Prolog

203 Words
New York di musim gugur. Entah sudah setebal apa kapal di kulit jemari kiri pemuda itu. Jemari yang semenjak duduk di bangku sekolah dia gunakan untuk memetik senar-senar gitar akustiknya. Jemari itu masih memetik senar, yang berbeda adalah jenis gitar yang dimainkan oleh si empunya. Bukan lagi gitar akustik hadiah juara satu lomba menyanyi, melainkan gitar merek Fender CC-60S. Tidak hanya gitarnya yang berbeda, tempat di mana kaki si empunya memijak sudah tidak lagi di tanah kelahirannya. Pemuda itu berdiri di sana. Di tengah keramaian Times Square, New York dengan bibir yang tidak berhenti melantukan syair berbahasa Inggris yang ditulisnya, diiringi oleh petikan senar, yang kemudian membentuk satu kesatuan alunan lagu yang indah dan berhasil membius warga New York. Pemuda itu perlahan membuka mata, menatap satu per satu wajah di hadapannya. Wajah-wajah yang tersenyum, seolah mengatakan bahwa mereka sangat menikmati setiap bait syair yang dilantunkan oleh si pemuda dengan lesung di kedua pipinya, setiap kali dia tersenyum itu. Dia bahagia, mimpinya menjadi kenyataan. Mimpi yang selalu dia impikan semenjak pertama kali dia menerima gitar akustik mini pemberian dari seseorang yang begitu berarti baginya. Namun, alangkah semuanya akan terasa lebih indah, jika kakak perempuannya juga berdiri di antara mereka yang menikmati penampilannya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD