Keping 3 : Perpisahan

1453 Words
Pertemuan adalah awal dari sebuah perpisahan. Dan perpisahan itulah yang akan menuntun kita pada jalan menuju masa depan. Rasa, luka, dan cinta lah yang akan mengajarkan kita bahwa pertemuan dan perpisahan adalah nyata. Kita hanya butuh bersabar untuk menunggu waktu keduanya terlaksana. ___________________&&&___________________ Flashback On... Air mata Adiva mengalir deras saat kereta eksekutif yang akan membawa Al pulang ke Jakarta sudah berada di stasiun, Al berdiri menghadap Adiva dengan kedua tangan memegang bahu gadis itu, kedua netra mereka saling beradu, mengungkapkan segala rasa yang berkecamuk di dalam d**a, rasa yang baru bersambut namun harus dimulai dengan perpisahan yang telah menanti di ujung mata, tidak hanya Adiva yang menanggung lara, Al pun merasakan hal yang sama. Namun demi masa depan, mereka harus mengikhlaskan, jika berjodoh waktu yang akan menyatukan cinta mereka dalam ikatan ikrar suci pernikahan. Sekuat tenaga Al menahan laju air matanya agar tak terjatuh, bagi Al ini bukanlah perpisahan dan ia tidak akan mengucapkan kata perpisahan pada gadis yang ia cintai yang kini tengah berdiri di hadapannya sedang berjuang menguatkan hati atas kepergian dirinnya. Ingatan Adiva mencoba merangkum semua kisah indahnya bersama Al yang telah terajut selama 1,5 tahun ini, ia pandangi wajah Al yang khas dengan lesung pipinya saat tersenyum. Senyuman yang akan tersimpan rapat dalam relung hati terdalamnya. Sungguh Adiva tak menyangka jika jatuh cinta akan semenyakitkan ini. Jika ia tahu akan seperti ini maka ia pasti sudah menjaga hatinya baik-baik agar tidak jatuh cinta pada laki-laki di hadapannya yang berhasil menyita seluruh perasaan dan pikirannya saat ini. "Harusnya kamu bahagia Adiva, ini semua demi masa depan kita berdua, aku berjanji setiap liburan semester aku akan mengunjungimu, jaga dirimu baik-baik," ucap Al sambil menyeka air mata Adiva yang tak berhenti menetes. Sekuat hati Al tidak menyentuh tubuh Adiva yang terlihat bergetar karena tangisnya. Namun baru saja ia berbalik satu langkah menjauh dari Adiva hatinya tak sanggup. Raga dan hatinya menyerah. Sungguh perpisahan ini sangat menyesakkan dadanya, dengan cepat Al menarik tubuh Adiva lalu memeluknya dengan erat tanpa berucap. Air mata Al pun menetes lalu dengan segera ia hapus dengan punggung tangannya, Al merasakan debaran jantungnya dan Adiva berirama kencang secara bersamaan dengan kedekatan mereka. Namun Al segera tersadar lalu melepaskan pelukannya. "Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu Al?" Gumam Adiva dengan menatap netra Al yang memerah. "Kita pasti bisa Adiva, percayalah padaku, jaga hati ini untukku," ucap Al lalu menunjuk d**a Adiva dan dadanya bergantian. Adiva hanya mampu mengangguk dengan berlinang air mata. "Aku mencintaimu Adiva Dania Khanza," ucap Al lalu segera berjalan menuju gerbong di mana tempat kursi duduknya berada. "Aku juga mencintaimu Aldebaran Malik, sangat," teriak Adiva sambil melambaikan tangan melepaskan kepergian Aldebaran. Bersamaan dengan teriakan Adiva peluit kereta berbunyi nyaring hingga memekakkan telinga tanda kereta akan segera berangkat, Al membalas lambaian tangan Adiva sambil mengulas senyuman khasnya. Berlahan kereta berjalan menjauhi stasiun Jombang hingga yang tertinggal hanya ekor kereta yang membawa raga Al menjauh, tubuh Adiva tiba-tiba merosot jatuh terduduk di lantai stasiun sambil memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Seketika dunianya seakan senyap, sunyi, dan sendiri. Ia sudah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang di depannya, bahkan panggilan Safira dari kejauhan pun tak bisa Adiva dengar, dengan terengah Safira mendekati Adiva lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat, berlahan kedua tangan Adiva membalas pelukan Safira dengan tubuhnya yang masih terdiam membeku di tempat. Flashback Off.... "Al maafkan aku, aku tidak berniat mengkhianati janji kita," rintih Adiva dalam tidurnya dengan berurai air mata. Seketika tubuh Azzam yang masih memegang gagang pintu hendak ke luar dari kamar membeku di tempat, ia menoleh menatap Adiva dengan perasaan tak menentu. Hembusan nafas berat Azzam terdengar keras sebelum ia menutup pintu dan ke luar dari kamar dengan perlahan. Kedua mata Adiva mengerjap berlahan bersamaan dengan cahaya mentari yang menyilaukan matanya, cahaya itu mengintip di sela-sela jendela kamarnya. Dengan tergesa ia singkirkan selimut yang menutupi tubuhnya lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi, hanya butuh waktu 10 menit Adiva sudah siap turun untuk sarapan. Dan yang membuat hatinya gelisah adalah bagaimana tanggapan kedua orang tuanya nanti, dihari pertamanya menjadi seorang istri ia bangun kesiangan. Sangat memalukan, bisa-bisa ia akan kekenyangan dengan kisah 1001 malam dari ayahnya. Berlahan Adiva menuruni anak tangga menuju ruang makan, terdengar sayup-sayup obrolan orang-orang yang berada di sana. "Udah bangun Sayang," sapa Azzam dengan tersenyum lembut lalu menepuk kursi kosong di sebelah kanannya. Adiva menelan salivanya dengan keras saat kedua orang tuanya menatapnya dengan tatapan aneh. Terlebih panggilan sayang dari bibir Azzam justru malah menambah kegugupannya. "Oalah Nduk jam segini kok baru bangun," tegur Fitri ibu Adiva dengan perasaan sungkan pada Azzam menantunya. "Nggak papa Bu tadi Dek Adiva baru tidur setelah adzan subuh, masih kecapean," jawab Azzam ramah di depan kedua mertua dan kakak iparnya. "Maaf ya Nak Azzam klo nanti Adiva sering merepotkan, maklum anak ragil manjanya bukan main," terang Mansur ayah Adiva dengan ramah. "Nggak papa Yah, saya malah suka klo Dek Adiva bersikap manja sama saya," terang Azzam sambil menatap Adiva yang tertunduk malu tanpa kata, Azzam perhatikan tangan Adiva yang saling bertaut di bawah meja, ia tahu Adiva masih canggung dan belum terbiasa dengan kehadiran dirinya. "Oya saya mau izin sekalian mau memboyong Adiva ke rumah kontrakan saya sambil menunggu renovasi rumah kami selesai," terang Azzam sambil melirik Adiva yang tampak terkejut dengan ucapannya. "Tentu saja Nak Azzam, tapi sering-sering main sini ya?" Jawab Fitri dengan mata yang seketika berkaca menatap Adiva, ia tak menyangka putri kecilnya kini sudah beranjak dewasa dan telah menjadi seorang istri, hatinya seakan belum rela jika ia menyerahkan putri kesayangannya itu pada orang lain. "Ngeh Bu lagian rumah kontrakan saya dekat dengan kampus dan rumah, setiap hari kami juga bisa main ke sini kalau Dek Adiva mau," terang Azzam. Adiva hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala sebagai jawaban. Hatinya masih butuh beradaptasi dengan keadaannya sekarang. Bukankah seorang istri adalah tanggung jawab suami? Jadi Adiva akan mengikuti ke mana pun suaminya akan tinggal. Farhan bergeming, ia pandangi adik kesayangannya itu dengan perasaan haru, sebenarnya dari awal Farhan tidak setuju dengan perjodohan antara Adiva dan Azzam, bukan karena ia tidak menyukai Azzam, hanya saja ia sedikit tak rela adiknya harus menikah dengan pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya, apalagi usia Azzam dengan Adiva yang terpaut 15 tahun. Farhan tersenyum mengejek pada dirinya sendiri karena diusianya yang baru genap 25 tahun ini memiliki adik ipar yang berusia 35 tahun. Bahkan secara diam-diam Farhan juga mengetahui hubungan dekat antara Adiva dengan Aldebaran, menurutnya keduanya lebih serasi. Namun apalah daya takdir berkata lain. Setelah menyelesaikan sarapannya Farhan segera berpamitan untuk berangkat bekerja kepada kedua orang tuanya dan tentu saja berpamitan juga pada Adiva dan adik iparnya. Ia tatap sekilas mata bengkak Adiva, Farhan yakin semalaman adiknya pasti menangis, hatinya gelisah sebagai kakak ia tidak bisa membela adiknya. Tetapi di sudut hatinya yang lain tak meragukan pilihan kedua orangnya. Azzam begitu sempurna sebagai seorang imam dalam keluarga. ***** Hari keenam pernikahan, Adiva dan Azzam sudah tinggal berdua di rumah kontrakan mereka. Adiva tak menyangka Azzam tak sungkan-sungkan membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian, bahkan Azzam tak marah saat mengetahui Adiva tidak bisa memasak. Justru Azzam yang jago memasak karena selama ini ia tinggal di rumah kontrakan sendiri, itu pun jarang karena waktunya lebih banyak berada di sekolah dan di pesantren. Sejak menyelesaikan gelar S1_nya Azzam mengontrak sebuah rumah untuk dirinya sendiri hingga ia menyelesaikan pendidikan S2 dengan fakultas yang sama, PAI. Sekarang selain masih aktif mengajar di MTs Darul Hikmah Azzam juga merangkap menjadi seorang dosen di Universitas A. Dahlan yang masih dalam naungan yayasan Al-Amin. "Dek sini Mas ingin ngobrol sebentar," panggil Azzam saat melihat Adiva ke luar dari kamar. Dengan malu-malu Adiva duduk di sebelah Azzam yang sedang duduk santai sambil menonton acara televisi. Azzam menggeser duduknya menjadi menghadap Adiva, ia tatap kedua netra Adiva lalu membelai rambut panjang Adiva dengan lembut. "Dek mari kita buka lembaran baru, semua kisah kita di masa lalu biarlah menjadi kenangan untuk kita masing-masing, mari kita membuka kisah manis baru hanya untuk kita berdua," ucap Azzam sambil menggenggam kedua tangan Adiva. Adiva mengangguk dengan mata berkaca, seharusnya Adiva menyadari bahwa Azzam lah suaminya, orang yang berhak memiliki raga dan hatinya sekarang. "Maafkan aku Mas, aku telah mendzolimi Mas Azzam," balas Adiva dengan suara lirih, kini air matanya menetes menatap netra teduh Azzam, netra hitam pekat itu seperti menariknya ke dalam hingga tanpa sadar Adiva menghambur dalam pelukan Azzam. "Aku mengerti Sayang," bisik Azzam lembut sembari membelai rambut Adiva dan mencium puncak kepalanya. "Aku akan bersabar menunggu hingga kau benar-benar mencintaiku Adiva, nanti kau akan tahu jika aku telah jatuh cinta padamu saat pertama kali mengikrarkan namamu di hadapan penghulu, aku tau kau bersedih tapi sejak saat itulah hatiku telah memilihmu seutuhnya untuk menemani disisa hidupku," gumam hati Azzam dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD