Bab 2. Diajak Nikah

1168 Words
"Cepat! Apa kamu nggak bisa ngebut?" bentak Jeff pada Revi. Ia tak bisa tenang karena menebak Gita berniat bunuh diri di jembatan tadi. Jeff menyeka kening Gita dengan sapu tangannya. Darah segar masih menetes dari lukanya yang menganga dan itu membuat Jeff sangat cemas. Revi mengangguk saja. Ia menambah kecepatan mobil. Ia tahu, Jeff sangat sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan bunuh diri. Sudah hampir dua puluh tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi Jeff masih tidak bisa tenang jika melihat hal serupa. Jeff menggendong Gita lalu membawanya ke ruang UGD begitu mobil berhenti di parkiran. Ia memanggil dokter dan perawat agar gadis itu segera ditangani. "Cepat, dokter! Selamatkan dia!" pinta Jeff. "Tolong tenang dulu, Pak," sahut dokter. Jeff mengamati bagaimana luka Gita ditangani. Jeff menelan saliva. "Kenapa dia mau bunuh diri?" Kali ini ia bertanya pada Revi. Revi mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak mengenal Gita. Ia hanya tahu gadis itu adalah sekretaris Haris yang belum lama bekerja di Brilliant Company dan tiga hari lalu baru saja dipecat. "Mungkin dia depresi gara-gara dipecat, Tuan." Revi mengutarakan gagasannya. Jeff mengepalkan tangan. Jika benar begitu, maka ia adalah penyebab Gita hendak bunuh diri. Yah, ia yang sengaja membayar seseorang untuk menghapus berkas presentasi Haris tiga hari yang lalu. "Dia nggak apa-apa, kan, Dok?" tanya Jeff cemas. "Anda tenang saja, ini hanya luka kecil. Keningnya tergores, tetapi saya rasa pasien ini sangat kurang nutrisi jadi kondisinya cukup lemah. Dia harus dirawat malam ini untuk diobservasi," kata dokter. Kedua mata Jeff menatap Gita yang pucat. Ia membuang napas panjang. Gita memang kurus dan pucat, ia jadi tidak tega melihatnya begitu. Setelah dipindahkan ke ruang pasien, Jeff masih menunggu Gita. Setidaknya ia ingin melihat gadis itu sadar dan ia juga ingin memberinya wejangan karena Gita berusaha bunuh diri. Ia harus menyadarkan Gita bahwa seharusnya ia tak mencoba melakukan itu. "Tuan," panggil Revi. Ia melirik Gita. "Saya sudah menyelidiki bagaimana kehidupan Nona Gita." "Ya, gimana?" Jeff begitu penasaran. Ia tak bisa menghubungi kerabat Gita karena tak ada ponsel di tas mungilnya. Hanya ada dompet dengan identitas diri, beberapa kartu ATM dan juga uang tunai yang tak sampai seratus ribu. "Dia lulusan terbaik universitas Buana Raya, Tuan. Dia bekerja di perusahaan kita sejak empat bulan lalu dan dia tinggal dengan ayahnya. Tapi, ayahnya terjerat dengan berbagai judi dan memiliki banyak utang. Saat ini, rumah mereka sudah disita. Dan Nona Gita ... ehm ... dia kehilangan pekerjaannya, Tuan." Jeff memijat keningnya. Karena ia ingin menghancurkan Haris, ia justru membuat seorang gadis kehilangan pekerjaan dan hampir bunuh diri. Astaga! Ia tidak menyangka. "Saya rasa ... dia begitu frustrasi dengan hidupnya, Tuan," kata Revi. "Aku bakal tanggung jawab. Aku bakal rekomendasikan pekerjaan baru buat dia," tukas Jeff. "Bagaimana jika Anda bekerja sama dengan Nona Gita?" Revi menyeletuk. "Maksud kamu?" Jeff menatap Revi tak mengerti. Revi berdehem. Ini adalah pemikiran gila. Namun, lebih baik ia mengatakannya saja. "Tuan butuh istri yang bisa melahirkan bayi untuk Anda. Saya pikir, dia bisa menjadi orang itu." Jeff mendengkus seketika. Ia tak tertarik dengan Gita—sebenarnya ia tidak tertarik dengan wanita mana pun. "Aku nggak mau." "Gadis ini butuh banyak uang, Tuan. Dia pasti mau bekerja sama dengan Anda," kata Revi lagi. Ia hampir mencari wanita bayaran untuk membantu Jeff, tetapi rasanya Gita adalah wanita yang lebih cocok untuk peran ini. Jeff tak menggubris omongan Revi meskipun ia juga mulai mempertimbangkannya. Jika ia bisa membujuk Gita dengan uang, masalahnya akan lebih cepat selesai. Ia hanya perlu menikah dan menghasilkan bayi. Setelah itu, ia bisa bercerai dengan Gita. Detik demi detik berlalu hingga tengah malam pun tiba. Jeff yang hampir tertidur tiba-tiba melihat tangan Gita bergerak. "Hei, kamu udah sadar?" Jeff melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia menatap Gita mengernyit dengan tangan menyentuh dahinya. "Auh ... ah, pusing," ujar Gita seraya membuka matanya perlahan. Ia bingung sekali karena rasanya ia baru saja mendengar suara Jeff. Mungkin ia hanya berhalusinasi karena ia sangat membenci Jeff. Gara-gara pria itu, ia kehilangan pekerjaannya. "Apa yang kamu pikirkan, hah?" Gita membuka mata sempurna. Ini bukan mimpi. Memang benar ada suara Jeff di sini. Dan ternyata bukan hanya suaranya saja, tetapi pria itu memang duduk di sebelah tempatnya berbaring. "Pak Jeff?" Gita menggumam. "Kenapa Bapak bisa di sini?" Gita semakin bingung. Gita merasa pusing, tetapi ia ingat tadi ia baru diusir setelah rumahnya disita. Ia yang tak memiliki apa-apa lagi berniat untuk mencari pinjaman online untuk modal hidup dan mencari pekerjaan. Akan tetapi, ia mendapat kesialan lagi. Ponselnya malah terjatuh ke sungai ketika ia merenung di sana. Gita sedang meratapi nasib sialnya di sana ketika Jeff lewat dan mengira ia hendak bunuh diri. "Saya di rumah sakit?" Gita mengedarkan pandangan. Bagaimana ia bisa ada di sini bersama Jeff? Ia tak mengerti sama sekali. Jeff mendengkus. "Saya udah menyelamatkan kamu dari niat kamu bunuh diri tadi. Ingat?" Gita mengerutkan kedua alisnya. Ia semakin bingung saja. "Bunuh diri? Saya?" Gita menyentuh dadanya yang berdebar. Apakah benar ia hendak bunuh diri? Tak mungkin! Walaupun ia memiliki beban hidup yang luar biasa, ia tak ingin mati. "Tentu saja kamu! Kenapa kamu masih tanya? Tadi kamu hampir lompat dari jembatan, kan?" ledek Jeff. Bibir Gita membulat. Ia memang melongok ke bawah jembatan, tetapi ia hanya menatap ponselnya dengan harapan ia bisa mengambil benda itu lagi. Harapan bodoh. Kemudian ia ingat, mendadak tubuhnya ditarik seseorang ke belakang. Apakah itu adalah Jeff? "Benar, kan?" tanya Jeff lagi. "Kamu hendak mengakhiri hidup kamu." "Saya nggak mau bunuh diri!" bantah Gita. "Jangan bohong," tukas Jeff tak percaya. Ia menegakkan duduknya lalu menunjuk wajah bingung Gita. "Kamu pasti malu mengakuinya, tapi saya tahu hidup kamu berantakan dan itu yang membuat kamu menyerah dengan hidup kamu." "Saya nggak sebodoh itu sampai-sampai saya mau bunuh diri," ujar Gita tak terima. Ia ingin menjelaskan pada Jeff, tetapi ia juga malas berdebat dengan pria menyebalkan itu. "Saya masih pengen hidup panjang, menikah, punya anak dan hidup sampai tua." Gita menjulurkan lidahnya pada Jeff dan pria itu langsung memberinya tatapan tajam. Ia tiba-tiba ingat tiga hari lalu ia dipecat gara-gara berkas di laptopnya hilang. "Saya tahu, itu memang ulah Bapak, kan?" tuduh Gita. Ia mendudukkan dirinya dan menunjuk wajah Jeff. "Apa maksud kamu?" "Bapak yang bikin saya dipecat!" gertak Gita. Ia tak peduli jika Jeff marah padanya. Mereka bukan atasan dan bawahan. Rahang Jeff mengeras. Itu benar. Dan ia merasa agak bersalah karena keadaan Gita saat ini. "Tega sekali Bapak melakukan itu! Saya bekerja keras, tapi apa yang saya terima? Saya dipecat ketika saya butuh banyak uang! Sekarang ...." "Saya tahu kamu butuh banyak uang," potong Jeff. Ia berharap ia tak akan menyesali keputusannya. "Saya akan menebus semuanya, tenang saja. Saya punya tawaran pekerjaan untuk kamu." Gita menelan saliva. Tadinya ia sangat marah, tetapi Jeff merasa bersalah dan ingin menebus semuanya? Ia butuh pekerjaan apa pun itu. Secepatnya! Jika ia bisa mendapatkan pekerjaan sekarang, ia akan menerimanya. "Pekerjaan seperti apa?" tanya Gita tak sabar. "Nggak sulit, kok. Kamu cuma perlu menikah dengan saya," jawab Jeff santai. Gita membelalak. Ia sangat kaget. Dan sedetik kemudian ia langsung tertawa. "Astaga, Pak! Bapak bercanda, kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD