Keping 1 : Pernikahan

1615 Words
Jatuh cinta dan patah hati adalah Dua kata mutlak yang tak bisa didefinisi. ______________&&&______________ Hari ini adalah hari terakhir Adiva memakai seragam putih abu-abunya ke sekolah, tiba-tiba jantungnya berdebar hebat kala sahabat baiknya melambaikan tangan di depan kelasnya, dia Aldebaran Malik siswa kelas 12-IPA 2 yang sering nongkrong di kelasnya saat jam istirahat sekolah hanya untuk menggoda dan menjahilinya. Tak jarang Al juga bersembunyi di dalam kelasnya saat jam-jam pelajaran kosong atau saat guru kelas Al tidak hadir karena suatu hal. Adiva menyapa teman-temannya yang ia lewati dengan ramah, seperti biasa mereka akan membentuk grup rumpi bersama gengnya masing-masing, tampak mereka saling bertukar cerita untuk membingkai kenangan paling berkesan yang tak terlupakan sebelum mereka mengejar mimpi di universitas pilihan mereka masing-masing, tiga tahun menuntut ilmu di SMA Ahmad Dahlan ini tentu saja menyisakan banyak kenangan tersendiri, salah satunya Adiva, ia pahat senyuman terbaiknya saat langkah kakinya mengikis jarak di antara dirinya dan Aldebaran yang sedang bersidekap menunggu dengan senyuman khasnya. Sekuat tenaga Adiva menguatkan hati dengan rasa yang selama ini ia pendam sendiri. Sakit, tentu saja Adiva rasakan. Namun itu adalah pilihan yang terbaik, Adiva tidak akan siap jika Al menjauhinya hanya karena cinta yang salah. Adiva hanya tidak ingin menodai persahabatannya bersama Al yang sudah terjalin selama 1,5 tahun itu. Perkenalannya dengan Al terbilang unik, mereka bertemu di sebuah pasar malam yang diadakan setahun sekali setiap pembukaan pabrik gula. Waktu itu Adiva sedang melihat-lihat kelinci-kelinci lucu yang dijual di pinggiran jalan bersama abangnya, ia ingin sekali memiliki kelinci yang berwarna putih dan abu-abu dengan bulu-bulu indahnya itu. Namun, Farhan melarang Adiva. "Ayo Dek, Abang geli lihatnya," protes Abang Hahan, sapaan kesayangan Adiva untuk abangnya, Farhan Al-Ayyubi satu-satu saudara kandung yang ia miliki. "Ini buat kamu." Tiba-tiba suara seorang remaja laki-laki berpeci hitam dengan memakai sarung dan koko putih menyerahkan dua ekor kelinci kecil dalam sebuah kotak. Adiva terkejut menatap remaja yang tidak ia kenal tersebut. Namun, karena keinginannya memiliki kelinci lucu itu Adiva menerima dengan mata berbinar dan mengucapkan terima kasih pada remaja laki-laki tersebut, belum sempat Adiva menanyakan nama remaja tersebut Farhan sudah menarik tangannya menjauh. Adiva masih sempat menoleh ke belakang lalu melambaikan tangannya sembari mengikuti langkah Farhan yang berada di depannya. Keesokan harinya Adiva dikejutkan dengan kehadiran Aldebaran yang tengah duduk bersantai di kursi tempat duduknya, tubuh Adiva masih membeku saat menyadari bahwa mereka ternyata satu sekolahan. Al adalah ketua rubrik majalah di sekolahnya, itulah informasi terbaru yang ia dengar dari sahabatnya Safira yang kini tengah berdiri di sisinya. Kisah persahabatan Adiva bersama Aldebaran dimulai detik itu juga. Al juga salah satu santri di sebuah pesantren besar di kota Jombang, Pondok Pesantren Al-Amin tepatnya, SMA Ahmad Dahlan sendiri masih dalam naungan pesantren besar tersebut. "Hei Adiva endut," sapa Al yang seketika membuat Adiva mengerucutkan bibir sepanjang 5 cm yang seketika membuat Al tergelak, panggilan ironi untuk Adiva yang memiliki tubuh kurus dan tinggi badan hanya mencapai 155 cm. Al selalu berkilah bahwa ucapan adalah doa setiap kali Adiva memprotesnya. "Ikut aku sebentar yuk!" Al menarik lengan baju Adiva dengan paksa menuju taman sekolah yang tampak sepi karena memang para siswa kelas 10 dan 11 sedang dalam proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas seperti biasa, hanya kelas 12 yang bebas setelah melaksanakan ujian kelulusan atau UN. "Apaan sih Al? Main tarik-tarik aja, aku kan juga pengen gabung dengan anak kelasku, lagian kenapa kamu nggak ikut kumpul teman sekelas kamu aja sih?" Protes Adiva sambil mengikuti langkah lebar Al dengan tertatih. Al hanya membalasnya dengan senyuman, tangannya masih dalam posisi yang sama, menarik lengan Adiva agar mengikutinya. "Duduk sini, aku ingin bicara sebentar sebelum aku pulang ke kampung halamanku." Ucapan Al yang seketika membungkam bibir Adiva, rasa sesak menghantam dadanya dengan keras saat mendengar ucapan Al namun sekuat tenaga Adiva tetap memahat senyuman di kedua sudut bibirnya "Kamu pulang kapan Al?" tanyanya menahan kuat-kuat agar buliran kristal yang sudah menggantung di pelupuk matanya tidak bergulir. "Tiket keretaku lusa jam 10 pagi, kuharap kamu mengantarku ke stasiun," jawabnya dengan tatapan sendu ke dalam bola mata Adiva. Adiva tahu Al sedang mencari sesuatu dalam netranya. Tes .. buliran kristal itu mulai jatuh satu persatu tanpa bisa ia cegah. "Please, Jangan bersedih Adiva, kesedihanmu membuatku berat untuk pergi," balas Aldebaran, ia berpindah posisi dari di samping Adiva menjadi di hadapan gadis itu. "Aku mencintaimu Adiva, sangat mencintaimu," aku Aldebaran yang seketika membuat jantung Adiva seolah berhenti berdetak. Bibir Adiva seketika terkunci rapat tak tahu harus berkata apa, ia pandangi netra elang Al, ia tersenyum dalam lukanya, Adiva tahu itu. Netra elang itu tak pernah berbohong padanya, hanya saja selama ini Al tidak pernah menyatakan perasaannya begitu pun dengan Adiva, gadis itu memilih menyimpan sendiri di dasar hati terdalamnya. Kini pertahanan Adiva jebol, air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Bibirnya bergetar menahan isak. "Please Adiva jangan menangis, aku janji akan sering mengunjungimu saat liburan semester nanti, aku hanya ingin kau menjaga hatimu hanya untukku selama kita jauh," ucapnya yang semakin membuat air mata Adiva menderas. Ia hanya mampu menganggukkan kepala lalu menyodorkan jari kelingkingnya pada Al, lalu Al menautkan jari kelingking mereka. Tatapan Al seolah menyelam ke palung hati Adiva yang mencoba menolak perpisahan itu. "Cup.. Cup.. Cup.. Adiva. Sudah jangan menangis lagi, hanya ragaku yang akan pergi tidak untuk hatiku. Ini.. Sudah kusiapkan spesial untukmu," seringai jahil Aldebaran kembali menguasai wajah tampannya. Adiva tersenyum lalu mengusap air mata di pipinya dengan tisu yang Al ke luarkan dari dalam saku seragam putih yang dikenakannya sambil memukul lengan remaja laki-laki itu dengan kesal. Seketika hati Adiva menghangat dengan perlakuan manis Al padanya. Adiva tak pernah menyangka bahwa perpisahan begitu menyakitkan. Baginya Aldebaran adalah bintang paling bersinar yang selalu mampu menerbitkan senyuman di bibirnya. ***** "Jaga ini untukku Adiva!" Aldebaran menyerahkan bunga mawar berwarna ungu yang tampak segar beserta potnya. Dengan tersenyum geli Adiva menerima bunga itu lalu meletakkan bersama dengan bunga-bunga kesayangan ibunya. Safira menahan tawa geli kala menyaksikan perlakuan manis Al pada sahabatnya Adiva. Safira sudah tahu sejak lama jika kedua sahabatnya itu saling jatuh cinta. Sayangnya mereka saling mengakui perasaan disaat perpisahan telah berada di ujung mata. Dan itu adalah pilihan mutlak bagi mereka berdua. "Kamu mengejekku ya Al? Kamu kan tahu aku nggak pernah merawat bunga trus warna ungu pula ini kan simbol warna janda," protes Adiva yang langsung disambut tawa keras oleh Aldebaran. "Dasar Roman picisan!" ejek Safira lalu berjalan memasuki rumah Adiva, Safira sengaja memberikan ruang dan waktu yang tersisa untuk kedua sahabatnya tersebut. "Itu mitos, kamu tahu alasanku kenapa aku ngasih mawar berwarna ungu untukmu?" Balasnya lalu mengusap kepala Adiva yang terhalang jilbab. Rona merah seketika menyapu pipi Adiva bersamaan dengan gelengan kepalanya. Karena gugup Adiva segera mengajak Aldebaran masuk ke dalam rumah untuk berpamitan kepada Ayah, ibu, dan Farhan yang kebetulan sedang berada di rumah. "Kamu nggak ingin tahu alasanku?" Desaunya sambil berjalan mengikuti langkah Adiva. "Apa emang?" Tantang Adiva padanya dengan kedua alis terangkat. "Ya emang nggak ada alasan, karena cinta tidak membutuhkan alasan kan?" jawab Al dengan tawa berderai. "Sejak kapan kamu pinter gombal Al?" cibir Adiva dengan pipinya yang merona. "Sejak aku jatuh cinta padamu," balasnya yang seketika membuat wajah Adiva terasa memanas. Keluarga Adiva menyambut kedatangan Aldebaran dengan hangat, mereka semua tahu Aldebaran dan Safira bersahabat dengan Adiva, Al sendiri beberapa kali bermain ke rumah Adiva. Bahkan Al mampu mengakrabi Farhan, abang Adiva, mereka sering bermain play station atau sekadar bermain catur bersama saat Al datang ke rumah Adiva. Terdengar ayah Adiva banyak memberinya wejangan agar Al menuntut ilmu setinggi mungkin, dan tentu saja mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Dan Al sudah melakukan satu hal saat awal memasuki kelas 12. Al, Adiva, dan Safira telah sepakat melanjutkan pendidikan di Kota Malang. Namun kedua orang tua Al menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta, kembali ke kampung halamannya. Dan Al menyanggupinya. ***** "Dan sekarang aku duduk di hadapan seorang penghulu bersanding dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua 15 tahun dari usiaku sedang menjabat tangan penghulu, mengucapkan ikrar suci pernikahan di hadapan ayah dan para saksi," rintih hati Adiva menahan sesak di hatinya. Sah.. Sah.. Sah.. Suara itu menggema seantero masjid, Adiva hanya membeku saat moment sakral itu berlangsung, sesuai intruksi, Adiva meraih tangan laki-laki yang kini sah menjadi suaminya dengan menunduk lalu mencium punggung tangan itu dengan penuh tawadhu'. Sekelebat kenangan bersama Al semakin menyesakkan d**a Adiva, ia mengingkari janjinya sendiri. Pandangannya mengabut saat laki-laki di hadapannya menyematkan cincin di jari manisnya dengan tersenyum lembut. Adiva sudah tak menghitung berapa kali juru foto itu mengabadikan moment sakral itu, ia hanya patuh dengan arahan perias pengantin saat juru foto itu memotret mereka hingga acara selesai lalu perias pengantin tersebut membawanya masuk ke dalam rumah yang memang berada di depan masjid tempat ijab qobul berlangsung. "Aku kosong, tak berasa, tak bermakna Al," dengung jiwa Adiva yang meronta dalam kemanguan. "Adiva, sabar ya? Aku yakin kamu kuat menghadapi ini semua," bisik Safira dengan terisak sambil memeluk tubuh sahabatnya tersebut dengan erat, ia adalah saksi perjalanan cinta Adiva bersama Al sekaligus saksi berakhirnya cinta mereka. Tanpa Adiva sadari ia sudah berganti dengan gaun pengantin model kebaya dengan ekor panjang menjuntai berwarna biru senada dengan laki-laki yang menyematkan cincin di jari manisnya, mereka duduk berdampingan di atas pelaminan. Ia melirik laki-laki di sampingnya sekilas yang tampak tenang seperti tanpa beban. "Senyuman kamu cantik," bisiknya pada Adiva, sesaat Adiva terpaku saat melihat senyum hangat itu. Senyum yang dulu tidak pernah Adiva dapati saat ia menerangkan pelajaran paling Adiva benci semasa sekolah di MTs Darul Hikmah. Ia Ustadz Azzam guru pelajaran Nahwu-Shorof yang khas dengan wajah kaku dan dingin saat mengajar itu kini telah resmi menjadi suaminya. Seketika Adiva memalingkan wajah ke arah lain karena rasa gugup yang mendera. Dan itu untuk pertama kalinya ia berani menatap wajah suaminya setelah penetapan hari pernikahan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD