Bab 4 Wedding Organizer

1672 Words
  Setelah hampir satu jam didesak Langga dan Siena, akhirnya Davin dengan sangat terpaksa, mengajak mereka makan siang bersama Renee. Mereka bahkan tak peduli meski Renee adalah CEO perusahaan sebesar Sky Line. Bahkan, Langga dengan penuh percaya diri berkata, “Dia calon istrimu. Pastinya dia akan datang kapan pun kamu ngajak ketemu.” Davin hanya tersenyum kecut mendengarnya. Langga dan Siena sama sekali tak tahu tentang Renee. Siang itu, mereka pergi ke restoran tempat pertemuan pertama Davin dan Renee dulu. Davin sudah menghubungi Renee sekitar dua puluh menit lalu. Untungnya, wanita itu bersedia datang tanpa banyak bertanya setelah Davin menyebutkan Langga dan Siena. Memang, di kesepakatan mereka, Renee menyebutkan sendiri tentang dirinya akan menjadi pasangan yang baik bagi Davin di depan Langga dan Siena. Terutama, Siena. “Tapi, sejak kapan kamu kenal sama Reneesha William? Kenapa kamu nggak pernah cerita?” tanya Langga. Davin memang menceritakan semua hal pada Langga, kecuali dua hal. Satu, perasaannya pada Siena, karena tak ingin menghancurkan persahabatan mereka bertiga. Dua, kebenaran hubungannya dengan Renee, karena itu menyangkut poin pertama. Mengingat sekarang Langga dan Siena pun bukan lagi sekadar sahabat bagi satu sama lain. “Kamu tahu kan, gimana dia. Aku nggak mungkin sembarangan cerita ke orang. Lihat aja, apa yang terjadi di sini kemarin,” sebut Davin. Langga dan Siena mengangguk. “Tapi, Dav, kamu juga tahu kan, semua rumor tentang dia?” tanya Langga dengan suara pelan. Davin berusaha untuk tetap santai, meski ia sebenarnya tertarik. “Rumor apa?” “Jadi, kemarin aku tanya-tanya gitu ke kenalanku karena penasaran. Rumornya, calon istrimu itu dingin dan kejam.” Davin mengerutkan kening. Bagian dingin itu, ia tahu. Namun, kejam? “Kejam gimana? Dia baik-baik aja sama aku,” Davin berkata. Terlepas dari semua sikap dan perkataan merendahkannya pada Davin. “Dia kalau marah sama seseorang …” Langga memberi isyarat dengan gerakan tangan menggorok lehernya. “Nggak mungkin, ah,” tepis Siena. Langga mengedik. “Rumornya sih, gitu. Maksudku, dia kan cucunya konglomerat. Kalau kakeknya nggak ada, perusahaan segede itu cuma dipegang dia sama sepupunya. Ah, dia Erlando William. Kamu pernah nyebutin nama itu. Kamu kan, dulu pernah ketemu dia beberapa kali?” Davin mengangguk. “Dulu, waktu dia di Grup Brawijaya, dia yang megang kontrak sama perusahaanku. Juga, waktu aku kerja sama sama perusahaan yang sekarang dipegang Renee” Langga mengangguk-angguk. “Tapi, Vin, sepupunya calonmu itu kan udah nikah sama putri dari Grup Brawijaya yang katanya megang kepemimpinan di sana. Kalau sepupunya itu nanti pindah ke Grup Brawijaya, otomatis kan, W Group jatuh ke calon istrimu? Itu berarti kamu …” “Aku akan senang banget kalau sampai itu terjadi.” Suara itu membuat Langga, Siena dan Davin menoleh kaget ke titik yang sama. Renee tersenyum dan mengambil tempat di sebelah Davin. “Maaf ya, udah bikin kalian nunggu,” ucap Renee. Ia lalu menatap Davin. “Maaf ya, Sayang.” Davin tentu terkejut, meski ia berhasil menyembunyikannya dalam senyum. Namun, Renee kemudian mencondongkan tubuh ke arah Davin dan mencium bibirnya di sana. Bibir Renee bergerak di bibirnya. Sial, Davin tak bisa menolak ciuman wanita ini. Davin sedikit pusing ketika ciuman itu berakhir. Terlalu panas untuk siang hari yang panas ini. Davin meraih gelas berisi air putih di meja dan meneguknya habis. Didengarnya Langga terbatuk aneh untuk menyembunyikan tawanya. “Maaf, tapi kami emang pasangan yang panas,” Renee menjelaskan. Langga mengangguk mengerti. Davin memperhatikan ekspresi terkejut Siena, tapi wanita itu juga mengangguk. Meski mungkin, sekarang ia jijik pada Davin. Sebelum ini, meski Siena berkali-kali melihat Davin menggoda wanita, tapi tak pernah sekali pun Siena mempermasalahkan itu. Namun, itu karena Davin tak pernah mencium wanita lain di depan Siena. Siena bahkan tak tahu, apa tujuan Davin menggoda wanita lain di depannya. “Tentang W Group yang jatuh ke tanganku itu, aku tentu dengan senang hati nerimanya,” ungkit Renee. “Tapi, istrinya sepupuku nggak sebesar itu hatinya sampai dia mau ngasih kerajaan Brawijaya ke sepupuku. Bahkan meski dia hamil tua kayak sekarang aja, dia masih sibuk ngurus perusahaan. Semengerikan itulah dia. Namanya Alyra Crystalia Brawijaya, kalau kalian belum tahu.” Langga mengangguk-angguk. “Sebelumnya maaf ya, kalau kami nyita waktu sibukmu.” Renee menggeleng dan menoleh pada Davin. “Aku juga udah kangen sama Davin. Baguslah, aku jadi punya alasan buat ketemu dia.” Renee tersenyum manis. Tersenyum manis? Sial! Wanita ini benar-benar pandai berakting! “Kalian udah pesan makanan? Di sini makanannya enak. Aku sendiri yang datangin chef-nya dari luar negeri,” terang Renee. Davin menatap Renee bingung. Begitu pun Langga dan Siena. “Ah, aku belum bilang, ya? Restoran ini punyaku. Karena aku suka tempatnya, aku minta Kakek beliin restoran ini buat aku. Dulu sih, makanannya nggak enak. Makanya aku sampai bawa chef sendiri. Kalau nggak lagi musim hujan, di luar sana enak tempatnya.” Renee mengedik ke taman di samping restoran. Langga dan Siena mengangguk-angguk. Davin hanya menghela napas diam-diam. Tak lama, membenarkan kata-kata Siena, chef restoran itu keluar. Benar, ia pria berkebangsaan asing, melihat rambut pirang dan kulit putihnya, ditambah aksennya saat menyapa Renee. “Selamat siang, Nona William. Apa Nona mau menu yang biasanya atau yang lain?” tanya chef itu. Renee menatap Langga dan Siena. “Kalian mau apa? Aku sih, rekomen steak and pasta.. He’s the best at it.” “I’m the best dalam semua menu, Renee,” ralat chef itu. Renee tertawa. “Oke, I admit it, George,” ucapnya akrab. Davin memperhatikan si George itu. Memang, ia cukup tampan dan masih muda. Jangan-jangan, ia kekasih Renee ketika mereka di luar negeri. Alasan Renee membeli restoran ini, juga membawanya kemari, bisa saja hanya kedok agar mereka bisa bertemu di sini kapan pun mereka ingin tanpa dicurigai dan diliput media. “Mr. Pramana,” panggil George, “ada menu khusus yang kamu inginkan?” Davin menyadari sedari tadi ia mengamati George dengan terlalu intens. Davin menggeleng. Ia berbicara pada Renee, “Kamu aja yang pesan buat kita. Kamu kan, yang paling tahu apa yang enak di sini.” Renee mengangguk dan menyebutkan course menu pada George. George mengecek dan menyebutkan apa saja di course yang disebutkan Renee dan Renee mengangguk. Mereka bertukar senyum akrab sebelum George kembali ke belakang. “Jadi, ada agenda apa kita ketemu di sini? Sekadar makan siang buat kenalan atau ada yang lainnya? Atau, kalian mau ngajak double date?” tembak Renee. Langga tersenyum geli dan menggeleng. “Meski itu boleh juga. Tapi, bukan buat itu. Kali ini, sebenarnya ini buat Siena.” Renee menatap Siena. Davin ikut menatap Siena yang duduk di depan Davin. Siena menatap Davin dan tersenyum lembut. Senyum yang bahkan hingga saat ini mampu membuat jantung Davin berdegup kencang. “Aku pengen jadi wedding organizer-mu, Dav.” Davin mengernyit. “Sejak aku jadi wedding organizer, aku selalu pengen jadi wedding organizer buat pernikahanmu sama pernikahannya Langga. Karena Langga nikahnya sama aku, jadi itu udah tercapai. Tapi, buat pernikahanmu, kamu nggak keberatan kan, kalau aku jadi wedding organizer-nya?” Siena tersenyum lagi. Tak menyadari bagaimana senyum itu kini mengiris hati Davin. Apa yang Siena harapkan? Di restoran ini, dua malam lalu, Davin hampir melamar Siena. Lalu, saat ini, di tempat yang sama, Siena berkata ia ingin menjadi wedding organizer-nya. Bukan mempelainya, tapi wedding organizer-nya. Sungguh, saat ini hati Davin seolah dililit duri. Sakit di setiap tusukannya. Namun, Davin berhasil tersenyum dan menjawab, “Ya.” *** Renee memperhatikan ekspresi kaku Davin meski pria itu tersenyum. Sebentar lagi mungkin ia akan menangis di sini. Sebelum itu terjadi, Renee segera menetralisir suasana, “Tapi, aku harus ngomongin itu dulu ke keluargaku.” Semua menatap Renee, kecuali Davin yang sudah menunduk. Mungkin ia sedang menangis kini. Dasar cengeng. Pria m***m yang cengeng. Itu perpaduan yang … sangat aneh. “Maksudku, kalian tahu kan, keluargaku. Di pesta pernikahan sepupuku dulu pun … yah …” Renee mengedik, tak merasa perlu menyebutkan. Toh, semua orang sudah mendengar rumor tentang berapa banyak uang yang dihabiskan untuk pesta pernikahan Erlan dan Lyra. “Ah, benar juga. Maaf, aku nggak mikirin itu,” sesal Siena. “Tapi, aku bisa ngurus itu kalau Davin yang minta,” Renee berkata. Ia menatap Davin. Pria itu perlahan mengangkat tatapan dan balik menatap Renee. “Itu impiannya Siena. Tolong bantu dia,” Davin meminta. Dengan menyedihkan. Renee nyaris mendengus, tapi ia berhasil tersenyum dan membalas, “Ya, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir. Nanti aku akan ngomong ke keluargaku.” Renee terkejut ketika tiba-tiba Siena meraih tangan Renee, menggenggamnya. “Makasih, ya. Aku benar-benar berterima kasih,” ucapnya sungguh-sungguh. Renee mengangguk. Ia tak begitu suka kebaikan hati wanita ini, sebenarnya. Itu mengusiknya. “Untuk tempat acaranya nanti di mana?” tanya Siena kemudian. “Kalian udah ada tempat yang mau dipakai?” “Buat tempatnya, nanti kamu tetap harus ikut keputusan keluargaku. Juga … nanti kamu tetap akan kerja sama sama orang-orang yang dipilih keluargaku buat acaranya. Karena itu acara besar, dan pastinya akan ada banyak orang, keluargaku juga harus mikirin keamanannya juga.” Siena mengangguk. “Aku ngerti, kok. Di pesta pernikahan kalian nanti pasti banyak orang penting juga.” Renee mengangguk cuek. “Oh iya, Davin bilang, kalian akan bertunangan,” singgung Renee. Davin sempat memberitahu tentang itu pada Renee ketika mereka membahas hubungan Davin dan dua orang ini. Menurut cerita Davin, Langga dan Siena adalah sahabatnya. Mereka selalu ke mana-mana bertiga. Meski, sepertinya, ada banyak kesempatan di mana Langga dan Siena pergi hanya berdua tanpa Davin, melihat bagaimana hubungan mereka berlanjut kini. Malam ketika Davin nekat melamar Renee itu adalah malam di mana Langga dan Siena memberitahu hubungan mereka. Itu pun, mereka mengumumkan pertunangan. Melihat bagaimana Davin sudah menyiapkan cincin untuk lamaran dadakannya pada Renee, bisa ditebak, siapa pemilik cincin itu seharusnya. Sial! Berapa kali pun Renee memikirkan itu, ia kesal juga. Ia tak sudi memakai cincin yang bukan untuknya. Ia akan membicarakan ini dengan Davin nanti. Jika pria itu tak mampu membelikan cincin baru untuk Renee, Renee akan membelinya sendiri. “Iya, kami akan bertunangan bulan depan,” beritahu Langga. “Oh. Tapi, maaf ya, aku sama Davin kayaknya duluan tunangannya. Nikahnya juga,” ucap Renee. Langga dan Siena tampak terkejut. “Emangnya, udah ada tanggal pernikahannya?” “Belum sih, tapi segera. Kami mau nikah besok pun, bisa. Tapi, kasihan wedding organizer-nya, sih.” Renee tertawa kecil. “Yang jelas, mungkin dalam minggu ini atau minggu depan, kami akan bertunangan. Dan segera, kami akan nikah.” Langga dan Siena tersenyum canggung, mungkin masih shock. Sementara, Davin tampak biasa saja. Sepertinya, pria itu sudah pasrah. Tentu saja. Tadi pagi, Renee sudah mengirim berkas kesepakatan mereka ke kantor pria itu dan pria itu langsung menandatanganinya dan mengirim kembali pada Renee. Karena itu pulalah, Renee mau berada di sini hari ini. Karena kesepakatan mereka. Hanya karena itu. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD