2. Perbincangan

2027 Words
Aku dan Hyun Soo saling berjabat tangan, mungkin memang saatnya untuk membuka hati. Hyun Soo benar, jika aku memang mengatakan untuk menerimanya dan menjalani perkenalan, tapi fakta yang aku lakukan justru berbanding terbalik. Aku bersikap seolah tak peduli dan tak nyaman berada di sekitarnya. "Jadi, bisa kamu mulai ceritanya? Sudah terlalu banyak basa-basi," ucapku yang membuat Hyun Soo tertawa. "Aku tidak lahir di sini, kami pindah saat umurku 10 tahun. Saat itu aku mengantar Eommoni untuk membagikan makanan dan kue beras ke tetangga. Saat itu aku melihatmu untuk pertama kali, gadis kecil yang cantik." Aku mendengarkan cerita Hyun Soo tapi tidak tersipu sama sekali dengan pujiannya, karena realitanya aku memang cantic sejak dini. "Lalu?" "Aku bertanya siapa nama gadis itu pada Bibi Hana, lalu Bibi memperkenalkan kita saat itu. Gadis kecil itu mengatakan jika dia bernama Lee Min Ah. Seharusnya kamu masih ingat, tapi mungkin karena kamu menganggap perkenalan itu suatu kejadian yang tidak terlalu penting sehingga kamu melupakannnya." "Iya, aku tidak ingat sama sekali," jawabku dengan jujur. "Apakah kita berteman saat kecil?" tanyaku penasaran, karena jujur saja aku memang sengaja melupakan memoriku ketika tinggal di Korea. Bagiku semuanya menyakitkan, sehingga aku tak ingin mengingatnya lagi. Bahkan nama teman-temanku dulu tak ada yang aku ingat satu pun. "Tidak, kamu cukup pendiam saat kecil. Seperti saat ini," jawab Hyun Soo sembari menatapku dalam. "Aku memiliki kenangan yang buruk selama di Korea. Aku memilih untuk melupakan segalanya yang terjadi dan berhubungan dengan negara ini. Aku juga tidak ingat siapa teman-temanku dulu. Aku sengaja melupakan semuanya." "Aku melihatmu bermain sendirian di halaman depan. Kamu juga terlihat acuh dan pendiam ketika diperkenalkan denganku. Aku pikir kamu akan mengalami perubahan ketika dewasa, ternyata tetap sama saja. Kamu terlihat kesepian." Hyun Soo menatapku dengan aneh, entah mengapa aku justru merasa sedikit tersinggung. Aku menilai jika Hyun Soo sekarang ini tengah mengasihaniku, aku wanita sempurna sehingga tak perlu di kasihani oleh siapapun! "Tidak, kamu salah. Aku tidak pernah merasa kesepian. Karena bagiku, hidupku hanya fokus untuk diriku sendiri dan keluargaku. Aku tidak pernah memikirkan orang lain di luar sana. Mereka membenciku, menyukaiku, aku tetap tidak peduli. Karena apa pun yang mereka katakan, yang mereka rasakan tentangku, tidak akan berpengaruh pasa hidupku. Aku tidak butuh di kasihani!" Hyun Soo seperti memahami jika moodku berubah secara drastis sehingga dia justru menyunggingkan senyum manisnya. Yang entah sejak kapan menjadi senyuman favoritku. "Apa kamu tau jika seorang raja, membutuhkan rakyat untuk bisa disebut sebagai raja. Seorang penjual membutuhkan pembeli untuk menghabiskan dagangannya. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kamu tidak akan menjadi seperti sekarang ini tanpa koneksi dan para kolegamu. Restoranmu tidak akan maju tanpa pelanggan yang membelinya. Aku tau kamu tidak peduli dengan orang lain, tapi bukan berarti kamu tidak membutuhkan orang lain. Aku tidak bermaksud untuk mengasihanimu. Aku mengatakan kamu terlihat kesepian karena kamu tidak pernah menoleh pada orang-orang di sekitarmu. Banyak orang menyayangimu tetapi kamu memilih untuk tidak peduli." Aku masih terdiam, aku tidak tau harus menjawab seperti apa. Apa yang dikatakan oleh Hyun Soo sepenuhnya benar, tapi aku tidak menyukainya. Dia belum mengenalku, dia tidak tau apa pun tentangku, jadi tidak seharusnya dia menilaiku seolah sudah sangat mengenalku. "Jangan berusaha untuk memahamiku di saat kamu tidak mengenal siapa aku!" Karena moodku yang berubah secara drastis, ekspresi yang aku tunjukan juga kian berubah. Hyun Soo menyadari itu sehingga dia tak lagi tersenyum. Hyun Soo justru meraih jemariku untuk di genggamnya. "Kamu memiliki kisah masa lalu yang buruk karena orang-orang di sekitarmu, tapi tidak semua orang seperti itu, Rachel. Apa yang terjadi denganmu di masa lalu lupakanlah. Kini kamu telah menjadi sosok yang baru, tidak akan ada lagi yang berani meremehkanmu, menyakitimu atau bahkan mengejekmu. Orang-orang yang dulu menghinamu belum tentu sekarang nasibnya sama baiknya denganmu." Aku menatap Hyun Soo cukup lama, bagaimana dia bisa tau? "Kamu tau?" tanyaku dengan terbata. Jujur saja aku merasa malu karena Hyun Soo tau masa laluku yang pernah menjadi korban perundungan di sekolah. "Bibi Hana dan Eommoni berteman, mereka sering berbagi cerita. Eommoni menceritakan tentangmu ketika memintaku untuk berkenalan denganmu." "Lalu apa tanggapanmu tentangku? Apa kamu akan mengejekku? Karena aku lemah dan bodoh?!" Aku mencoba mengatur nafasku untuk meredam emosi yang siap meledak. "Kamu wanita cerdas dan berbakat, yang terjadi di masa lalu anggaplah sebagai bentuk kenakalan anak-anak. Mereka tidak tau apa yang benar dan salah. Mereka melakukannya karena merasa iri akan kelebihanmu, maka tidak seharusnya kamu merasa rendah diri." "Aku tidak pernah merasa rendah diri, aku selalu percaya diri!" balasku tidak terima. "Baiklah, maafkan aku karena salah bicara." Hyun Soo tertawa lalu sebelah tangannya dengan berani mengusap pipiku. "Seberapa kerasnya kamu menolak keberadaan orang lain di sisimu, tapi aku akan membuatmu terbiasa denganku, dengan keberadaanku dan mulai membiasakan hatimu yang kelak akan menerimaku." "Percaya diri sekali," ejekku yang membuat Hyun Soo kembali tertawa. "Apa kamu selalu seperti ini?" tanyaku. "Yang seperti apa?" "Selalu ramah pada semua orang." "Jadi menurutmu aku ramah?" "Lumayan." "Tidak juga, sikapku tergantung pada siapa yang aku ajak bicara." "Kamu tertarik padaku?" tanyaku dengan spontan. Aku juga cukup penasaran, aku tidak ingin jika suatu saat aku sudah bersusah payah untuk menerimnya, nyatanya dia tidak tertarik padaku. Hanya sebatas merasa penasaran karena aku yang sulit digapai pada awalnya. "Tertarik, itu sebabnya aku menerima dijodohkan denganmu tanpa penolakan sama sekali." "Dijodohkan?" tanyaku sembari mengerutkan kening. "Bukankan proses perkenalan lewat orang tua seperti ini sama saja dengan dijodohkan?" jawab Hyun Soo sembari tersenyum. "Jika di jodohkan kita tidak memiliki hak untuk menolak, sedangkan di kasus kita berbeda. Kita berhak untuk menolak." "Aku tidak ingin menolak." Aku memutar bola mataku mendengar jawaban Hyun Soo. "Apakah kamu yakin jika orang tuamu akan menyukaiku? Kamu mengenal Eomma, sedangkan aku tidak mengenal orang tuamu sama sekali. Sejak aku pindah ke sini, aku tidak pernah mengenal siapa teman-teman Eomma. Ketika mereka mengadakan pertemuan aku hanya sekedar menyapa sebentar, lalu pergi. Aku tidak suka berkumpul dengan para orang tua yang hanya sibuk menanyakan kapan anak-anaknya menikah lalu kapan akan hamil. Hal itu sangat merepotkan dan mengganggu." "Eommoni bilang jika kalian sempat berkenalan." "Eomma memang pernah mengenalkan para teman-temannya, tapi aku langsung melupakanya. Karena bagiku itu tidak penting untuk tau siapa mereka." "Berarti kamu harus lebih mengenal Eommoni, karena dia yang akan menjadi calon mertuamu," goda Hyun Soo sembari menggoyangkan alisnya. "Jika aku tidak menyukai ibumu, bisa saja hal itu akan berpengaruh pada keputusanku untuk menerimamu. Apakah itu tidak masalah?" Kali ini giliran aku yang menggoda Hyun Soo, dia nampak terkejut dengan apa yang aku katakan. "Kenapa begitu? Yang akan menikah itu aku, bukan Eommoni. Jika kamu tidak merasa cocok dengannya kenapa aku yang harus kena imbasnya?" Hyun Soo nampak tidak terima. Aku ingin tertawa tapi ini bukan waktu yang tepat, karena aku juga serius dengan apa yang aku katakan. "Jika calon mertuaku kelak adalah sosok yang menyebalkan, lalu untuk apa aku menerima anaknya? Mertua akan merecokiku dengan banyak hal, sedangkan putranya jelas akan lebih membela ibunya dari pada aku. Aku juga tidak menginginkan sebuah drama permusuhan antara menantu dan mertua, itu sangat tidak keren sama sekali. Makanya aku pernah mengatakan jika aku adalah wanita karir, aku akan menolak jika ibumu memimpikan memiliki menantu yang pintar mengurus rumah tangga, mengurus anak dan hanya menunggu suaminya pulang. Aku tidak mau seperti itu, maka jika aku bertemu dengan ibumu kelak lalu aku mengidentifikasi adanya ketidak cocokan pada kami, maka aku memilih untuk mundur," jelasku dengan panjang lebar. "Penjelasanmu membuatku sedikit pusing," jawab Hyun Soo sembari memijat pelipisnya. "Apakah kamu mulai menyadari jika aku tidak akan menyukai ibumu?" tanyaku dengan curiga. "Tidak juga, Eommoni adalah sosok ibu yang sabar dan penyayang. Aku yakin jika kamu akan menyukainya," jawab Hyun Soo dengan percaya diri. Dia tidak tau saja jika aku sangat sulit untuk menerima seseorang, meskipun itu teman dekat Eomma sekalipun. "Jangan besar kepala dulu, aku tipe orang yang pemilih," jawabku dengan kesal. "Aku hanya senang mendengarmu berbicara panjang lebar seperti ini. Tapi kamu berbicara terlalu cepat sehingga aku sedikit pusing saat mendengarkannya," jelas Hyun Soo sembari terkekeh, aku lalu memukul lengannya karena kesal. Tapi mataku seketika membulat, lengan Hyun Soo terasa sangat kekar dan keras, membuat pikiranku bercabang ke berbagai arah. Hentikan pikiran bodohku! "Sakit?" tanya Hyun Soo dengan khawatir. "Sedikit, lenganmu keras sekali." "Kamu ingin menyentuhnya?" Aku menatap Hyun Soo dengan heran, apa maksudnya? "Kenapa aku harus menyentuhnya?" "Siapa tau kamu penasaran," jawabnya sembari terkekeh. Aku hanya diam karena memang tidak paham dengan jokenya. "Ini sudah malam, kamu pulanglah." "Mengapa kamu selalu mengusirku ketika aku sudah merasa nyaman berada di dekatmu?" ucap Hyun Soo dengan kesal. "Karena ini sudah malam, kita sudah cukup berbincang," jawabku sembari tertawa kecil. Melihat ekspresinya entah mengapa membuatku tidak bisa menahan tawa. "Tapi ini belum larut malam." "Apa kamu terbiasa pulang larut malam?" tanyaku dengan menatapnya penuh curiga. "Beberapa kali, tapi  tidak sering." "Untuk apa?" "Pesta, bertemu kolega bisnis, menghadiri acara, ada banyak." "Kamu sering ke kelab malam?" tanyaku curiga. "Ya, karena sering ada pesta di sana. Banyak kolega yang lebih suka mengadakan pertemuan dan menyelenggarakan acara di kelab malam." Hyun Soo menyadari tatapanku yang berbeda. "Kamu tidak suka ke kelab malam?" tanya Hyun Soo seolah terkejut, apakah baginya semua orang sudah sangat biasa mendatangi kelab malam? "Bukankah aku sudah mengatakan jika aku tidak suka keramaian," jawabku dengan dingin. Mengetahui fakta jika Hyun Soo gemar mendatangi kelab malam membuatku merasa tidak nyaman. Atau lebih tepatnya aku merasa tidak suka. "Apa kamu tidak suka jika aku pergi ke kelab malam?" tanya Hyun Soo sembari memelankan nada suaranya. Seolah takut jika aku marah. "Itu sebabnya kamu sering seks bebas?" tanyaku dengan cepat, mengabaikan pertanyaan Hyun Soo padaku. "Aku tidak pernah mengatakan jika aku sering melakukan seks bebas. Aku pernah melakukannya tetapi tidak sering." Ekspresi Hyun Soo berubah, apakah ini saatnya untuk aku melihat amarahnya? Dia jelas tersinggung dengan ucapanku karena aku bertanya seolah menuduhnya, tapi aku memilih untuk tidak ingin peduli. Aku tidak menyukai kelab malam beserta para pengunjungnya. Hyun Soo jelas terbiasa melihat wanita sexy, penari nakal dan para penggoda lainnya. Aku jelas juga sexy, tapi kastaku jauh di atas mereka. Entah mengapa, saat ini aku melihat Hyun Soo rendah di mataku. "Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang." Aku beranjak dari posisi dudukku, tetapi Hyun Soo enggan untuk beranjak dan justru terdiam menatapku. "Kamu marah?" tanya Hyun Soo dengan ekspresi serius. "Tidak." "Ada yang salah dengan ucapanku?" "Tidak." "Lalu kenapa sikapmu berubah?" "Ini sudah malam, Hyun Soo. Sebaiknya kamu pulang, aku juga butuh istirahat." "Ini karena kelab malam atau seks?" Hyun Soo menyentuh pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Tidak ada, pulanglah." "Tidak! Sebelum kamu menjawab dengan jujur." Sorot mata Hyun Soo menunjukkan jika dia marah. "Aku tidak merasa nyaman setelah tau kamu sering mengunjungi kelab malam. Seolah tempat itu merupakan tempat yang biasa kamu kunjungi setiap harinya," jawabku dengan jujur. Tidak ada untungnya juga bagiku menyembunyikan ini dari Hyun Soo. "Aku memang kesana, tapi bukan untuk bersenang-senang." "Apa pun bentuknya, matamu tetap akan merasa senang setelah melihat banyaknya pemandangan indah di sana." "Kamu cemburu?" "Untuk apa aku harus cemburu, kita tidak berada dalam posisi untuk pantas saling cemburu. Aku hanya selektif memilih calon pendamping, harus berapa kali aku menjelaskan padamu!" ujarku dengan kesal. "Baiklah, aku akan mencoba untuk mengaturnya." "Sekarang pulanglah, aku sudah mengatakan semuanya." "Jangan marah." Hyun Soo menggenggam tanganku, tapi aku melepaskannya. "Kamu mau pulang dengan sopan atau aku usir!" ujarku dengan sewot. Kini Hyun Soo sudah kembali lagi, dia terkekeh mendengar ucapanku. Apakah amarah dan rasa kesalku tidak berefek padanya? Aku tidak merasa dia takut atau terganggu, Hyun Soo nampak sangat tenang. "Besok aku jemput." "Kemana?" tanyaku bingung. "Berangkat kerja." "Aku bukan orang kantor sepertimu yang harus berangkat pukul 8 pagi, Hyun Soo. Jadi kamu tidak perlu repot untuk menjemputku." "Jam berapa kamu berangkat?" "Jam 10 pagi." "Aku akan mengirim supir untuk menjemputmu." "Sudahi perdebatan kita sampai di sini. Aku tidak suka kamu mengaturku. Aku sudah terbiasa berangkat dengan Eomma. Jadi aku tidak membutuhkan bantuanmu. Sekarang pulang." Karena aku hanya melihat Hyun Soo yang tersenyum tidak jelas, aku memilih meninggalkannya untuk masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau Hyun Soo mengejarku. Tingkah Hyun Soo selalu saja bisa merubah moodku dengan cepat. Mudah membuatku kesal, tapi mudah juga membuatku tertawa. Membuatku menjadi takut padanya, takut jika aku bisa nyaman dan menerimanya secepat ini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD