Kampus

1072 Words
Kelvin Marva, semua penghuni kampus mengenalnya. Jangan harap karena prestasi, karena pemikiran itu salah besar. Semua orang kenal dengan sosok Kelvin karena kenakalannya yang luar biasa. Tidak ada yang senakal dirinya, semua pasti ada batasan. Tetapi tidak dengan Kelvin. Apapun yang ia lakukan selalu saja hal-hal buruk. Tidak ada yang berani mendekat kecuali orang-orang yang hampir sama dengan dirinya. Dosen bahkan tidak bisa berkata-kata lagi dengan semua tingkahnya. Dalam satu semester, Kelvin hanya masuk beberapa kali saja. Bahkan ia pernah tidak menampakkan wajah di kampus selama 1 semester lamanya. Tidak ada yang tahu dia kemana. Pihak kampus tidak terlalu ambil pusing. Asalkan mahasiswa membayar kewajiban, maka ia terdaftar sebagai mahasiswa aktif. Jangan harap dengan nilai-nilai Kelvin di kampus, toh jurusannya bukan pilihannya sama sekali. Hidup Kelvin sudah sangat hancur, ia tidak punya pikiran untuk kedepannya seperti apa. Hal yang terpenting adalah ia masih bisa menghabiskan waktu dengan cara bersenang-senang.  Selain ini Kelvin tidak bisa melakukan apa-apa lagi. "Nanti malam, lo semua jangan lupa datang," ujar seseorang. Dia adalah seorang teman, namun apakah teman sesungguhnya atau punya maksud lain untuk mendekati Kelvin. Kelvin tidak mengurus hal tersebut. Sudah sewajarnya pertemanan ada karena uang dan barang-barang mahal. Buktinya saja mereka selalu menghambur-hamburkan uang seperti tidak ada harganya sama sekali. "Kelvin gila, ngeteh sampai teler!!" Ejek nya pada Kelvin. Kata ngeteh di ibarat kan tengah meneguk minuman beralkohol. Mereka biasanya menyebutnya dengan ngeteh di depan umum. "Mati baru tahu rasa lo!" Kelvin tidak mempedulikan omongan teman kuliahnya itu. Jika ditanya siapa saja teman Kelvin maka akan sulit menjawabnya. Ia selalu didatangi berbagai macam orang dengan interaksi yang seperti akrab. Padahal aslinya tidak seperti itu. Pertemanan yang tahu hanya senang-senang saja. Kelvin yakin jika dia tidak memiliki uang pasti semua orang akan meninggalkannya. Hal ini bukan menjadi rahasia lagi, karena Kelvin tidak peduli tentang hal ini. Siapapun yang datang dan siapapun yang pergi, ia tidak pernah memikirkan hal itu. Kelvin pergi begitu saja, ia terlalu malas berhadapan dengan mereka di awal paginya ini. Terlalu memuakkan. Siapa yang peduli dia mati? Tidak ada, mereka hanya berkata manis di depan saja. Kelvin bukannya bodoh, semua terlalu kasat mata. "Lo mau kemana?" Kelvin mengangkat tangannya. Tujuannya yaitu ke kantin, ia malas sekali untuk bersuara. Padahal di rumah selalu terhidang makanan. Tetapi Kelvin malas berlama-lama di dalam rumah yang menyeramkan itu. Setiap kali ia masuk, pasti ingatan bagaimana ia menjadi korban ketoxickan ayahnya muncul.  Kelvin berjalan dengan santai, ia tidak menghiraukan tatapan siapapun. Tiba-tiba ada yang menabrak dirinya dari depan. Kelvin memang tidak terjatuh, tetapi orang yang menabrak dirinya yang malah terjatuh. Kelvin ingin mengulurkan tangan, berniat untuk membantu tetapi laki-laki yang baru saja terjatuh itu berdiri dan meminta maaf berulang-ulang kali. "Habis habis!" Orang-orang mulai berbisik tentang apa yang akan terjadi. Jika tidak ada yang mencari masalah dengan dirinya maka Kelvin tidak akan mengganggu. Berbeda cerita jika ada yang mencari gara-gara, ia tidak akan tinggal diam. Kelvin paling benci jika ada orang yang mengorek informasi tentang dirinya. Tidak ada yang tahu siapa Kelvin, hanya Feri yang tahu. "Kasihan banget, pasti langsung dipukul." Laki-laki yang Kelvin tebak mahasiswa baru itu sudah bergetar hebat, siapapun tahu jika dia sangat-sangat ketakutan. Kelvin tidak ambil pusing, dia pergi begitu saja. Semua tampak bernafas lega, tetapi untuk orang yang membenci Kelvin tentu saja kecewa. Setidaknya di awal masuk kuliah ini Kelvin membuat masalah, sehingga ia mendapat peringatan atau hukuman dari kampus. Kelvin memesan makanan, ia mencari tempat duduk. Beberapa orang memilih untuk mengosongkan meja karena tidak ada meja kosong yang tersisa untuk Kelvin. Belum sempat Kelvin mengeluarkan kata, beberapa orang yang mengosongkan meja sudah hilang bagai ditelan bumi. Sekali lagi Kelvin tidak akan peduli. Beberapa mahasiswa baru sudah menanamkan di dalam diri mereka sosok Kelvin harus dihindari dan jangan pernah berurusan dengan dirinya. "Lo gila!!!" Pukulan mendarat pada tubuh Kelvin, siapa lagi yang berani melakukan hal demikian kecuali teman dekatnya ini. Meskipun Kelvin tidak peduli soal teman, tetapi ia memiliki satu teman yang memang sudah dekat sejak SMA. Ia mengenal bagaimana Kelvin bisa hidup mengerikan seperti sekarang. Sosok itu bernama Feri, sebenarnya hidup Feri tidak jauh berbeda dengan Kelvin. Sama-sama tidak baik tetapi Feri masih bisa berpikir normal, tidak seperti Kelvin yang sudah kelewat batas. Kelvin menatap tajam sang teman, orang lain pasti akan langsung takut jika ditatap seperti itu. Tetapi Feri sama sekali tidak takut. Feri benar-benar panik saat mendengar kabar angin bahwa Kelvin berbuat ulah lagi. Tenang saja, Kelvin tidak akan mengganggu orang lain tetapi ia jika sudah berbuat ulah akan menyakiti diri sendiri. Lihat kan, tangannya sudah terbungkus perban. Untung saja soto yang ia makan tidak tumpah karena pukulan sang teman. Feri menarik tangan Kelvin agar dapat melihat dengan jelas perban itu. "Sakit woi!!!!" Kelvin meringis kesakitan. Temannya satu ini memang tidak bisa berpikir waras, bisa-bisanya menarik tangan Kelvin dengan kuat. "Kenapa nggak lo potong aja sekalian?" "Niatnya si!" Kelvin berbicara dengan santai. Sekali lagi Feri memberikan jitakan kepada Kelvin. Kelvin ingin mengumpat, tetapi Feri sudah lebih dulu mengancam. Ia hanya bisa menahan semua umpatan yang tidak bisa keluar. "Kenapa lo nggak balas chat gue semalam?" tanya Feri. Ia sudah tebak jika Kelvin berada di club. Hanya saja di kota ini banyak klub yang berserakan, tidak mungkin Feri mencari ke satu-satu klub. Ia terlalu malas melakukan hal itu. "Lo chat gitu bikin jijik," komen Kelvin. Bayangkan saja, pesan Feri mengalahkan pasangan posesif. Ia mengirim pesan berulang-ulang kali bertanya dimana Kelvin sekarang. "Susah memang sama Lo, kalau mati gimana?" "Ya mati." Simple sekali jawabannya. Feri geram sendiri, Kelvin kira setelah dia mati maka semua akan selesai. Ia kalau amal banyak, ini dosa yang menumpuk setiap hari. Bahkan Feri saja takut mati karena masih sering berbuat dosa. "Lo bilang gitu kayak banyak amal ya," ujar Feri miris. "Lo-" Kelvin memasukkan sendok yang berisi kuah soto pada mulut Feri, bayangkan saja bagaimana kagetnya Feri. Ia sampai tersedak dan kuah soto itu sampai ke hidung.  "Diam oke? Gue mau makan dengan tenang." Feri mengambil minuman yang baru saja datang, ia meneguknya dengan sekali tegukan. Kelvin hanya melihat, terpaksa ia memesan minuman kembali. Setiap kali bertemu dengan Feri pasti saja tidak ada yang berjalan dengan baik. Ocehan dan omelannya sudah sangat biasa didengar oleh indera pendengarannya. Untung saja, Feri memiliki jadwal kuliah sehingga ia segera pergi meninggalkan Kelvin. Mereka memang memiliki jurusan dan fakultas yang berbeda. Wajar bukan kalau di kampus mereka jarang bertemu, apalagi Kelvin yang juga jarang datang ke kampus. Maka lengkap sudah kekalutan Feri jika tidak mendapat kabar dari Kelvin selama seharian penuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD