satu kamar dengan Biana dari bagian produksi. Tidak ada kecanggungan sebab keduanya sudah saling mengenal baik satu sama lain, juga karena Biana lebih tua dari Gladis, dia berperan baik layaknya kakak bagi Gladis. “Kak Bian gak nelepon anaknya?” Gladis bertanya setelah menyelesaikan mandinya, melihat Biana masih bersantai di atas kasur. “Udah tidur kalo jam segini, tadi sore juga udah kok.” Gladis mengangguk, tidak heran karena jarum jam sudah menunjukkan jam sembilan malam waktu bagi balita tidur. Gladis memilih duduk di balkon dan memainkan ponsel, melihat jika Biana juga sudah bersiap untuk tidur, pasti lelah seharian tak ada waktu untuk rehat. Gladis belum mengantuk, lagi pula Artha bilang mau telepon malam ini. “Kok belom ya? Padahal ini udah malem,” monolog Gladis sambil memandangi ponselnya. Akhirnya Gladis berinisiatif untuk menelepon terlebih dahulu saat melihat jam waktu Artha aktif. “Halo?” “Artha! Katanya mau telepon?!” Suara Artha tampak seperti orang baru bangun tidur, apa mungkin lelaki itu ketiduran? “Gue ketiduran.” kann “Kok bisa?” “Gak tau, kangen elo mungkin.” “Gak nyambung!” “Gue sambungin apa susahnya?” “Terserah deh.” Setelah itu mereka saling diam, Gladis yang tenggelam dalam pikirannya sedangkan Artha yang masih mengumpulkan nyawa sehabis bangun tidur. “Gue belom ganti baju tau.” “Gak nanya.” “Hehehe ... Gue ngasih tau. Belom makan juga gue.” “Kok belom makan sih?! Yaudah makan sana.” Artha terkekeh di seberang sana, Gladis sedang mode bawelnya. “Udah malem, males kalo beli keluar.” “Ya masak dong!" “Gue skip aja kali ya.” “Gak boleh ya, sana masak!” “Gue cuma bisa buat mie” “Sini pindah ke Videocall gue ajarin.” Tak beberapa lama tanda ikon kamera muncul, tanda jika ingin beralih ke fitur Videocall. Gladis mengesernya, dia bisa melihat wajah letih Artha yang masih mengunakan kemeja putih sehabis kerja. Bajunya yang digulung hingga siku sungguh menambah kesan keren pada diri Artha, lelaki itu punya banyak pesona di setiap penampilan. “Mau masak apa?” pertanyaan Artha menyadarkan Gladis. “Buat nasi goreng aja.” “Ribet, masak mie aja.” Wajah Artha muram saat mendengar menu yang Gladis sarankan. “Enggak, bahannya ada semua di kulkas. Tadi pagi niatnya gue masak itu buat makan malem,” jelas Gladis. Artha tak menjawab, kakinya melangkah meninggalkan ponsel untuk membuka kulkas. Gladis ingat sekali jika dirinya sudah menyiapkan bahan nasi goreng kemarin malam, semuanya sudah siap termasuk bumbu halus yang Gladis buat semalam. “Ini?” Artha kembali sambil memperlihatkan kotak tupperware, tempat yang Gladis gunakan untuk menaruh sosis juga sayur pelengkap. “Iya, lo tumis dulu itu bumbu halusnya. Ada di wadah kecil dalem tupperware.” “Pengorengannya yang mana?” “Yang kecil aja, biar ga ribet.” Setelahnya Artha mendengar komando yang Gladis ucapkan, dengan teliti dia melakukan step by step cara membuat nasi goreng. Sebenarnya dia juga tau, hanya saja ia suka mendengarkan Gladis berbicara panjang lebar. Lagi pula tidak terlalu sulit, karena Gladis sudah menakar semua bahan – bahan. Pembicaraan mereka juga sudah sampai membahas hal yang mereka lalui seharian ini, bertukar cerita seperti hari – hari lalu. “Gak pake telur ceplok?” Gladis mengingat saat Artha sudah mengambil nasi goreng untuk ia taruh diatas piring, sedikit bangga melihat keberhasilan Artha. “Oh iya, gak usah deh! Udah gini aja cukup kok.” Gladis mengangguk, dia juga merasa cukup kenyang jika hanya memakan nasi goreng buatan lelaki itu tanpa tambahan telur. “Dis, lo gak pernah cek up ke dokter ya? Perasaan gue aja, atau emang lo gak pernah ke dokter?” Artha bertanya disela dirinya menyendok nasi goreng dari piring memasukkan ke dalam mulut. “Iya ya, gue lupa, Tha! Cuma cek sekali waktu mau bilang ke elo.” “Ck! Kok bisa lupa sih? Itu udah satu bulan lalu.” “Ya maaf, lo tau sendiri gue sibuk. Nyiapin nikahan, pindahan, terus sekarang ada event.” “Senin ayo cek up, gue yang anterin.” “Liat nanti aja, kalo agak longgar.” “Gak ada ya, Dis, lo gak mikirin dia apa? Lo aja gak ada minum s**u hamil.” Gladis bisa melihat raut kesal Artha meski lelaki itu tengah repot mengunyah makanannya. “Gue mau minum, cuma nunggu rekomendasi dokter dulu.” “Yaudah Senin sama gue, kalo gak gitu besok aja." “Libur dong dokternya, kan weekend.” “Senin. Gak ada tapi.” “Iya – iya” Sebenarnya ucapan Artha benar, Gladis memang tak begitu memperhatikan kandungan sedari awal. Dirinya disibukkan dengan berbagai urusan, jangan lupakan jika dirinya juga yang membantu Bagas untuk gaun pernikahan lelaki itu satu bulan lagi. Rasanya lucu, padahal Bagas yang bilang akan menikah malah Gladis dan Artha yang sah lebih dahulu. Takdir memang tak ada yang tau, benar kata neneknya. Gladis jadi kangen Nenek. Malam itu Gladis menutup teleponnya tepat pukul sebelas malam, itupun karena matanya yang tak bisa lagi diajak kerja sama menunggui Artha yang tengah menyelesaikan pekerjaan. Mereka bercerita banyak, tak ada kecanggungan. Entah sadar atau tidak, mereka tak pernah membangun dinding pembatas satu sama lain. Meskipun pernikahan mereka terpaksa, tapi satu sama lain saling membutuhkan dan menerima dengan baik. Gladis yang dengan kesabarannya bisa mengatasi Artha yang ingin semaunya, dan Artha yang dengan segala perhatian yang ia tujukan pada Gladis. Mereka saling melengkapi satu sama lain, dan semoga akan seperti itu selamanya. >>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD