Bab 2 – Harun’s Family

1843 Words
“Dulu Eyang sama Opa Tara ada pembicaraan tentang Kia yang akan dijodohkan dengan Gian kalau usianya sudah di atas 20 tahun. Mengingat kedekatan dua keluarga, kami ingin lebih mempererat ikatan tali silaturrahmi. Terlebih segala sesuatu tidak akan jatuh ke tangan orang lain. Hal ini sangat menguntungkan untuk hubungan bisnis yang sudah lama terjalin.” Aku terbatuk-batuk mendengar penjelasan Eyang. Mengundang tatapan dari berbagai sisi, berakhir membuatku menunduk dan menciut. Makan malam sudah berakhir belasan menit lalu. Sekarang kami pindah ke ruang tamu, di mana teh melati diseduhkan sebagai penutup. Azka disuruh tidur lebih awal, karena pembicaraan ini hanya melibatkan para tetua, juga aku sebagai si empu diri yang akan dikaitkan dengan Kak Gian. “Ini jelas bukan pertemuan pertama kalian, jadi wajar tidak akrab karena tidak pernah diminta pendekatan sama sekali. Lagipula Eyang pernah meminta, pertemuan selanjutnya nanti di beberapa bulan menjelang pernikahan saja. Supaya malu-malunya masih terasa. Seperti orang zaman dulu, jangankan menatap pasangan terang-terangan, tidak sengaja melihat saja pipinya merah merona. Reaksi yang Kia tunjukkan benar-benar membuat Eyang senang.” Lagi, semua orang menatapku. Kali ini hawa panas-lah yang menerpa, membuat pipiku meremang karena malu. Eyang benar, aku nggak sanggup melihat Kak Gian. Di samping dia terlalu tampan, jantungku juga berdebar kencang. Rasanya akan meledak atau hampir jatuh menggelinding ke lantai. Malam ini benar-benar kejutan sekali. Aku ... aku nggak nyangka kalau aku sama Kak Gian ternyata dijodohkan. Setelah mendengarnya dari mulut Eyang langsung, semacam ada kembang api meletup di perut dan dadaa, semua memercik indah bersamaan. Mengantarkan gelenyar menyenangkan sekaligus meremang, membuatku berpikir ini seperti mimpi namun nyata. “Sama seperti kamu ke Kia, aku juga sudah lama memberitahu Gian dan orang tuanya masalah ini. Jadi saat tiba waktunya, tidak ada alasan untuk dia mundur lagi, karena dari awal-awal Gian tidak pernah memberi penolakan,” kata Opa Tara, membuat semua orang–kecuali aku–mengangguk-angguk. “Awalnya kami mengharap pernikahan terjadi minimal setelah Kia menyelesaikan strata satu, di samping mendahulukan Danu menikah karena dia anak tertua. Tapi, sayangnya si tengiik ini tidak punya pikiran ke arah jenjang yang serius. 30 tahun hidup, masih belum puas dengan status lanjang. Dengan enteng dia bilang tidak keberatan sama sekali kalau dilangkahi Gian.” Kekehan pelan datang dari Mas Danu, membuatku otomatis mendongak ke arahnya. Semacam ada rasa bangga, Mas Danu membalas tatapan Opa Tara dengan binar mata jenaka. Jempolnya bergerak lambat mengusap dagu, kemudian menjawab, “Menjodohkan Gian merupakan ide yang bagus, lalu menikahkannya dalam waktu dekat adalah keputusan yang tepat. Aku berbahagia untuk kalian, juga berterimakasih karena tidak terlalu menuntutku yang masih ingin menikmati kebebasan.” “Tante pernah mendengar, setua apa pun laki-laki, kalau dia belum punya keinginan untuk menikah, meskipun sudah mapan dalam hal keuangan, maka dia nggak akan pernah serius dalam menjalin hubungan dengan perempuan. Kita ambil Danu sebagai contoh, lalu ada Gian sebagai contoh lain. Gian menyanggupi perjodohan karena dia merasa sudah yakin, di samping baktinya pada orang tua. Benar ‘kan yang Tante bilang, Gi?” “Benar, Tante,” sahut Kak Gian pelan, namun kedengaran mantap di telinga. Untuk sesaat, aku merasa waktu berhenti berputar. Seperti ada magnet yang menarik, tatapanku beralih kemudian terpaku pada Kak Gian. Dengan segala kelembutan dan ketenangan ekspresinya, Kak Gian terlihat sempurna. Dia dan Mas Danu bagaikan air dan api. Terlalu besar perbedaan, terlalu bertolak belakang pemikiran. “Tapi, bukankah kami sama-sama keren? Mas Danu dengan karir cemerlangnya, aku dengan predikat anak baik kebanggan orang tua.” Seketika ruang tamu dipenuhi gelak tawa, bahkan aku juga sangat menyambut selera bercandanya. Demi Tuhan, aku makin mengagumi Kak Gian. Dia saudara yang pengertian. Nggak ingin Mas Danu terpojok oleh kata-kata Bunda, dia membela dengan caranya sendiri. Benar-benar hebat! “Kia awas ileran. Kayaknya terpesona banget ya sama Gian.” Celetukan Tante Rima, membuatku mengerjapkan mata kilat. Dan betapa malunya aku, karena Kak Gian dan Mas Danu ikut menatap. Membuatku refleks menutup wajah dengan telapak tangan, membuat beliau makin tertawa gemas. “Nggak apa, nanti pendekatan, ya. Jadi setelah nikah, satu sama lain sudah cukup terbiasa dan bisa lebih dari sekadar menatap saja.” Makin aku dibuat nggak karuan. Sampai-sampai Bunda menusuk pinggangku dengan telunjuk, membuatku terpaksa menurunkan tangan memperlihatkan pipi semerah tomat matang. Rasanya sangat canggung, detak jantungku makin nggak bisa dikendalikan, bahkan bernapas pun rasanya tersengal. Sekuat ini ternyata pengaruh Kak Gian. “Dijawab pertanyaan tantenya, Kak.” “Ehm, i-iya, Tante.” Pada intinya malam pertemuan keluarga itu, mereka membahas seputar perjodohanku dengan Kak Gian yang sudah direncanakan sejak setahun yang lalu. Eyang bilang sekarang sudah saatnya melakukan persiapan, karena kalau diundur terlalu lama lagi, takutnya ada halangan yang nggak terduga. Kemudian dua keluarga sepakat, jenjang ikatan serius kami mantap dilanjutkan. Dalam hal ini, mereka sama-sama meminta jangka waktu selama tiga bulan. Untuk lamaran, akad nikah dan resepsi, semua akan diurus bersama. Tugasku sendiri saling melakukan pendekatan dengan Kak Gian. Kami diperkenankan memulai hubungan layaknya orang pacaran, demi menghilangkan kecanggungan setelah status berganti nanti. Baik aku maupun Kak Gian, kami sama-sama manut pada keputusan para orang tua. Di samping hal nggak terduga yang kualami, aku masih nggak menyangka sama sekali. Intinya semacam dihujami keberuntungan sekali dalam seumur hidup, perasaan suka yang nggak pernah diketahui orang lain kecuali aku dan Tuhan, kini dikabulkan lewat sebuah perjodohan. Jangan ditanya perasaanku gimana, karena sudah pastinya bahagia luar biasa. Seumur hidup, aku nggak pernah berani membayangkan kami ada di fase ini. Kak Gian terlalu nggak tergapai, membuatku nggak pernah berharap lebih. Namun takdir seseorang nggak ada yang tahu. Hal yang kupikir mustahil, ternyata nggak semustahil itu. *** Senyum nggak luntur-luntur sedari membuka mata. Tadi malam tidurku terlalu nyenyak, bahkan nggak bermimpi sama sekali. Tubuhku terasa rileks dan ringan, faktor mood baik juga bahagia yang masih betah menggelayuti. Hal pertama yang kulakukan adalah bergerak merapikan ranjang, setelahnya berjalan menuju jendela untuk menyibak tirai dan membuka. Menghirup udara pagi banyak-banyak, berikut berjalan ke kamar mandi untuk buangg aiir kecil, cuci muka dan gosok gigi. Aku keluar kamar pada pukul tujuh. Rutinitas setelah bangun, yaitu membantu Bunda dan Mbak Yati menyiapkan sarapan. Kadang kalau nggak dibutuhkan di dapur, aku menyapu teras rumah juga menyirami tanaman. Setelah membuat diri bergerak, baru aku melanjutkan dengan olaraga, melakukan beberapa peregangan dan lari-lari kecil di halaman rumah. Eyang sangat memperdulikan berat badan. Kata beliau, aku nggak boleh kurus, nggak boleh juga terlalu gendut. Kalau bisa, beliau mau dadaa dan bokongg lebih berisi, juga pinggul yang besar karena dianggap bisa cepat hamil–tentunya setelah menikah. Sayangnya dari ketiga poin itu, aku nggak memenuhi kriteria. Seperti remaja menuju dewasa pada umumnya, aku punya lengan dan paha yang cenderung kecil. Sisanya juga dalam ukuran rata-rata. Tapi aku bersyukur, setidaknya seperti ini lebih normal. Bayangkan saja kalau keinginan Eyang jadi nyata, pasti aku hidup dalam rasa nggak percaya diri. Di manapun berada, pasti menarik perhatian. Pakaian tertutup saja kadang nggak membantu terhindar dari catcalling, karena kita nggak bisa mencegah orang lain untuk nggak berbuat kejahatan, padahal posisinya kita sudah meminimalisir dengan nggak memberi umpan. “Pagi, Bun, Mbak Yati,” sapaku saat memasuki dapur. Bunda sedang mengiris tempe, sedangkan Mbak Yati berkutat dengan penggorengan. Pemandangan yang biasa kutemui di jam-jam ini. “Kakak bantu apa, ya? Kayaknya udah nggak banyak kerjaan lagi. Apa Kakak langsung ke teras aja?” “Iya, ke teras aja, Kak. Tapi, jam berapa tadi bangun?” tanya Bunda dengan tatapan penuh selidik, membuatku cengar-cengir merasa bersalah. “Nggak boleh lho Kak tidur setelah shalat subuh. Menghambat rezeki. Udah berkali-kali Bunda bilang, eh masih ngeyel. Nanti kena jewer kupingnya baru tahu rasa.” “Godaannya besar, ngantuk banget. Dibawa main hape sama belajar juga nggak ngaruh. Malah makin cepat tidur. Apa karena udah kebiasaan, ya, jadi rasanya berat banget kalau nggak diturutin? Lagian Azka juga gitu, tapi kenapa Kakak mulu yang kena omel? Bunda, ih, jangan beda-bedain.” “Azka tidak tidur, dia selalu ikut papamu ke masjid,” kata Eyang tiba-tiba, membuat perhatian kami otomatis teralihkan. Beliau datang dengan mug yang sudah kosong, menuju bak cuci. “Setelah dari masjid, pulangnya jalan-jalan di sekitar komplek. Hirup udara segar sekaligus olagraga kecil. Kamu tidak tidak tahu karena keluar kamar kesiangan.” Aku meringis kecil, nggak berani menanggapi apa-apa. Karena kalau Eyang sudah menyela, haram hukumnya membantah. Di keluarga kami, laki-laki lebih utama, jadi jangan heran kenapa Azka dibela. Jangan heran juga kenapa aku sudah sebesar ini tapi masih belum bisa membuat keputusan sendiri. “Sana, Kak, nyapu teras. Urusan sarapan, biar Bunda sama Mbak Yati yang handel.” Aku langsung menoleh ke arah Bunda, kemudian mengangguk patuh saat melihat tatapannya penuh makna. Aku paham beliau sedang membelaku, untuk itu aku segera menyingkir dari dapur setelah berpamitan. Aku sayang Eyang, sayang banget. Tetapi ada beberapa hal yang nggak kusukai, salah satunya yaitu sering membela Azka. Ini bukan pertama kali, tapi sudah kesekian kalinya. Hanya saja butuh banyak pemakluman di sini. Mengingat anak laki-laki yang selalu didahulukan, jadi harusnya aku nggak heran lagi. Setelah mengambil sapu, aku langsung ke depan untuk memulai kegiatan. Rencananya mau membersihkan dari ujung ke ujung, tapi mendadak langkah terhenti karena ponsel di dalam kantong piyamaku bergetar. Segera aku mengeluarkan benda tipis tersebut, kemudian menyalakan layar untuk melihat. Saat masuk ke ruang percakapan, keningku mengkerut berkali-kali lipat karena ada nomor asing yang baru saja menambahkanku ke sebuah grup. Namanya Harun’s Family, yang beranggota tujuh kontak. Mengingatkanku pada nama opa, bahkan nama belakang mama dan papa Kak Gian. Tapi ... apa iya ini mereka? +62811xxxxxxxx: [Selamat datang di keluarga besar Harun, Kia. Ini Tante Rima, tolong simpan semua nomornya ya, Sayang. Karena sebentar lagi jadi bagian keluarga ini, Tante mau kamu gabung supaya lebih terbiasa.] Tebakanku nggak salah. Refleks saja bibir menyunggingkan senyuman, merasa senang karena selangkah lebih dekat dengan Kak Gian. Ngomong-ngomong, kami belum simpan nomor masing-masing. Mungkin lewat grup ini, dia nanti mau menghubungiku lebih dulu karena sudah tertera jelas nama Azkia di samping deretan angkanya. Azkia: [Iya, Tante. Terima kasih banyak.] Setelah mengirimkan balasan, aku menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar. Ah, sensasi semacam ini rasanya menyenangkan sekali. Sampai sekarang aku masih memikirkan, kenapa hal ini bisa terjadi? Kak Gian dan aku punya hubungan dekat ... masih sulit dicerna, namun benar adanya. Tawa kecil otomatis lepas dari bibir saat melihat Tante Rima mengirim stiker aktor Korea dengan tangan membentuk hati. Beliau menyenangkan sekali. Tipe wanita yang mudah disukai. Aku saja nggak ragu bilang menetapkan kalau beliau orang baik, padahal kami baru bertemu beberapa kali, mungkin. +62822xxxxxxxx: [Mama memasukkan anggota baru. Tapi tidak ada salahnya menyapa, karena sebentar lagi kita jadi keluarga. Ini calon abang iparmu, Danuaji. Jangan panggil om lagi, karena sama sekali bukan om-om.] Mendadak senyumku luntur, bahkan bibir langsung membentuk garis lurus karena nggak tertarik. Entah kenapa, aku agak ... nggak menyukai Mas Danu. Dilihat dari wajah, dia tipe yang berbahaya. Untuk itu aku nggak pernah ragu memanggilnya om di awal pertemuan. Karena dia punya aura para sugarr daddy yang rela menghamburkan uang demi sebuah kesenangan. Cepat-cepat aku keluar dari ruang obrolan, kemudian mengantongi ponsel kembali. Syukurlah yang dijodohkan denganku adalah Kak Gian, bukan Mas Danu. Karena kalau dia, akan jadi apa aku nanti? Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD